Negara sebagai pelindung rakyat harus memastikan keamanan data pribadi rakyat agar tidak disalah gunakan
Oleh : Fathimah A. S.
Indonesia dapat dikatakan sedang darurat terjadinya kebocoran data pribadi penduduk kepada pihak-pihak yang tak bertanggungjawab. Pada tahun 2019 lalu, terjadi kebocoran data yang dialami oleh situs e-commerce Bukalapak, yang mengakibatkan 13 juta data pengguna beredar di internet. Kemudian, pada bulan Mei 2020 lalu terjadi lagi kebocoran data yang dialami oleh 91 juta pengguna Tokopedia. Pernah terjadi pula kebocoran data pasien Covid-19 yang berhasil curi peretas (kontan.co.id, 23/06/2020).
Hal terbaru yang paling menghebohkan lagi ialah, isu beredarnya data 279 juta penduduk Indonesia yang dijual di situs surface web Raid Forum. Data ini dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja, karena bukan situs gelap atau situs rahasia (deep web). Data yang dijual meliputi NIK, nomor ponsel, e-mail, alamat, dan gaji. Disinyalir data ini berasal dari BPJS Kesehatan, yang bahkan mencakup data penduduk yang telah meninggal (nasional.kompas.com, 21/05/2021). Hal ini merupakan hal yang mencengangkan, karena data tersebut sangat besar dan hampir sama dengan jumlah total penduduk Indonesia (liputan6.com, 23/05/2021).
Dapat dikatakan ini merupakan wujud lemahnya pemerintah perlindungan data pribadi rakyat oleh negara. Rapuhnya negara akan kebocoran data membuka peluang terjadinya berbagai kejahatan, seperti pemalsuan, penipuan, pengancaman, pembobolan, dan berbagai kejahatan digital lainnya. Oleh karena itu perlu adanya keseriusan negara dalam penguatan keamanan data penduduk.
Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) melayangkan gugatan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai pihak yang kemudian dimintai pertanggungjawaban atas kebocoran data ini. Akan tetapi, Kominfo mengatakan bahwa keamanan data digital sejatinya adalah kewenangan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Hal ini tentu membuat rakyat kebingungan dan menampakkan adanya saling lempar tanggungjawab tanpa diketahui keseriusan penanganannya.
Kemudian solusi terbaru yang ditawarkan adalah pengesahan RUU perlindungan data pribadi (PDB) yang merupakan bentuk lembaga adalah independen tidak berada di bawah Kementerian. Akan tetapi, pembahasannya masih stagnan dan belum diketahui bagaimana rencana detail penyusunan RUU PDP ini.
Adanya kebocoran data penduduk ini berpengaruh terhadap kerugian publik. Data yang diretas tersebut dapat dimanfaatkan untuk penipuan berbasis scam yang berusaha meyakinkan korban dengan tebusan uang, selain itu juga dapat oleh korporasi untuk profiling target dengan tujuan untuk meraup keuntungan atau tujuan politik.
Oleh karena itu, perlu adanya perubahan cara pandang negara dalam melindungi dan menjaga keamanan rakyat, termasuk perlindungan terhadap data pribadi rakyat. Islam memandang negara sebagai pelindung dan pelayan umat, sehingga kebijakan yang dikeluarkan selalu berpihak pada rakyat.
Negara sebagai pelindung rakyat harus memastikan keamanan data pribadi rakyat agar tidak disalah gunakan untuk kepentingan pihak yang tidak bertanggungjawab. Negara juga mempersiapkan SDM dan infrastruktur yang menunjang penguatan keamanan digital secara berlipat, sehingga privasi rakyat terlindungi. Pengembangan teknologi terkait keamanan data digital juga menjadi prioritas negara dan dilakukan secara up-to-date.
Negara juga mengeluarkan regulasi terkait perlindungan data rakyat, baik berupa pencegahan maupun bila terjadi pelanggaran. Selain itu, negara juga mengelola dan membagi tugas secara jelas kepada lembaga-lembaga yang bertanggungjawab, sehingga tercipta sinergitas antar lembaga.
Nampak jelas perbedaannya, Islam sebagai sebuah ideologi, tidak hanya mengatur tata cara beribadah, tetapi juga mengatur tata cara bernegara. Negara dalam islam memiliki peran sentral dalam melindungi rakyat, termasuk memberi perlindungan dalam keamanan data digital.
Wallahu A'lam bi Shawwab
COMMENTS