ekonomi kerakyatan
Oleh: Nurwati, S.T.
Harga baru di tahun baru itu sudah biasa. Tapi hilangnya tempe tahu dari pasaran sejak 1-3 Januari 2021 adalah pukulan telak bagi rakyat kecil. Olahan kedelai itu menghilang akibat produsen mogok produksi karena harga kedelai yang melambung tinggi. Meski akhirnya tempe tahu kembali ke pasaran, namun harganya sudah berganti.
Bagi rakyat kecil, tak banyak pilihan bahan pangan bergizi yang dapat dinikmati. Alih-alih membeli daging dan aneka sumber protein hewani, tempe tahu pun kini susah dibeli. Tempe tahu menjadi andalan sehari-hari, agar kebutuhan gizi keluarga tetap terpenuhi. Apa jadinya jika kedua bahan makanan itu semakin mahal? Bisa-bisa pemenuhan gizi kian terganjal.
Jika kondisi seperti ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang lama, maka akan berimbas pada menurunnya kondisi kesehatan rakyat kecil, bahkan bisa berujung pada status gizi buruk. Padahal menurut Unicef, di Indonesia ada lebih dari dua juta anak menderita gizi buruk dan lebih dari tujuh juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami stunting (www.unicef.org, 30/6/2020). Alhasil, angka ini akan membengkak jika tak segera diambil langkah tepat.
Ibarat ayam mati di lumbung padi, itulah gambaran buram atas pemenuhan kebutuhan pangan rakyat. Wilayah luas dan tanah yang subur ternyata tak mampu menyuplai kebutuhan kedelai bagi rakyat. Sekitar 90% kebutuhan kedelai nasional dipenuhi dari impor dan diperkirakan total impor kedelai mencapai 7,2 juta ton sepanjang tahun 2020 (idxchannel.com, 7/1/2021).
Menanam kedelai lokal juga kurang diminati oleh para petani, karena sistem budidaya kedelai masih dilihat sebelah mata oleh pemegang kebijakan. Misalnya, belum ada identifikasi benih varietas unggulan, standar SOP dalam budidaya, pemetaan wilayah potensial untuk budidaya kedelai, stabilitas harga, dan sebagainya (tempo.co, 6/1/2021).
Ditambah masalah klasik yang terus mendera. Yakni, harga pupuk sangat mahal akibat pencabutan subsidi. Efektivitas pertanian yang sangat kurang karena tak didukung edukasi dan teknologi, juga masalah modal, dan penanganan pasca panen. Hal ini masih diperparah dengan kebijakan pemerintah yang membuka keran impor sebesar-besarnya. Terlebih adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang disinyalir beberapa pihak akan memberi celah dalam mempermudah impor komoditas pangan.
Jika demikian adanya, maka persoalan mahalnya tahu tempe bukan sekedar perkara teknis. Namun sudah menjadi persoalan sistemik dan ideologis. Mahalnya tahu tempe adalah imbas dari penerapan ideologi kapitalisme dengan sistem demokrasinya.
Demokrasi memberi peluang bagi segelintir orang untuk membuat aturan berdasar hawa nafsu, sehingga merugikan mayoritas rakyat. Sementara kapitalisme menjadikan manfaat sebagai ukuran baik dan buruk. Wajar jika akhirnya impor komoditas pangan khususnya kedelai, dinilai baik, karena menghasilkan keuntungan besar bagi sejumlah pihak. Kapitalisme juga meniscayakan peran negara makin minim dalam mengurus rakyat. Sebab fungsi negara dalam pandangan kapitalisme hanyalah sebagai regulator, bukan operator.
Berbeda dengan kapitalisme demokrasi, Islam memiliki pandangan yang bertolak belakang. Dalam Islam, satu-satunya aturan yang harus diterapkan di tengah kehidupan hanyalah syariat Islam. Penerapan syariat Islam secara otomatis akan menutup celah bagi siapa saja yang ingin membuat aturan berdasar hawa nafsu. Karena syariat Islam hanya digali dari nash-nash syara'.
Islam juga memandang bahwa negara Khilafah dan penguasa adalah pengurus/pelayan bagi rakyat. Tak ada satu urusan pun yang tidak diurus oleh negara. Dalam hal pemenuhan pangan, Khilafah wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan setiap individu secara layak, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Khilafah wajib mengurus pemenuhan kebutuhan pangan dari hulu sampai hilir. Mulai dari ketersediaan lahan, modal, edukasi dan teknologi, benih, pupuk, infrastruktur pendukung, penanganan pasca panen juga kemudahan pemasaran. Sehingga petani bisa menjalankan pertanian dengan mudah dan hasil maksimal, serta mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Dalam hal stabilitas harga, maka tidak ada penetapan harga tertentu pada komoditas pangan. Besaran harga diserahkan pada mekanisme pasar sesuai dengan jumlah penawaran dan permintaan. Sehingga, baik petani maupun konsumen tidak ada yang dirugikan.
Islam juga melarang sistem jual beli ijon (membeli hasil pertanian ketika tanaman masih berumur sangat muda) dan penetapan harga komoditas oleh para tengkulak. Islam juga melarang praktik penimbunan dan monopoli komoditas pangan. Siapa saja yang melanggar, maka Khilafah akan memberlakukan sanksi berdasarkan ketentuan Islam.
Seperti itulah gambaran pengaturan Islam dalam menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat. Dengan pangan yang cukup dan berkualitas, maka akan sangat mudah mewujudkan generasi yang tangguh, kuat, dan cerdas. Namun, semua itu hanya bisa diwujudkan dalam institusi Khilafah, yakni satu-satunya institusi yang akan mengelola urusan pangan sesuai dengan tuntunan syara'. Sudah saatnya umat Islam menjadikan sistem Islam sebagai jalan keluar atas persoalan pangan dan segudang permasalahan lainnya, semata-mata demi meraih ridha Allah SWT. Sebab, Allah telah menegaskan bahwa satu-satunya agama dan sistem yang diridhai Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran:19).
Wallahu a'lamu bish showab.
COMMENTS