demokrasi mati
Oleh: Miladiah Al-Qibthiyah (Pegiat Literasi dan Media)
Siapa yang tidak ingin hidup dengan rasa adil? Rasa adil merupakan satu diantara kebahagiaan yang diinginkan oleh manusia dalam kehidupannya. Keadilan akan meniscyakan kesejahteraan dan menghapus tindak-tindak aniaya, baik itu dilakukan oleh sekelompok orang, ataupun sebuah negara.
Hidup dialam yang tidak memberikan rasa adil akan membuat siapa saja hilang percaya. Di dalam sebuah negara yang krisis keadilan, sang penguasa tidak akan segan-segan memberi perlakuan yang tidak adil terhadap rakyatnya.
Ketidakadilan ini baru-baru terjadi di kawasan hutan di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Sejak 2016 setidaknya ada 57 petani dan warga adat dijerat pasal-pasal dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Akhir Januari lalu, tiga petani di Desa Ale Sewo, Soppeng, salah satunya berusia 75 tahun, divonis bersalah karena menebang pohon jati yang ditanam keluarga mereka. Aparat hukum mengklaim pohon-pohon itu sejak tahun 2016 masuk kawasan hutan lindung sehingga terlarang untuk ditebang.
Padahal, menurut kesaksian para petani, orang tua mereka menanam bibit pohon jati itu bertahun-tahun sebelum negara menjadikan tanah leluhur mereka sebagai hutan lindung (https://www.bbc.com/indonesia, 26/02/201).
Apa yang menimpa petani di Desa Ale Sewo adalah korban dari ketidakadilan terhadap rakyat kecil. Polisi menjerat satu keluarga itu dengan tuduhan menebang pohon di hutan lindung Laposo Niniconang tanpa izin. Padahal, balok-balok kayu yang direncanakan untuk dibangun menjadi sebuah rumah adalah dari kebun leluhur mereka. Namun, disita oleh pihak kepolisian atas laporan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Walanae -- sebuah unit pengelola teknis di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hukum Tebang Pilih
Berharap keadilan di alam demokrasi hanyalah mimpi. Seyogianya fungsi negara adalah sebagai pelindung rakyat dengan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, termasuk papan, dalam hal ini adalah tempat tinggal. Namun realitanya, rakyat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan untuk bertahan hidup.
Jika hukum di alam demokrasi saja tebang pilih, mendiskriminasi rakyat kecil ketimbang para perampok uang negara alias koruptor, yang jauh lebih berbahaya dari sekadar menebang pohon jati milik leluhur, lalu kepada siapa lagi rakyat harus mengadu nasib?
Negara seharusnya memiliki tanggung jawab penuh secara adil dan merata untuk seluruh rakyatnya. Ibarat sebuah tameng, negara akan melindungi rakyatnya dari segala hal yang dapat membahayakan rakyat, salah satunya menyediakan tempat tinggal yang layak. Bukan malah membiarkan rakyat menentukan sendiri nasib hidupnya.
Hukum tebang pilih yang menyasar rakyat kecil adalah bukti betapa abainya negara dalam melakukan kontrol terhadap rakyatnya. Sehingga, pemidanaan terhadap rakyat kecil sering kali dijumpai di mana-mana.
Bila hukum tebang pilih masih tetap lestari di negara ini, maka ketenteraman tidak akan terwujud dalam masyarakat. Tidak ada jaminan harta, darah, dan kehormatan yang nyata bagi setiap warga negara, khususnya rakyat kecil. Padahal, jaminan ini merupakan salah satu visi politik di dalam sebuah negara yang tidak boleh diabaikan, sebab dengannya akan memberi keadilan bagi warga negaranya.
Keadilan dalam Islam
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (terjemah QS. An-Nisa: 58).
Salah satu perintah Allah Swt. terhadap umat Muslim adalah berlaku adil dalam posisi apapun, terlebih menyandang posisi dalan meriayah warga negara. Maka, seorang penguasa dituntut harus berlaku adil kepada seluruh rakyat yang berlindung di bawahnya.
Menurut Ibn Qudamah seorang ahli fikih dari Mazhab Hambali, menyatakan bahwa 'keadilan itu tersembunyi, motivasi melakukannya hanya karena Allah. Maka, Islam memaknai keadilan jika kita mampu menempatkan segala sesuatu sesuai hukum syara’.
Dalam upaya penegakan hukum, Islam terlebih dahulu akan melakukan pembuktian. Setelah dilakukan proses pembuktian, barulah qadhi memberikan keputusannya. Jika dari hasil pembuktian itu terbukti tak bersalah maka terdakwa akan bebas. Namun, jika sebaliknya qadhi akan memberikan sanksi.
Sanksi dalam Islam dibagi menjadi 4, hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat. Hudud adalah sanksi dengan kemaksiatan yang kasus dan sanksinya sudah ditetapkan syariat. Jinayat adalah penyerangan terhadap manusia.
Ta’zir adalah sanksi kemaksiatan yang tidak ada had dan kafarah. Qadhi yang berhak menetapkan sanksi dengan pertimbangan pelaku, kasus, politik dll. Mukhalafat adalah sanksi yang diberikan ketika tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan negara, baik itu berupa larangan ataupun perintah.
Dari sini, Islam tidak akan langsung menghakimi seseorang yang dinilai salah. Sebagaimana yang menimpa para petani yang diklaim menebang pohon kawasan hutan lindung. Seharusnya dibuktikan dulu dengan menghadirkan saksi. Berdasarkan pengakuan warga setempat pun mengatakan bahwa itu adalah tanah leluhur.
Maka, pemerintah setempat perlu meninjau ulang kasus tersebut agar tidak terkesan diskriminatif atau tebang pilih dalam menjalankan hukum terhadap rakyatnya.
Selain itu, hukum dilandaskan pada hukum syara’. Bukan atas dasar akal yang lemah dan hawa nafsu. Bukan atas kepentingan golongan tertentu. Hukum harus benar-benar independen tanpa intervensi dari pihak mana pun. Sehingga hukum dalam sistem Islam dipastikan dijalankan dengan seadil-adilnya, merata tanpa adanya perlakuan diskriminatif terhadap warga negara, terebih pada rakyat kecil. Wallahu’alam bi ash-shawab.
COMMENTS