Demokrasi Hancur
Oleh: Zulia Ulfa (Aktivis Dakwah)
Nasib demokrasi di ujung tanduk. Rentetan peristiwa menyajikan bukti kuat akan nasib buruk sistem pemerintahan berbasis liberal ini. Digadang sebagai negara yang telah fasih dalam berdemokrasi, aksi anarkis penolakan hasil pemilu di Amerika Serikat justru menunjukkan langkah-langkah tak demokratis. Nampak semakin nyata kelamnya perjalanan pemerintahan di negara kampiun demokrasi ini.
Pasca terpilihnya Presiden AS ke-46 Joseph Robinette Biden Jr. (Joe Biden) pada November 2020 lalu, aksi massa berujung anarkis di Gedung Kongres Capitol Hill, Washington DC pada Rabu (6/1/2021) menjadi bahasan netizen dunia. Tragedi ini ditandai dengan bertenggernya 'Trump' di deretan trending topic Twitter dunia pada Kamis (7/1/2021). Sebagian netizen melihat aksi brutal pendukung Trump tersebut adalah respon atas kekalahan dalam Pilpres melawan rivalnya Joe Biden dan bertujuan untuk merusak demokrasi di AS (inet.detik.com, 7/1/2021).
Dunia merespon hal ini. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dalam cuitan twitternya mengatakan kerusuhan di Washington adalah insiden memalukan mengingat AS sebagai ikonnya demokrasi. Menurutnya, transisi kekuasaan harus berjalan dengan tertib dan damai. Sementara itu Jean-Yves Le Drian, Menlu Prancis mengatakan serangan terhadap institusi Amerika adalah serangan terhadap demokrasi. Keinginan dan suara rakyat AS menurutnya harus dihormati (beritasatu.com, 7/1/2021)
Aksi tuntutan pembatalan hasil pemilu sesungguhnya adalah sesuatu yang luar biasa dalam sejarah Amerika, mengingat kesepakatan suara mayoritas adalah bagian dari slogan demokrasi. Namun pengkhianatannya justru menguak fakta bahwa ini bukanlah penghinaan terhadap demokrasi, tapi merupakan akibat langsung dari demokrasi itu sendiri. Dinyatakan demikian karena memang demokrasi terbukti cacat dari akarnya.
Istilah demokrasi sebenarnya dicetuskan di Athena atas prakarsa Cleisthenes pada abad ke-5 sebelum Masehi. Berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu Demos yang berarti rakyat dan Cratos/Kratien/Kratia yang berarti kekuasaan/berkuasa/pemerintahan. Jadi, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kekuasaan dan kedaulatannya berada di tangan rakyat.
Namun nyatanya, kekuasaan atau kedaulatan di tangan rakyat tak pernah benar-benar terwujud. Rakyat hanya diberi otoritas untuk memilih para wakil mereka sebagai sarana untuk menduduki tahta kekuasaan. Setelah itu, konsep kebebasan hak asasi manusia (HAM) yang dimilikinya justru akan berbalik secara alami menjadi kekuasaan oligarki yang dikendalikan oleh sekelompok elit politik yakni para kapitalis. Hal ini lah yang kemudian memperkuat argumen kegagalan sistem pemerintahan demokrasi.
Bahkan kegelisahan terhadap nyawa demokrasi sebenarnya telah lama diutarakan oleh para penganutnya. Mengutip pernyataan presiden AS ke-2, John Adam dalam tulisannya yang menyatakan bahwa demokrasi secara alami tak akan bertahan lama. Ia akan melemah, segera terbuang, dan membunuh dirinya sendiri.
Dari deretan kejadian yang disuguhkan, hal yang perlu menjadi perbincangan adalah mengapa umat muslim saat ini masih melabuhkan harapan besar pada sistem rapuh ini. Padahal Allah Swt. telah menyiapkan suatu bentuk sistem pemerintahan mulia yang didasarkan pada syariat Islam (Al-Quran dan Sunnah). Sistem Islam merupakan medium untuk menegakkan din (agama) dan merealisasi syariat Allah Swt. yang dibingkai dalam tatanan negara bernama Khilafah.
Sistem Islam mampu menyelesaikan semua problem kehidupan dunia dalam sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri. Dimulai pada masa Khulafa al-Rasyidin sampai kekhilafahan Turki Usmani, sistem ini mampu menciptakan berbagai keistimewaan di segala sektor kehidupan dan selama kurang lebih 13 abad menjadi mercusuar dunia. Bahkan pada masa kekhilafahan Abbasiyyah, kegemilangan Islam mampu mencapai puncaknya atau disebut “The Golden Age of Islam”.
Disamping segala kemaslahatan yang akan diraih dari penerapan Islam secara menyeluruh, berhukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah Swt. adalah perkara wajib. Bahkan Allah Swt. melabeli orang yang tidak berhukum dengan syariat-Nya sebagai kafir. “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. al-Maidah: 44).
Namun semua perintah Allah Swt ini tidak mungkin dapat terealisasi tanpa adanya sebuah kekuasaan. Imam al-Ghazali rahimahullah berkata, “…Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang…” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, 1/17). Oleh karenanya menegakkan Khilafah disebut sebagai “taj al-furud” (mahkota kewajiban) yang tanpanya seluruh syariat Islam tak mungkin dapat ditegakkan.
Tentu saja kekuasaan Islam tak serta-merta diraih tanpa adanya usaha untuk mewujudkannya. Kini saatnya kita melayakkan diri menyongsong janji dalam kalam-Nya, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS: an-Nur: 55).
Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi” (QS: al-Fath: 28).
Wallahu’alam Bisshawab.
COMMENTS