kerusakan sistemik
Oleh : Emmy Emmalya (Pegiat Literasi)
Kerusakan generasi muda kita saat ini hakekatnya disebabkan oleh beberapa faktor yang berjalin berkelindan, tak bisa dipisahkan. Bukan sekedar masalah keluarga dan pendidikan saja, melainkan juga melibatkan faktor-faktor lain seperti sosial, ekonomi, budaya dan politik yang menjadi lingkungan bagi keluarga dan institusi pendidikan.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa persoalan generasi ini adalah persoalan sistemik. Hal ini bisa kita cermati dari tiga pilar pendidikan berikut ; pertama, keluarga, sistem hidup masyarakat saat ini yang didominasi paham kapitalis telah menempatkan materi sebagai standar kebahagiaan keluarga. keluarga yang hidupnya mapan, anak-anaknya bisa bekerja di tempat bonafit merupakan standar bahagia. Akibatnya orientasi keluarga hanya berpusat pada mengumpulkan harta saja.
Keluarga hanya sekedar hubungan formalitas karena jarang bertemu dan berkomunikasi. Suami dan istri sama-sama disibukkan oleh kerja dan karier. Sebagian menjadikannya sebagai tujuan hidup, dan sebagian lagi terdorong oleh kebutuhan dan keterpaksaan.
Dari sini, mulailah hubungan keluarga terasa hambar. Peran dan kewajiban suami istri sebagaimana telah diatur oleh hukum-hukum syara’ diabaikan, akhirnya anak-anak menjadi korban. Mereka kekurangan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya, akhirnya mereka mulai mencari perhatian dan kasih sayang serta pengakuan di luar rumah.
Kondisi ini ditambah dengan kondisi sosial kultural yang rusak karena diwarnai oleh Liberalisme. Istri bekerja tanpa mengenal waktu, bersolek dan pergi bersama laki-laki lain dengan dalih urusan kerja. Suami bergaul bebas dan berpergian dengan teman wanitanya. Konflik bermunculan di tengah keluarga, Pergaulan bebas, perselingkuhan dan perceraian.
Di sisi lain, nilai-nilai agama semakin menjauh dari keluarga ditambah lagi ada wacana pelajaran agama akan dihilangkan di sekolah umum. Agama hanya dihayati sebatas ritual belaka dan kehilangan ruhnya sebagai pedoman dan peraturan hidup. Maka tak heran bila keluarga kehilangan tujuan hidup yang seharusnya.
Dengan kondisi seperti ini, ketahanan keluarga menjadi goyah. Sewaktu-waktu, institusi keluarga bisa hancur. Yang akan menjadi korban lagi-lagi adalah anak. Bagaimana bisa lahir generasi yang berkualitas dan generasi cemerlang dari produk pendidikan keluarga semacam ini?
Kedua, edukasi publik dijalankan di tengah masyarakat melalui media massa dan sosial media.
Semestinya edukasi publik mampu untuk memberikan materi-materi pendidikan yang tidak didapatkan di dalam keluarga dan institusi pendidikan atau memperkuat fakta-fakta kehidupan rill. Media massa mestinya mengaruskan suasana keimanan dan ketaatan masyarakat terhadap Islam dan hukum-hukumnya.
Namun dalam sistem kapitalis saat ini, edukasi publik justru menjadi sarana menjajakan gaya hidup konsumerisme dan hedonis. Gaya hidup yang mengedepankan kesenangan dan kenikmatan materi ini adalah sarana bagi kaum kapitalis untuk memastikan barang-barang produksi mereka laris manis di pasaran.
Kita saksikan bagaimana liciknya kaum kapitalis merubah keinginan menjadi kebutuhan, seolah-olah keinginan itu harus dipenuhi jika tidak maka akan menghantarkan pada jurang kematian. Dan ini dilakukan melalui edukasi publik.
Dari mulai gaya berpakaian, handphone hingga kuliner menjadi kebutuhan umum terutama para pemuda setelah diiklankan artis-artis idolanya. Mereka memburu barang-barang yang dikenakan para artis tersebut tanpa mempertimbangkan apakah barang itu sesuai dengan kebutuhan ataukah tidak.
Maka dibuatlah ajang pencarian bakat yang mengarah pada eksploitasi terhadap remaja dan pemuda yang terobsesi menjadi terkenal dengan cara instan dengan menjual sesuatu yang tidak bermanfaat bagi masyarakat. Mereka tak perduli meski untuk meraih ambisi ini mereka harus menabrak hukum-hukum syariat seperti mengumbar aurat, bergaul bebas dengan lawan jenis, bahkan hingga menjual harga diri.
Saat ini, media massa dan sosial media yang menyasar pemuda, menjadikan kebebasan adalah dewa. Fenomena stand up comedy yang menyampaikan konten-konten yang tidak memiliki batasan hingga hukum-hukum syariat dikritisi dan menjadi bahan guyonan sungguh perbuatan yang tidak lucu sama sekali. Lalu dijadikan artis-artis korea sebagai idola para remaja putri hingga ada yang rela menjual agamanya hanya demi mendapatkan perhatian dari idolanya. Semua fenomena Ini bisa menjadi ilustrasi edukasi seperti apa yang saat ini berlangsung.
Masalahnya, konsumen edukasi publik ini mayoritas adalah pemuda. Mereka melahap berbagai informasi tanpa mensortir ulang. Tak ayal lagi, terjadilah perusakan kepribadian secara masif. Demi untuk mengikuti gaya hidup idolanya yang berbiaya tinggi, sebagian remaja putri rela melacurkan diri, sementara yang laki-laki terjun ke dunia kriminal.
Ketiga, institusi pendidikan, seperti kita ketahui bersama sistem pendidikan yang diterapkan hari ini adalah sistem pendidikan sekuler.
Artinya, materi dan metode pengajaran mata pelajaran pendidikan agama Islam didesain untuk menjadikan Islam sebagai pengetahuan belaka, ini di satu sisi. Di sisi lain, pelajaran agama di sekolah hanya diberikan porsi yang minim untuk bisa memahamkan agama pada peserta didik.
Walhasil, sistem pendidikan seperti ini menghasilkan pemahaman agama sebatas gagasan kebaikan sebagaimana pandangan Barat terhadap konsep ketuhanan. Pelajar tidak akan memahami konsep keridhoaan Allah Swt sebagai standar kebahagiaan tertinggi yang harus diraih.
Kemanfaatan tetap meduduki posisi yang lebih diutamakan daripada halal dan haram. Islam kedudukannya sama dengan agama lain, yaitu hanya mengurusi urusan ibadah individu kepada tuhannya bukan sebagai sebuah sistem kehidupan yang mengatur dan memberi solusi bagi seluruh permasalahan manusia.
Ditambah lagi dengan kurikulum pendidikan yang berlandaskan faham pluralisme dan liberalisme, yang membuat para pelajar berfaham kebebasan dalam berfikir, berpendapat dan bertingkah laku.
Dari pemaparan diatas tampak betapa rapuhnya tiga pilar pendidikan ini. Selama sistem kapitalis yang mendominasi negeri ini masih bercokol maka kerusakan generasi tidak akan pernah bisa diselesaikan.
Visi Pendidikan Islam
Islam memiliki konsep pendidikan yang berbeda dengan konsep pendidikan barat. Perbedaannya dari ideologi yang melandasinya.
Pendidikan Islam didasarkan pada aqidah Islam, yang mengharuskan tujuan, kurikulum, materi dan metode yang digunakan semua merujuk pada pemikiran dan konsep Islam.
Tujuan dalam pendidikan Islam adalah membentuk manusia bertaqwa yang memiliki kepribadian Islam secara utuh, yakni pola pikir dan pola sikapnya didasarkan pada akidah Islam. Dengan tujuan seperti ini, maka output yang akan dihasilkan adalah generasi yang bertaqwa dan taat pada hukum-hukum Allah, bukan generasi yang miskin moralitas, lemah dan tidak memiliki pemahaman agama.
Selain itu pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan makan, rumah, kesehatan. Negara wajib menjamin pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga negara secara gratis hingga perguruan tinggi dengan fasilitas sebaik mungkin (An-Nabhani, Ad-Dawlah al Islamiyah, hlm. 283-284).
Negara juga akan memastikan apakah setiap orangtua mampu memberikan pendidikan kepada anak-anaknya dengan baik. Islam telah menetapkan pendidikan seorang anak dimulai dari keluarga, rumah adalah sebagai sekolah pertama bagi anak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw :
“Tidak ada pemberian orangtua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik” (HR.At-Tirmidzy).
Dengan demikian para orangtua akan bersinergi dengan negara dalam mencetak generasi unggul berkepribadian Islam sebagai penerus estafet peradaban Islam. Wallahu’alam bishowab.
COMMENTS