pilkada dalam Islam
Oleh: Titin Hanggasari (Muslimah komunitas WCWH)
Terasa mustahil rakyat bisa menaruh harapan kepada pemimpin dalam pilkada pemerintahan demokrasi . Yakni keinginan mendapatkan pemimpin yang ideologis dengan dasar politik yang berprinsip pada Aqidah Islam yang merupakan asas dan dasar untuk kepemimpinannya.
Kekecewaan rakyat kembali terjadi lagi, pada Pilkada yang di selenggarakan serentak tanggal 9/12/2020 yang lalu. Pesta rakyat tersebut nyatanya meninggalkan beberapa masalah yang membekas. Penyelenggaraannya sangat dipaksakan sebab pandemi covid 19 belum berlalu. Kelihatan jelas sekali, jika kebijakan ini tega meyodorkan rakyat kedalam bahaya virus menjadi kondisi yang lebih parah lagi. Yaitu menciptakan kluster baru, penularan covid 19.
Selain itu, Badan Bawaslu menemukan 23 kasus dugaan politik uang di beberapa daerah di Jawa Tengah. Temuan ini terjadi pada masa tenang (6-8 Desember 2020) sebelum pemungutan suara tanggal 9 Desember 2020.
Bawaslu juga menemukan 205 laporan dugaan politik uang sejak masa kampanye pilkada tersebut. Praktik ini sudah menjadi tradisi mengakar turun temurun yang sangat sulit dihapuskan pada sistem demokrasi. Sebab inilah satu-satunya jurus pembius kondisi rakyat yang terjepit karena sulitnya hidup di tengah zaman ekonomi sekuler kapitalis ini. Yaitu dengan memberikan uang, sembako dan janji-janji kampanye demi mencapai perolehan suara terbanyak. Inilah praktik kotor yang terlihat pada pemilu demokrasi. Nyarisnya praktik ini sudah menjadi tradisi kental baik di tingkat daerah sampai pusat.
Menkopolhukam Mahfud MD membenarkannya, bahwa “ praktik politik uang atau money politik akan tetap ada dalam sistem pemerintahan baik langsung maupun tak langsung, kalau pilihan langsung kepada rakyat ini money politiknya eceran, kalau lewat DPRD itu borongan, kita bayar ke partai selesai. Kalau ke rakyat Ya seperti sekarang ya bayar pakai amplop satu persatu katanya” dalam diskusi daring pilkada dan konsolidasi demokrasi lokal Sabtu 5 Desember 2020.
Suatu bukti nyata bahwa asas pemilihan umum telah diperparah oleh sistem ekonomi sekuler kapitalisme, sehingga hasilnya gagal membangun kesejahteraan rakyat dan memperoleh pemimpin yang amanah. Yang nampak malah bagaimana cara memisahkan agama dari kehidupan. Selanjutnya asas kebebasanlah yang di agungkan dalam pemerintahannya.
Akibat dari semua itu, Islam tidak pernah diberi ruang untuk mengatur negara. Rakyat hanya diberikan janji-janji belaka. Hasilnya sepanjang sejarah demokrasi berdiri rakyat hanya mabuk janji hidup sejahtera, jauh panggang daripada api, dari pencapaian hak hidup rakyat secara mendasar.
Sistem ini pula menjauhkan keinginan rakyat mendapatkan pemimpin yang berkualitas dan kepribadian luhur, pemimpin yang mengutamakan kepentingan dan mengayomi rakyatnya. Sistemlah yang membuat kebebasan berkuasa bukan pada personilnya.
Lalu bagaimana cara memilih pemimpin dalam Islam?
Berbeda dengan demokrasi, pemilihan pejabat dalam sistem islam di dasarkan pada pandangan politik Islam. Yang mengedepankan rasa kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Suatu sistem yang memelihara urusan rakyat berdasarkan hukum syariat secara mendalam.
Pemilu dalam Islam adalah untuk memilih pemimpin, dengan tujuan untuk mengetahui siapa calon yang akan di kehendaki oleh rakyat, yaitu yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunah. Melalui Majelis Umat mereka menyampaikan aspirasinya. Majelis umat adalah majelis yang bertugas untuk mengontrol jalannya kepemimpinan Khalifah sebagai kepala pemerintahan. Masa jabatan Khalifah tanpa batas waktu, kecuali ada hal yang menjadi penyebab kepemimpinannya di copot.
Bai'at adalah satu-satunya metode pengangkatan Khalifah. Di dalam bai'at terkandung komitmen umat untuk menaati Khalifah. Adapun sebaliknya Khalifah berkomitmen untuk menaati kitabullah dan Sunnah Rasulnya di tengah-tengah umat (Abdul Qodim Zallum, Nizham al-hukm fi al-Islam, Beirut: Darul Ummah 2002, hlm. 56)
Bagaimana dengan pemilihan kepala daerah? Pemilihan wali atau setingkat gubernur ataupun Amil setingkat bupati? Khalifah akan mengangkatnya langsung. Sehingga dalam Islam tidak mengenal pilkada terlebih pesta rakyat. Maka penyelenggaraan pemilihan dengan metode teknis yang praktis dan sederhana, tidak perlu biaya besar, sehingga biaya tersebut dapat dialokasikan untuk memaksimalkan kepentingan rakyat.
Kepala daerah ini dipilih karena ketaatan dan kapasitasnya untuk menjalankan tugas membantu khalifah dalam menjalankan seluruh ketentuan hukum syara’. Para pejabat yang terpilih akan menyibukkan diri dengan tugas yang baru diamanahkan, mereka akan fokus membantu khalifah dalam meriayah rakyat dengan syariat Islam.
Masa jabatan kepala daerah ditentukan oleh Khalifah, jabatan kepala daerah tidak ada kurun waktu tertentu. Namun tidak boleh terlalu lama. Seorang kepala daerah, baik wali maupun amil, bisa diberhentikan oleh Khalifah kapan saja dan bisa diangkat lagi untuk daerah lainnya.
Seorang Kepala Daerah tidak boleh dipindahtugaskan dari satu wilayah ke wilayah lain tanpa ada pemberhentian jabatan terlebih dahulu di wilayah lama. Pasalnya, pengangkatan dirinya di suatu wilayah bersifat umum untuk satu wilayah tertentu. Oleh karena itu, wali harus diberhentikan dari jabatannya di wilayah lama, kemudian baru diangkat lagi di wilayah yang baru. Jika kepala daerah tersebut meninggal, khalifah akan segera mengangkat seseorang untuk menggantikannya. Proses penggantiannya pun tidak berlangsung lama, yakni maksimal selama 3 hari, wilayah tersebut sudah harus mempunyai kepala daerah.
Mekanisme ini jauh lebih murah, tidak memerlukan kampanye akbar yang menghabiskan biaya dalam jumlah besar. Selain itu, khususnya dimasa pandemi wabah penyakit, mekanisme ini bisa menjauhkan kemudharatan, karena tidak akan menimbulkan aktivitas kerumunan/bergerombol yang akan menyebabkan tersebarnya wabah.
Metode dan tatacara memilih pemimpin ini akan menjalin ketaatan menyeluruh. Baik dari Khalifah, wali/gubernur, amil/bupati maupun rakyat sama-sama menjalankan apa yang di perintahkan syara’.
Harusnya metode/cara pemilu dalam Islam, dijadikan sebaik-baik acuan untuk sebuah sistem pemerintahan dalam memilih pemimpin. Selain praktis, syar’i, juga mendapatkan seorang pemimpin yang berkualitas.
Maka tidak heran, rakyat saat ini merindukan kepala daerah yang mampu meriayah, melindungi, memberikan rasa aman, melindungi nyawa, serta mendukung keinginan beribadah sebagai insan yang ingin taat, yang itu semua hanya bisa didapatkan dalam sistem Khilafah dengan mekanisme pilkada yang praktis, sederhana, dan bisa dicapai dengan biaya sangat murah.
Sekarang rakyat pun banyak yang tersadar dan mempertanyakan, kenapa dalam demokrasi yang menggunakan biaya besar, kampanye dengan mengumbar janji, tapi tidak mendapatkan pemimpin yang berkualitas?, yang didapat malah Pemimpin yang ingkar janji, Bukankah janji adalah hutang yang harus ditepati?
Mari raih ketaatan, hati-hati dengan janji, bila sudah kadung berjanji maka ranahnya sudah berakad dengan Allah SWT. Yuk saling mengingatkan dan mau diingatkan.[]
COMMENTS