solusi pernikahan dini
Indonesia temasuk negara dengan angka pernikahan anak yang cukup tinggi selama pandemi. Susilowati Suparto, dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran mengatakan meningkatnya pernikahan anak di masa pandemi COVID-19 salah satunya karena alasan ekonomi. "Orang tua seringkali mengambil jalan pintas dengan menikahkan anaknya pada usia dini karena dianggap dapat meringankan beban keluarga, paparnya dalam webinar "Dispensasi Nikah Pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan Terhadap Upaya Meminimalisisr Perkawinan Anak di Indonesia (Kompas.com 8/72020).
Pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar pernikahan juga menjadi salah satu penyebab pernikahan dini. Pandemi tidak menghalangi anak-anak remaja untuk bertemu, terlebih aktivitas belajar di rumah membuka kesempatan untuk bergaul lebih banyak dengan lingkungan sekitar. Ditambah orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk mengawasi pergaulan anak-anaknya. Selain itu, orangtua tidak memiliki pemahaman agama yang cukup sehingga tidak mampu mendidik dengan membekali anaknya agar tidak terjerumus pada pergaulan bebas. Terlebih kontrol dari masyarakat juga dirasa sangat minim bahkan tidak ada.
Pemerintah sudah merevisi UU Perkawinan dimana batas minimal pernikahan anak minimal 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan melalui Undang Undang no 19 tahun 19 . Hanya saja UU ini dirasa belum cukup efektif karena masih ada celah yang memungkinkan pernikahan warga dibawah 19 tahun dengan mengajukan dispensasi atau keringanan batas minimal usia pernikahan ke Kantor Urusan Agama (KUA) dan disetujui. Karena itulah, Ketua pengurus asosiasi lembaga bantuan hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Nursyahbani Katjasungkana mengatakan persoalan dispensasi yang diberikan KUA harus diusut. "Karena orangtua setuju dan KUA memberikan dispensasi, saya kira soal dispensasi oleh KUA ini mesti diusut betul," kata Nursyahbani dalam Konferensi Pers Respon Terhadap Kasus Promosi Perkawinan Anak, Kamis (11/2) yang digelar secara virtual (CNN Indonesia, 13/02/21).
Di Indonesia kampanye anti pernikahan anak sudah ada sejak lama. Bahkan, kampanye ini didukung oleh kelompok liberal. Selain itu, kampanye anti pernikahan anak ini sejalan dengan agenda global Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Indonesia yang merupakan anggota PBB telah menyepakati konvensi hak anak. Salah satu kesepakatannya adalah menyukseskan penegakkan hukum di dalam negeri yang melarang pernikahan anak. Dalam konvensi tersebut, anak didefinisikan setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Dengan demikian anak yang sudah berusia 15 tahun meskipun sudah siap berumah tangga, termasuk pernikahan anak yang harus dilarang. Terlebih Indonesia menempati peringkat ke-7 angka pernikahan anak tertinggi di dunia (JawaPos.com, 18/11/18).
Berbagai alasan dikemukakan untuk menyukseskan kampanye anti pernikahan anak. Siti Musdah Mulia menyatakan paling tidak ada 5 dampak buruk perkawinan anak diantaranya: 1. Pernikahan anak menyebabkan tingginya angka perceraian di masyarakat, 2. Perkawinan anak berdampak buruk pada kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia, 3. Perkawinan anak menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 4. Perkawinan anak menyebabkan berbagai isu kesehatan, terutama kesehatan reproduksi, dan 5. Perkawinan anak menghambat agenda-agenda pemerintah seperti KB dan generasi berencan (The conversation.com, 11/12/18).
Sesungguhnya kelima permasalahan yang disampaikan Siti Musdah Mulia tidak hanya terjadi pada pernikahan anak, tetapi terjadi juga pada pernikahan usia dewasa. Oleh karena itu, masalah utamanya bukan pada usia pernikahan. Revisi undang-undang perkawinan dengan membatasi usia pernikahan bukanlah solusi, tetapi justeru akan semakin melegitimasi kebijakan sekuler. Semakin melanggengkan sistem kapitalis. Dimana, sistem inilah yang menjadi sumber permasalahan.
Kebebasan berprilaku yang diusung sistem kapitalis sekularlah yang menghantarkan pada pergaulan bebas. Tidak sedikit remaja hamil di luar nikah yang akhirnya terpaksa putus sekolah dan terpaksa menikah untuk menutupi aib. Pernikahan anak yang terpaksalah yang kemudian akan menimbulkan banyak masalah. Tetapi, pernikahan anak yang memang benar-benar siap dan memahami hak dan kewajiban sebagai suami atau istri banyak yang melahirkan keluarga yang harmonis.
Jika kampanye anti pernikahan anak ini terus digaungkan dan akhirnya dibenarkan, maka akan menggeser aturan Allah. Akhirnya, semakin menjauhkan dari hukum Allah. Ini sangat berbahaya.
Oleh karena itu, larangan pernikahan anak bukanlah solusi yang dibutuhkan oleh anak. Penerapan sistem pendidikan islam dan pergaulan islamlah yang saat ini dibutuhkan.
Sistem pendidikan islam akan menyiapkan generasi siap menjalankan hukum syara dan siap menanggung amanah-amanah besar menjadi orangtua dengan berbagai tanggungjawabnya. Penerapan sistem pergaulan islam akan mencegah pergaulan bebas. Sistem pendidikan islam dan pergaulan islam tidak bisa diterapkan secara sempurna kecuali dalam negara yang menerapkan syariat islam secara kaffah (menyeluruh).
Jakarta, 23 Maret 2021
Penulis : Noneng Sumarni, S.Pt (Praktisi pendidikan dan pemerhati remaja)
COMMENTS