revisi UU ITE
Oleh : Ummu Aisyah (Aktivis Dakwah)
Wacana merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bergulir setelah Presiden Joko Widodo meminta agar implementasi UU tersebut menjunjung prinsip keadilan. Jokowi mengaku akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU tersebut jika implementasi UU ITE yang berkeadilan itu tidak dapat terwujud.
"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-undang ITE ini," kata Jokowi saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).
Jokowi bahkan mengatakan akan meminta DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di UU ITE karena pasal-pasal itu menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut. (Kompas.com)
Sejumlah orang, baik warga dan tokoh ternama, telah menjadi korban pasal karet dalam UU ITE, antara lain: musisi Jerinx, aktivis Dandy Dwi Laksono, Buni Yani, hingga Baiq Nuril Maknun—seorang guru honorer asal Mataram, Lombok. Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai ada kesamaan antara situasi Indonesia saat ini dibandingkan dengan situasi era Orde Baru. Busyro pun menilai situasi saat ini sudah bergerak ke arah neo otoritarianisme.
Seperti yang kita ketahui bahwa banyak pasal yang dipermasalahkan dalam UU ITE diantara sekian banyak pasal tersebut yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian.
Dari pasal-pasal ini dapat dilihat bahwa pasal tersebut condong membungkam kritik rakyat dan menutup mulut rakyat agar tidak salah dalam memberikan kritik maupun pendapat yang bersifat menyinggung siapapun baik itu sesama maupun para pemerintahan. Revisi UU ITE dianggap hal yang paling baik untuk mengatasi banyaknya problema yang dikeluhkan rakyat terhadap ketidak adilan dalam menekankan hak. Namun apakah benar jika REVISI UU ITE efektif?
Contohnya saja Revisi UU ITE tahun 2016 yang dianggap memberikan banyak perubahan terkait ketentuan pidana, rupanya masih sekedar hembusan angin saja untuk memberikan ketenangan masyarakat sementara. UU Nomor 19 Tahun 2016 hanya menurunkan ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 27 Ayat (3) terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dari paling lama 6 tahun penjara dan/atau Rp 1 miliar menjadi 4 tahun penjara atau Rp 750 juta.
UU tersebut juga menyatakan bahwa ketentuan pidana soal penghinaan atau pencemaran nama baik merupakan delik aduan. Sebagai mana ketentuan yang telah diputuskan dapat dipastikan bahwa REVISI UU ITE belum efektif dan tidak sepenuhnya menguntungkan bagi rakyat, semua hanya iming-iming semata agar tidak ada lagi keluhan masyarakat terhadap pemerintah. Justru dengan adanya revisi ini semakin membuka peluang untuk para rezim membungkam suara rakyat dengan demikian tidak ada lagi kritik yang menyudutkan pemerintah didengar oleh semua kalangan dan dapat dipastikan itulah tujuang yang mungkin ingin dicapai.
Penguasa dikritik atas kinerjanya itu wajar. Dengan kritik, penguasa bisa bermuhasabah dan memperbaiki kinerja.
Dalam Islam, kritik rakyat untuk penguasa adalah keniscayaan. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah dikritik karena beliau menetapkan mahar bagi perempuan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga pernah dikritik anaknya sendiri lantaran beristirahat sejenak di kala masih banyak rakyatnya yang terzalimi. Pengaduan rakyat terhadap sikap penguasanya yang belum menegakkan hukum secara adil juga pernah dialami Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash. Ia diadukan kepada Khalifah Umar lantaran hukuman yang diberikan Amr kepada putra Khalifah, yaitu Abdurrahman dan temannya tidak sesuai aturan yang ada.
Di sistem Islam, kritik biasa terjadi. Kritik rakyat tersampaikan melalui Majelis Umat, yaitu bagian dari struktur pemerintahan Islam yang mewadahi aspirasi rakyat serta tempat meminta nasihat bagi khalifah dalam berbagai urusan. Dari Tamim ad-Dari (diriwayatkan), bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin umat Islam, dan kaum awam mereka.” (HR Muslim).
Dalam hadist yang lain juga dikatakan, “Siapa saja yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan hatinya, dan yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR Muslim).
Dengan demikian, sistem Islam sangat terbuka dengan kritik dan aduan dari rakyatnya. Sistem Islam tidak antikritik. Siapapun bebas memberikan kritik dan aduan. Dari segi teori dan praktik, sistem Islam benar-benar menjalankan pemerintahan yang terbuka dengan kritik. Dengan kritik dan pengaduan rakyatlah, penguasa akan terselamatkan dari sikap zalim dan mungkar. Sebab, penguasa di sistem Islam menyadari besarnya pertanggungjawaban mereka kelak di akhirat.
Allah SWT berfirman, yang artinya “Wahai Daud, Sesungguhnya engkau kami jadikan khalifah (pemimpin atau penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”, dikutip dari Terjemah QS. Shad (38) : 26. Di lain ayat, dinyatakan bahwa “… apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil…”, dikutip dari terjemah An-Nisa’ (4) : 58. Wallah a’lam bi ashshawab.
Catatan Kaki
https://nasional.kompas.com/read/2021/02/17/09330501/melihat-lagi-revisi-uu-ite-pada-2016-yang-tak-cabut-pasal-pasal-karet?page=all
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56088560
https://www.muslimahtimes.com/revisi-uu-ite-untuk-kepentingan-siapa
COMMENTS