Jerat Utang Luar Negeri
Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd
"Semua dosa orang yang mati syahid diampuni kecuali utang. " (HR. Muslim)
Mengerikan. Apalah yang dicari selain ampunan Rabbul Izzati kala kita mati. Harapannya bisa masuk ke dalam surga seluas langit dan bumi. Namun, kita diingatkan bahkan syuhada pun tidak diampuni utangnya. Innalillahi.
Wajar jika Rasul mengajarkan do'a perlindungan dari utang. "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia."
Kondisi Utang Negeri
Ironisnya, negeri kita tercinta ternyata punya utang yang banyak sekali. Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.527,29 triliun per April 2021. Ini mengalami peningkatan Rp 82,22 triliun dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya yang sebesar Rp 6.445,07 triliun (Finance.detik.com, 1/6/2021).
Dilansir dari laman sindonews.com, Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudistira memaparkan, berdasarkan data APBN 2021, rasio antara beban bunga utang sudah mencapai 25% dari target penerimaan pajak. Ini menandakan porsi bunga utang sudah terlampau membebani anggaran. Menurutnya, kondisi ini seharusnya sudah masuk lampu merah (7/6/2021).
Kondisi ini belum final. Mengingat perekonomian negeri kita belum stabil saat ini. Kemungkinan besar utang akan terus bertambah besar.
Jerat Utang
Diakui atau tidak, inilah jebakan utang ala kapitalisme. Pemasukan negara bertumpu pada pajak. Negara dibuat kelimpungan mencari kas pemasukan, hingga datanglah tawaran utang bak angin segar. Sementara sumber daya alam divonis tak layak menjadi pemasukan karena sifatnya yang terbatas. Tapi, rela SDA negeri diangkut ke luar negeri. Miris.
Jebakan ini sungguh mematikan, bisa dilihat bagaimana kasus Zimbabwe dan Srilanka. Kedua negara ini gagal membayar utangnya pada China. Zimbabwe harus mengubah mata uangnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Srilanka kehilangan Pelabuhan Hambatota. Bagaimana nasib Indonesia ke depannya jika tak mampu membayar utang yang kian melangit ini?
Utang jangka pendek akan menghancurkan mata uang negara pengutang dengan membuat kekacauan moneter. Utang jangka panjang (long term debt) mengakibatkan APBN menjadi kacau, karena utang yang menumpuk harus dilunasi dengan berbagai aset negara pengutang.
Sungguh rapuh pembangunan negara berbasiskan utang. Sebuah penjajahan jenis baru yang melilit negeri. Membuat bumi pertiwi tak berkutik pada para pemberi utang. Apalagi utang ini berbasis ribawi. Sungguh tak berkah. Allah pun dengan tegas mengharamkan riba.
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Terjemah QS Al-Baqarah [2]: 275)
Islam Solusi
Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk negeri sebetulnya sudah memiliki solusi hakiki bagi semua permasalahan kehidupan ini. Termasuk permasalahan ekonomi negara. Islam sebagai sistem kehidupan memiliki sistem ekonomi syariah dengan basis baitulmal.
Baitulmal memiliki tiga pos besar pemasukan negara yang jumlahnya sangat besar dan berkelanjutan. Tiga pos tersebut yakni dari pengelolaan aset milik umum, pengelolaan aset milik negara, dan zakat mal. Ketiga pos ini diturunkan menjadi banyak pos dan pajak tidak dijadikan tumpuan. Sehingga rakyat tidak terbebani sedikit pun.
Pajak diposisikan sebagai pemasukan 'extraordinary' yang dipungut saat keadaan genting saja. Yang dipungut pun hanya orang kaya, jika keadaan negara sudah normal kembali, maka negara mengembalikan uang tadi. Negara juga tak perlu meminjam uang pada negara lain, lembaga internasional atau pun obligasi.
Infrastruktur memang memerlukan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu, pengeluaran ini dimanfaatkan sekaligus untuk menyerap tenaga kerja banyak bagi rakyat. Sehingga bisa memutar roda perekonomian negara.
Pada masa Rasulullah saw, infrastruktur negara yang dibangun adalah sumur umum, pos, jalan dan pasar. Pembangunan ini dilanjutkan pada masa kekhalifahan selanjutnya. Umar bin Khattab yang mendirikan dua kota dagang besar, Basrah dan Kuffah, membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah. Semuanya dibangun tanpa sedikitpun membebani rakyat dan negara dengan utang ribawi. Wajar jika Allah limpahkan berkah pada negeri.
Lantas, kini, masihkah kita berharap pada kapitalisme yang rusak dan merusak ini? Sudah saatnya kita kembali pada aturan Ilahi. Penerapan islam kaffah dalam kehidupan di semua lini.
Wallahua'lam bish shawab.
COMMENTS