larangan mudik lebaran
Oleh : Ahmad Khozinudin | Sastrawan Politik
Larangan mudik di satu sisi, sementara membuka sektor pariwisata disisi yang lain, menjadi kebijakan berwajah ganda, cenderung dilatarbelakangi motif ekonomi ketimbang mengendalikan pandemi. Sebab, virus Covid-19 dalam menginfeksi tidak dapat memilih apakah ditempat pariwisata atau di desa-desa, apakah saat belanja di mal dan pusat perbelanjaan, atau saat belanja di pasar kampung atau penjual penganan di desa-desa.
Yang jelas, secara ekonomi kebijakan ini akan mempengaruhi belanja masyarakat. Dengan mudik, akan banyak 'uang THR' yang berasal dari kota beredar ke desa-desa. Orang yang pulang kampung, dalam satu atau dua minggu akan banyak melakukan konsumsi di desa, belanja bakso di kampung, membagi THR ke orang kampung, dan berbagai konsumsi yang dilakukan di kampung.
Gaji satu bulan dari perusahaan atau tempat bekerja di kota sebagai THR, akan dipindahkan ke kampung melalui ritual mudik. Berkah mudik, sejumlah ekonomi pada jalur mudik dan kampung halaman akan bergeliat. Banyak orang kampung ikut kebagian berkah dari ritual mudik.
Bagaimana kalau mudik dilarang? orang dikota tidak mungkin diam manyun dirumah. Pasti keluar mencari hiburan, bisa pusat belanja atau daerah pariwisata. dua tempat ini adalah mesin penyedot uang para cukong.
Akibatnya, uang THR sebulan yang diperoleh tidak dihabiskan di kampung, tetapi habis di pusat perbelanjaan dan tempat wisata. INI SAMA SAJA MEMINDAHKAN UANG THR DARI KANTONG MASYARAKAT KE KANTONG PARA CUKONG.
Yang lebih menyedihkan sebenarnya bukan soal ekonomi saja, tapi hilangnya syi'ar kebahagiaan hari raya berdalih pandemi. Termasuk yang paling krusial, putusnya silaturahmi.
Berkomunikasi via HP sangat berbeda dengan bertemu langsung, sungkem kepada orang tua. Karena dilarang mudik, anak yang semestinya sungkem kepada orang tua boleh jadi malah sungkem ke kebon binatang dengan dalih berwisata. Bukannya bertemu orang tua dan keluarga, malah bertemu monyet, jerapah, kuda, dll.
Selama ini, pandemi seringkali tidak disikapi secara konsisten. Dilarang kumpul-kumpul, Presiden malah hadir di kumpulan pesta pernikahan artis. Katanya pandemi sholat wajib menjaga jarak, interaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan berkerumun tidak karuan.
Sekali lagi, lebaran tahun ini sedih bukan hanya tidak boleh mudik. Tetapi, secara terstruktur uang THR rakyat akan dipindahkan ke kantong para cukong pengelola pariwisata dan pusat perbelanjaan.
Sementara orang-orang kampung, yang menunggu keluarganya (juga THR) dari kota, hanya bisa melamun. Banyak kerinduan orang tua kepada anaknya, tidak terobati.
Padahal, orang tua kalau anaknya sudah berkeluarga dan jauh di perantauan, hanya setahun sekali merasa memiliki dan berkumpul dengan anak anak nya. Selebihnya, anak anak punya kehidupan masing-masing di kota.
Tahun ini, para orang tua seperti tak punya anak. Saat takbir berkumandang, selesai sholat anak-anak biasanya berbaris dengan cucu cucu sungkem, sekarang akan menjadi sepi. Tak ada anak yang pulang karena dilarang dengan dalih pandemi, sementara penguasa suka-suka melanggar peraturan. [].
COMMENTS