tumbal demokrasi
Oleh: Wity (Aktivis Muslimah Purwakarta)
Prihatin, 70 orang calon kepala daerah terinfeksi Covid19, 4 orang diantaranya meninggal dunia. 100 orang penyelenggara termasuk Ketua KPU RI terinfeksi. Betapa besar pengorbanan untuk demokrasi. Perketat protokol kesehatan. Semoga wabah ini cepat berlalu.— Hamdan Zoelva (@hamdanzoelva) November 27, 2020
Demikianlah isi cuitan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva dalam akun twitternya. Beliau menyatakan keprihatinannya atas banyaknya calon kepala daerah dan anggota penyelenggara pemilu yang terpapar Covid-19.
Memang memprihatinkan. Di tengah serangan Covid-19 yang kian merajalela, pemerintah bersikeras melaksanakan pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Benarkah ini pengorbanan besar untuk demokrasi? Layakkah pengorbanan sebesar itu diberikan untuk demokrasi? Rasanya hal ini harus dipikirkan berulang-kali.
Selama ini rakyat selalu menjadi pihak yang terkorbankan atas nama demokrasi. Korban perasaan; entah berapa kali rakyat harus menelan pil pahit kekecewaan akibat janji-janji yang tak pernah terealisasi. Korban ketidakadilan; sudah berapa banyak kebijakan yang dilahirkan para penguasa yang alih-alih menyejahterakan justru semakin menyengsarakan. Korban nyawa; tidak ingatkah demokrasi telah merenggut ratusan nyawa pada pemilu 2019 silam?
Lantas apa yang telah demokrasi berikan untuk rakyat? Tak ada.
Jargon “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” dalam demokrasi nyatanya hanya ilusi. Proses pemungutan suara yang melelahkan dan menghabiskan banyak dana hanyalah kamuflase agar pemerintahan yang dihasilkan seolah benar-benar mewakili suara rakyat. Namun, di balik semua itu, demokrasi sesungguhnya adalah politik transaksional. Tak bisa lepas dari dukung-mendukung antara penguasa dan pengusaha besar/cukong.
Pihak yang mendapat dukungan kuat dari cukonglah yang akan menduduki kursi kekuasaan. Maka, tak heran bila kebijakan-kebijakan yang dihasilkan selalu menguntungkan para cukong. Sementara rakyat selalu menjadi korban janji-janji yang tak pernah ditepati.
Lagi pula, pemerintahan macam apa yang akan dihasilkan dari proses pemilihan yang mengabaikan keselamatan jiwa manusia?
Mengorbankan jiwa manusia demi menduduki jabatan penguasa jelas sangat tidak manusiawi. Proses yang tidak manusiawi hanya akan menghasilkan pemerintahan yang tidak manusiawi pula. Penguasa yang zalim. Penguasa yang rela mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan diri dan golongannya, khususnya pihak yang telah membantunya meraih kekuasaan. Jangan harap pemimpin yang dihasilkan akan membawa keadilan bagi rakyat.
Jika demikian, jelas tak layak pengorbanan besar diberikan untuk demokrasi. Sudah cukup rakyat jadi tumbal atasnama demokrasi. Rakyat membutuhkan pemimpin yang mampu mengayomi, melindungi serta mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan, bukan pemimpin zalim yang tega mempertaruhkan jiwa manusia demi kekuasaan. Pemimpin yang demikian hanya mampu dilahirkan dalam sistem Islam. Karena sistem Islam memandang kepemimpinan sebagai raa’in dan junnah bagi rakyat.
Rasulullah saw. bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).
Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk memberi nasehat kepada setiap orang yang dipimpinnya dan memberi peringatan untuk tidak berkhianat. Imam Suyuthi mengatakan lafaz raa‘in (pemimpin) adalah setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya. Lebih lanjut ia mengatakan, “Setiap kamu adalah pemimpin” Artinya, penjaga yang terpercaya dengan kebaikan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya (serambinews.com, 07/07/2017).
Rasulullah saw. juga bersabda: ”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Fungsi junnah dari Khalifah ini tampak ketika ada Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi saw. melindunginya, menyatakan perang kepada mereka dan mereka pun diusir dari Madinah. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tapi juga para Khalifah setelahnya.
Jika demikian, bukankan sudah selayaknya pengorbanan besar itu diberikan kepada dakwah Islam? Demi terwujudnya syariat Islam secara kaffah. Demi terwujudnya raa’in dan junnah bagi Islam dan kaum Muslim. Wallahu’alam.[]
COMMENTS