يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Hai orang-or...
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Mengenai ayat ini, ada beberapa penjelasan penting:
Pertama, Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan puasa bagi orang-orang beriman –umat Islam– sebagaimana diwajibkan bagi umat sebelumnya. Persamaan dalam ayat ini, antara umat Islam dan umat sebelumnya, dalam konteks kewajiban puasa, bukan kesamaan bilangan hari dan penentuan bulannya, sebab nash tersebut tidak kesitu arahnya, hanya fokus pada kewajiban puasa saja, sebagaimana telah jelas dalam ayat.
Kedua, mengapa shaum dalam ayat ini disimpulkan fardhu, alasannya sebagai berikut:
(1) Secara gramatik kutiba ‘alaikum ash-shiyâm adalah pemberitahuan dalam bentuk tuntutan atau perintah, yang bermakna shûmû (berpuasalah kalian).
(2) Konsekuensi qadha’ shaum bagi orang sakit dan dalam perjalanan, merupakan indikasi tuntutan atau perintah yang bersifat tegas, sebab seandainya bukan tuntutan yang tegas, maka tidak mungkin ada konsekuensi harus mengganti atau qadha’ shaum: faman kâna minkum marîdhan au ‘ala safarin fa’iddah min ayyâm ukhar (siapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan, maka gantilah pada hari-hari yang lain). Jadi tuntutan shaum disini bersifat tegas artinya fardhu.
(3) Demikian juga ayat selanjutnya: faman syahida minkum asy-syahr falyashumhu (siapa diantara kalian yang ada di bulan itu, maka berpuasalah) adalah tuntutan berpuasa bagi orang yang tinggal menetap. Dan faman kâna marîdhan au ‘ala safarin fa’iddah min ayyâm ukhar merupakan indikasi tegas, karena orang sakit dan orang dalam perjalanan jika tidak shaum mesti mengganti; ini juga menunjukkan tuntutan tegas yakni bahwa shaum fardhu.
(4) Berdasarkan as-sunnah, ada banyak hadits, misalnya: a) hadits yang diriwayatkan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengenai jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jibril ‘alaihis salam, ketika ditanya mengenai Islam, baginda menjawab dengan kalimat syahadat berserta penyebutan rukun Islam (HR. Muslim, 9; at-Tirmidzi, 2535). Maka topik pertanyaan tentang Islam, yang berlaku fardhu bagi seluruh manusia, serta dengan disebutkannya shaum dalam jawaban tersebut, menunjukkan shaum itu fardhu, bahkan kewajiban agung; b) hadits mengenai Islam dibangun oleh lima perkara, disitu disebutkan shaum salah satunya (HR. al-Bukhari, 7; Muslim, 20); ungkapan “bangunan” merupakan washfun mufhim (sifat tersirat) yang bermakna tuntutan tegas, lalu disebutkan Islam dibangun diatas lima perkara itu, artinya ini rukun (pilar) ajaran Islam, maka tentu kesimpulannya shaum adalah fardhu.
Ketiga, Allah menjadikan hikmah bagi shaum, berupa ketakwaan: la’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa). Takwa adalah takut dan taat kepada Allah serta bersiap menghadap-Nya, sebagaimana didefinisikan sebagian Sahabat:
الخوف من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والاستعداد ليوم الرحيل
Takut kepada Allah yang Agung, menjalankan wahyu yang turun, merasa cukup dengan yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari akhir (‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu).
Karena itu, orang yang berpuasa mesti bersungguh-sungguh mewujudkan hikmah ini dalam shaumnya, sebab Allah menjadikan takwa sebagai hikmah shaum ketika shaum ini diwajibkan.
Jadi hendaknya, seorang muslim memperhatikan shaumnya, apakah semakin menambah rasa takut kepada Allah, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kesiapan diri menghadap-Nya, dengan banyak amal kebaikan? Maka shaum yang benar, akan mewujudkan pahala besar, keikhlasan hanya untuk Rabb semesta alam, dan kabar gembira kesucian dan kebaikan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. al-Bukhari, 5472, 1771, 6938; Muslim, 1940, 1944).
Adapun jika hikmah shaum belum terwujud, maka segeralah melakukan pembenahan sebelum datang suatu hari ketika harta kekayaan dan keturunan tidak berguna lagi, kecuali muslim yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Wallahu a’lam. (Syaikh al-‘Alim ‘Atha bin Khalil, at-Taisir fi Ushûl at-Tafsîr – Sûrah al-Baqarah, h. 222-224)
Yan S. Prasetiadi
13 Ramadhan 1442 H
COMMENTS