minyak mentah naik
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih | Institut Literasi dan Peradaban
Lagi-lagi Covid-19 menjadi buah bibir, kali ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan sebagai game changer bagi perekonomian global baik di tahun ini dan setelahnya. Dilansir dari CNNIndonesia, 9 Desember 2020, Menkeu mengatakan sejak Maret 2020 berbagai pasar global mengalami shock ( goncangan) yang luar biasa, salah satunya pasar minyak mentah, hingga menyentuh harga negatif pada April 2020.
"Bahkan harga minyak kalau masih ingat sempat dua hari mengalami harga negatif, seumur saya menjadi menteri atau profesional ekonom belum pernah kita mengalami negative price. Melonjak sering, volatile iya, tapi negatif baru pertama kali dalam hidup saya," kata Menkeu saat membuka acara Tempo bertajuk Pandemi dan Keberlanjutan Reformasi Pajak, Selasa, 8 Desember 2020.
Minyak mentah di dunia ini ternyata harganya mengacu pada West Texas Intermediate (WTI) perbarelnya. Ketika harga minyak ala WTI anjlok maka minyak mentah yang lain ikut anjlok. Penurunan drastis harga minyak mentah WTI ini dipicu oleh penurunan permintaan pasar akibat pandemi virus corona. Selain itu juga dipengaruhi dengan derasnya arus keluar modal asing dari pasar domestik.
Ini artinya ada kepanikan investor terkait keadaan ekonomi di Indonesia yang dianggapnya buruk kemudian beralih ke negara lain yang lebih aman (instrumen safe Haven). Akibat dampak penurunan harga ini tak hanya Indonesia yang mengalami, Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak juga mengatakan hal yang sama, bahwa negaranya mengalami kondisi ekonomi terburuk dalam 300 tahun terakhir akibat pandemi Covid-19.
Inilah hasil spekulasi para kapitalis dunia yang digawangi Amerika. Mereka menentukan standar harga minyak mentah sesuai kehendak mereka, padahal minyak mentah adalah salah satu sumber energi bumi yang itu menjadi kepemilikan umum, setiap orang bisa menikmatinya dengan pengaturan kepemilikan dan pengelolaannya pada negara.
Nilai positif atau negatif jika dilihat dalam prespektif kapitalis memang amat sangat mengganggu, namun solusi yang mereka tempuh justru membuat minyak mentah itu semakin langka di pasaran. Misalnya dengan maraknya praktik penimbunan minyak atau malah mengoplosnya untuk kemudian menunggu harga bergerak naik atau setidaknya ke angka yang mereka kehendaki.
Semua demi keuntungan pribadi para pemilik modal. Negarapun akan mendapatkannya, meskipun nominalnya sedikit, bahkan tender kerjasama sejak awal sudah diwarnai oleh korupsi, kolusi dan nepotosme (KKN) oleh oknum pejabatnya secara terorganisir. Padahal seharusnya harga minyak murah dan dapat dinikmati oleh segala lapisan masyarakat. Tapi dalam payung kapitalisme, urusan rakyat dikapitalisasi.
Lantas, secara logika, nilai minyak mentah positif atau negatif tidak akan berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat, sebab minyak menjadi salah satu komoditas perdagangan yang hanya menggali untung semata. Inilah pentingnya syariat Islam mengaturnya menjadi kepemilikan umum, sebab nilainya yang luar biasa yang jika dimiliki oleh sebagian kapitalis saja akan membinasakan banyak orang.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut ,"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Maknanya adalah manusia siapapun dia boleh memiliki kemanfaatan dari Padang rumput, air dan api. Sebab ketiganya adalah kebutuhan pokok bagi manusia. Namun bukan berarti bolehnya berserikat itu pada zatnya.
Sebab, dalam sebuah peristiwa Rasulullah Saw membolehkan individu memiliki sumur. Seandainya kebolehan berserikat itu atas zatnya tentu Rasulullah akan melakukan sebaliknya, hal ini karena berserikat yang dimaksud adalah karena sesuatu itu sifatnya dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas) dan jika tidak ada maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya.
Dengan kata lain, posisi air, padang rumput dan api sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas atau masyarakat. Karena jumlahnya besar dan biasanya dalam mengeksplore membutuhkan biaya dan tenaga yang cukup besar maka negaralah yang mengelola. Boleh negara menjualnya kepada rakyat atau negara lain namun hasil penjualan dimasukkan ke dalam pos pendapatan umum Baitul Mal.
Dari sinilah selain rakyat bisa menikmati energi dan derifasinya secara zatnya sesuai kebutuhan dengan harga murah ia juga bisa mendapatkan manfaat tak langsungnya yaitu berupa jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan dan lainnya dari negara melalui pembiayaan Baitul Mal.
Mekanisme pengelolaan SDA yang adil dan merata tak akan pernah kita peroleh selama masih keukeuh mempertahankan sistem kapitalisme, sebab jiwanya saja sudah berbeda, yaitu selalu mencari keuntungan semata tak peduli caranya haram maupun halal. Kita harus kembali kepada pengaturan Islam. Yang meniadakan campur tangan asing, terutama negara penjajah seperti kafir barat. Wallahu a'lam bish showab.
COMMENTS