corona pasca pilkada
Oleh: Yulia Putbuha, S.Pd.I
Pemilihan kepala daerah telah usai, lonjakan korban covid-19 kian meningkat. Data covid-19 sebelum Pilkada, 8 Desember 2020, tercatat 586.841 kasus positif COVID-19 terkonfirmasi di Indonesia. (Liputan6.com,8/12/2020)
Dilansir dari Merdeka.com, satu minggu setelah Pilkada. Kasus Covid-19 di Indonesia kembali meningkat. Hingga Rabu (16/12), jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 636.154 orang.
Hanya dalam jeda satu minggu kenaikan kasus covid-19 begitu fantastis. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang terkesan memaksakan ini, tanpa disadari menjadi klaster terbesar dalam penyebaran covid-19.
Betapa tidak, proses pencoblosan mulai dari kampanye sampai pemungutan suara dilaksanakan sangat berpotensi menimbulkan kerumunan. Adanya petugas KPPS yang terpapar covid-19 dan adanya calon kepala daerah yang meninggal merupakan bukti telah terjadi kerumunan. Sungguh merupakan akhir dari Pilkada yang tidak diharapkan.
Atas dalih 'berkorban demi demokrasi' nyawa pun menjadi taruhan. Namun, kenyataannya pengorbanan tidak sebanding dengan hasil, karena sejatinya katika rakyat memilih, kepala daerah yang terpilih mampu membuahkan hasil berupa perubahan terhadap daerahnya, baik itu perubahan ekonomi, pendidikan dan sosial.
Namun fakta membuktikan bahwa berharap pada sistem demokrasi diibaratkan "bagai pungguk merindukan bulan" Sesuatu yang tidak mungkin mengharap akan adanya perubahan pada sistem demokrasi, karena demokrasi yang masih satu muara dengan kapitalisme yang tolak ukurnya adalah kapital, dimana semuanya pertimbangannya adalah materi.
Sebagai contoh ketika sebelum Pilkada, calon kepala daerah berlomba-lomba mengambil hati rakyat dengan janji-janji manisnya agar dipilih. Ketika yang terpilih menduduki kursi kekuasaan, dengan mudah melupakan rakyat dan lebih mementingkan pada pemilik modal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya politik dalam demokrasi sangatlah mahal dan mereka biasanya didanai oleh para cukong dan pemodal asing. Yang nanti berdampak pada kebijakan-kebijakan yang diambil, dimana kebijakannya sesuai dengan yang mereka pesan.
Jadi tidak heran banyak para pejabat yang memiliki harta kekayaan yang fantastis jumlahnya, karena kedekatannya dengan para pemilik modal. Dengan cara memudahkan para pemilik modal untuk menguasai kekayaan yang seharusnya milik rakyat.
Begitulah wajah asli demokrasi. Pilkada pada kenyataannya bukan untuk menunaikan hak konstitusi rakyat, tetapi lebih kepada kepentingan elit politik.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain selain kembali kepada sistem yang lurus. Sistem yang dimana pernah diemban sampai mencakup 2/3 dunia, Sistem yang pernah berjaya selama 13 abad lamanya, sistem yang sudah terbukti mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan. Termasuk permasalahan ketika ditimpa pandemi. Sistem itu adalah sistem Islam, sebuah sistem yang berasal dari Sang Maha Pencipta yakni Allah SWT.
Ketika menghadapi masalah pandemi, khalifah Umar bin Khathab adalah salah satu Khalifah yang berhasil mengentaskan masalah ini. Yaitu dengan karantina atau lockdown di awal penyebaran virus. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, menggunakan dana Baitul Mall.
Kemudian terkait dengan pemilihan pejabat negara, dalam sistem Islam seorang pejabat diangkat langsung oleh Khalifah (Pemimpin) dengan kriteria-kriteria yang sesuai dengan hukum syari'ah. Bukan dengan pemilihan suara terbanyak seperti dalam pemilu di sistem demokrasi.
Dengan demikian, jelas pengangkatan pejabat negara pada sistem Islam berbeda dengan dalam sistem demokrasi. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang disinyalir untuk menunaikan hak rakyat hanyalah bualan belaka, karena dalam penerapannya demokrasi bukanlah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Jadi jelas, hanya sistem Islam yang mampu memberikan solusi atas segala problematika kehidupan bukan sistem buatan manusia seperti yang ada dalam sistem demokrasi.
Wallahu a'lam bishowab
COMMENTS