penjajahan gaya baru
Menurut sistem ekonomi kapitalisme, pembangunan Kawasan industri adalah solusi dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Apalagi era pandemi, pembangunan kawasan industri diharapkan dapat memulihkan perekonomian.
Begitupun yang tengah terjadi di Subang, Jawa Barat. Pembangunan Subang Industrial Park adalah salah satu upaya dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Namun, apakah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta merta menjadikan rakyatnya sejahtera?
Kawasan Industri yang berlokasi di Subang, sedang digarap oleh PT Surya Semesta Internusa Tbk. (SSIA), Melalui anak usahanya PT Suryacipta Swadaya (SCS) yang telah sukses membangun kawasan industri di Karawang selama 30 tahun. SSIA mendapatkan dana pinjaman untuk membangun Subang dari IFC (Internasional Finance Coorporation). [1]
IFC merupakan anggota word bank yang diatur oleh 184 negara anggotanya dan berkantor di Washington DC. Inilah yang dinamakan utang berbalut investasi. Seolah pembangunan Subang Industrial Park berskemakan investasi, nyatanya SSIA pun mendapat pinjaman dari lembaga yang berafiliansi pada AS. Gelontoran dana dari IFC pun bisa menjadi indikasi adanya hegemoni AS atas pembangunan industri di Jabar.
Konversi Lahan Menghilangkan Mata Pencaharian dan Mengancam Ketahanan Pangan
Nantinya, SCS akan menggunakan dana pinjaman tersebut untuk pembangunan tahap 1 dari proyek industri dengan total luas 2.700 hektar. Tiga BUMN yang mengembangkan kawasan industri sebesar 11.000 hektar itu yakni, WIKA, PTPN dan RNI. [2]
Dengan adanya pembangunan kawasan Industri yang besar-besaran, itu artinya akan terjadi alih fungsi lahan yang juga besar-besaran. Dan Sebagaian besar lahan yang akan dikonversi berupa lahan sawah dan lahan perkebunan.
Adapun dampak alih fungsi lahan yang paling terasa adalah hilangnya mata pencaharian. Banyak dari kepala keluarga yang terpaksa berhenti bertani. Sebab mata pencaharian mayoritas di Subang adalah petani. Sedangkan Industri tak bisa menampung mereka yang kehilangan pekerjaanya, karena terjegal sejumlah birokrasi seperti ijasah.
Mayoritas angkatan kerja di Subang berijasah SD [3], yang dinilai kurang kompetitif. Ditambah dengan akses modal yang sulit dan keahlian wirausaha yang minim, telah melengkapi keterpurukan mantan petani yang kehilangan mata pencahariannya.
Selain itu, adanya Turnkey Project Management. Manajemen proyek kunci putar ini semestinya disadari sangat merugikan dan berbahaya bagi bangsa. Manajemen ini memberi peluang sangat besar terhadap tekanan para investor terhadap negeri ini.
Akibatnya, tenaga kerja lokal tidak terpakai, atau jikapun terpakai akan diperlakukan diskriminatif. Seperti penyediaan sarana disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja asing (TKA). Padahal, sarana mereka seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Islam (miras, prostitusi hingga narkoba). Potensi kerja intelijen oleh TKA pun disinyalir oleh banyak pengamat, dapat menguasai aset strategis milik bangsa. Bila proyeksi keuntungan dari investasi itu tidak bisa dicapai.
Selain itu, beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri pun telah mengancam ketahanan pangan. Sehingga ketergantungan terhadap pangan impor akan semakin besar. Sedangkan ketergantungan impor akan berpotensi menghancurkan kedaulatan pangan. Dan pada gilirannya akan semakin mencengkram kedaulatan bangsa.
Alasan Investor Berebut: Lokasi yang Strategis, SDA dan Faktor Produksi murah
Pihak pengembang telah menerima banyak inquiry. Itu artinya, promosi gubernur Jabar sukses besar. Para Investor yang akan mengisi kawasan Industri ini antara lain dari negara Jepang, Korea Selatan, China, Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa.[4]
Mengapa para investor asing “berebut” menanamkan modalnya di kawasan ini? Pertama, karena lokasinya yang strategis, yaitu berada di kawasan Segitiga Rebana. Selain itu, kawasan ini dilalui jalan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali).
Wilayah utaranya memiliki akses menuju Pelabuhan Patimban. Ditunjang pula dengan Bandara Internasional Kertajati. Akses yang mudah telah semakin mempermudah asing dalam eksploitasi SDA.
Kedua, Subang memiliki SDA yang melimpah karena wilayahnya memiliki lingkungan dari pantai hingga pegunungan. Bagian selatan berupa dataran tinggi yang menyimpan potensi agraria seperti perkebunan kopi, teh dan buah-buahan. Juga terdapat pertambangan batu di Kasomalang.
Di bagian utaranya ada potensi maritim seperti perikanan di Balanakan, pelabuhan di Patimban, pariwisata di Pantai Cirewang Logonkulon dan potensi minyak dan gas bumi di Pusakanagara. Di Subang pun ada pabrik alutsista terbesar di Asia, PT Pindad.
Selain SDA yang melimpah, faktor produksi di Subang relatif masih murah. Seperti upah buruhnya yang relatif rendah [5] dan harga tanahnya yang masih murah. Inilah juga yang menjadi alasan perusahaan kelas dunia asal Taiwan PT Meilon Technology Indonesia (MTI) yang bergerak di bidang pembuatan speaker, resmi memindahkan pabriknya dari Suzhou, Tiongkok ke Taifa Industrial Estate, Pagaden, Subang. Nilai investasi dari relokasi tersebut mencapai USD 90 juta dan diperkirakan bisa menyerap sekitar 3000-4000 tenaga kerja. [6]
Eksploitasi SDM
Konsep Subang Smart Politan bukan hanya menciptakan kawasan industri, melainkan juga mencakup properti komersial, hunian, area rekreasi dan pendidikan. Model pengembangan yang terintegrasi ini sebenarnya adalah design asing yang menghendaki kaffah dalam menghegemoni. Karena bukan hanya SDA nya yang dieksploitasi tapi juga SDM nya didisain untuk mendukung hegemoni Barat.
SDM harus dibuat agar tak menyulitkan penjajah dan menurut pada apa yang diinginkan mereka. SDM yang ada haruslah menjadi sekrup-sekrup pengencang mesin hegemoni Barat. Dibuatlah masyarakat yang apolitis, salah satunya dengan mengkampanyekan radikalisme. Yang sesungguhnya adalah propaganda hitam terhadap ajaran Islam Kaffah, Khilafah.
Adanya properti komersial seperti hotel dan juga hunian mewah, akan menggeser lifestyle masyarakat Subang menuju kebarat-baratan. Dari sini akan melahirkan preferensi masyarakat yang sangat mudah disetir oleh kepentingan korporasi. Seperti Korea Selatan yang tertarik berinvestasi di Subang, mau tidak mau transfer budaya hallyu atau Korean Wave akan terjadi di sana.
Setelah itu, menjadikan masyarakatnya menjadi konsumtif. Karena negara berkembang adalah market besar bagi produksi negara makmur. Adanya Kafe-kafe, Mall, dan wahana hiburan dunia fantasi atau water boom. Bahkan karoke dan kleb malam melengkapi terbentuknya masyarakat dengan lifestyle yang dibentuk korporasi. Inilah penjajahan budaya yang sering kita sebut 3F (food, Fashion end Fun).
Kehidupan yang hedonisme dan juga pendidikan yang mengacu pada kurikulum Barat, akan menjadikan rakyat semakin terbawa arus liberal. Selain itu, kawasan industri biasanya menciptakan ekses negatif terhadap hubungan sosial masyarakatnya. Seperti permintaan PSK yang tinggi dan juga bermunculannya LGBT. Kondiisi ini telah dialami oleh daerah industri pendahulu, seperti Tanggerang, Bekasi dan Karawang juga Purwakarta. Dari sinilah permintaan terhadap bisnis hiburan dan protitusi akan meningkat pesat.
Sistem Ekonomi Islam Solusi
Oleh karena itu, berbagai macam kemudhorotan yang di dapat dari pembangunan kawasan industri secara besar-besaran. Tak lepas dari sistem ekonomi kapitalisme yang dianut Indonesia, termasuk Subang. Maka telah jelas, pembangunan Industri bukan untuk rakyat, tapi untuk korporasi. Sehingga janji kesejahteraan hanyalah mimpi disiang bolong.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang berporos pada kemaslahatan umat. Maka pembangunan industri pun semata untuk terselesaikannya kebutuhan masyarakat. Pihak swasta dilarang untuk mengeskploitasi SDA yang melimpah.
Karena sejatinya, pemilik SDA yang melimpah itu adalah umat dan pengelolaanya harus diatur oleh negara. Agar hasilnya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh umat. Sehingga, masyarakat sejahtera adalah niscaya dalam pengaturan sistem ekonomi Islam. Dan sistem ekonomi Islam hanya bisa diterapkan dalam sebuah institusi yang menjadikan Islam sebagai asasnya, yaitu Khilafah.[]
COMMENTS