demokrasi rusak
Oleh: Mahrita Julia Hapsari (Komunitas Muslimah untuk Peradaban)
Demokrasi saat ini masih dianggap sebagai sistem pemerintahan terbaik. Jargon dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat membuat demokrasi terlihat ideal di mata rakyat. Atau slogan vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Seakan urusan rakyat selalu number one.
Faktanya, jauh panggang dari api. Bukan suara rakyat yang terdengar di singgasana kekuasaan. Pengelolaan aset negeri juga bukan untuk rakyat. Bahkan kucuran dana segar yang jumlahnya triliunan rupiah pun tak dirasakan rakyat.
UU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi saksi bisu pengkhianatan penguasa pada rakyatnya. Gelombang aksi penolakan di berbagai daerah oleh seluruh elemen masyarakat ternyata tak mampu membatalkan pengesahan UU yang hanya menguntungkan kapital. Drama ketok palu tengah malam dan revisi UU laksana revisi skripsi yang berkali-kali. Telah cacat secara konstitusi, namun tetap dipaksakan. Apakah suara rakyat didengar?
Bahkan di tengah pandemi, Pilkada tetap ngotot diselenggarakan. Dana yang tak sedikit (Rp20,49 triliun) serta resiko penularan yang tinggi, seakan rakyat menjadi tumbal pesta demokrasi. Padahal, banyak tokoh dan ahli yang berpendapat untuk menunda Pilkada. Namun demi memuluskan rencana bagi-bagi kekuasaan, Pilkada tetap berlangsung.
Apakah terpilih para pemimpin daerah yang mau mengurusi rakyatnya? Biaya menjadi calon kepala daerah tidak sedikit. Menjadi calon bupati saja memerlukan modal Rp25-30 miliar (kompas.com, 03/12/2019). Sedangkan untuk menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar lebih (cnbcindonesia.com, 19/11/2018). Gaji gubernur selama 5 tahun menjabat pun takkan mampu menutupi modal sebesar itu.
Bukan dari kantong sendiri untuk membiayai Pilkada. Perlu ada sponsor dari pihak swasta yaitu para pengusaha. Konsekuensi logis saat memenangkan kontestasi adalah mengembalikan modal dari para sponsor. Ada dua hal yang bisa dilakukannya, membuat kebijakan pro kapital dan berbuat korup. Bisa dibayangkan bagaimana nasib rakyat saat penguasanya berselingkuh dengan pengusaha.
Lihat, demokrasi telah mengingkari slogan dan jargonnya. Demokrasi juga bisa mati, dan yang membunuhnya adalah penguasa yang terpilih dalam proses demokrasi (pemilu). Ironis.
Dijelaskan dalam buku How Democracies Die yang ditulis oleh duo ilmuwan politik dari Universitas Harvard, yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Ada empat tanda demokrasi telah mati. Pertama, lemah komitmen terhadap sendi-sendi demokrasi. Ditandai dengan suka mengubah UU, melarang organisasi tertentu, dan membatasi hak-hak politik warga negara. Di Indonesia sudah terlihat dari pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kedua, penolakan terhadap legitimasi oposisi. Indikatornya, memberikan label pada lawan politik dengan sebutan subversif. Penangkapan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menjadi bukti ciri kedua ada di Indonesia.
Ketiga, toleran terhadap aksi kekerasan. Indikatornya, ada organisasi paramiliter yang selalu dilindungi disetiap aksi kekerasan dan main hakim sendiri. Kita semua tau siapa organisasi paramiliter di negeri ini yang kerap membubarkan pengajian.
Keempat, kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil. Indikatornya, membuat UU yang bisa membatasi kebebasan sipil terutama hak-hak politik dan kebebasan berpendapat. Track record UU ITE telah menjerat rakyat sipil yang menyampaikan kritik kepada pemerintah.
Lengkap sudah tanda-tanda kematian demokrasi di negeri ini. Kini, pemerintahan berjalan di atas oligarki kapital dengan gaya otoritarian. John Adams, Presiden AS ke-1 mengatakan: "Ingatlah bahwa demokrasi takkan bertahan lama. Ia akan segera terbuang, melemah dan membunuh dirinya sendiri. Demokrasi akan segera memburuk menjadi anarki." (The World of John Adams, Ed. Charles Francis Adams vol.6).
Asas sekulerisme telah menjadikan demokrasi sebagai sistem yang rusak dan merusak kehidupan manusia.
Sebagai sistem yang lahir dari buah pikir manusia, demokrasi takkan mampu menjamin keadilan. Akal manusia lemah dan terbatas dalam menjangkau hakikat. Sistem peraturan yang lahir dari demokrasi sekulerisme berpotensi melahirkan konflik dan kezaliman.
Orientasi hidup materialistis disokong pilar kebebasan demokrasi. Hal tersebut hanya menjadikan dunia seperti hutan rimba. Yang kuat semena-mena terhadap yang lemah. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Jangankan manusia, alam pun ikut rusak.
Secara teori, fakta dan historis, demokrasi akan menemui ajalnya. Lantas, apakah perlu menyelamatkannya dari kematian? Dengan mantap kita katakan: Tidak.
Sistem alternatif yang akan menggantikan demokrasi telah siap. Sistem yang menerapkan seperangkat aturan yang bersumber dari Allah SWT, Pencipta dan Pengatur alam semesta. Takkan ada konflik kepentingan karena Allah menjamin aturan-Nya justru akan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Sistem ini sudah terbukti keunggulan dan akuntabilitasnya selama 13 abad. Menaungi lebih dari 1/3 dunia yang terdiri dari berbagai macam bangsa. Keadilan dan kesejahteraan merata dirasakan seluruh warga negara. Tak hanya muslim, non muslim pun mendapatkan perlakuan yang sama yaitu jaminan keadilan dan kesejahteraan.
Kehadiran sistem pengganti demokrasi kapitalisme telah diprediksi oleh Barat. Dalam mapping the global future, National Intelligence Council (NIC) pada tahun 2004 mengungkapkan skenario terbentuknya kekhilafahan baru pada tahun 2020. Meskipun belum terwujud, gaung khilafah semakin kencang.
Sebagai seorang muslim, kembalinya khilafah bukan diprediksi oleh Barat. Karena kembalinya kekhilafahan adalah perkara keimanan. Cukup dengan nash Al-Qur'an dan dalil As-sunah. Allah SWT telah menjanjikan kemenangan bagi umat muslim (An-Nur ayat 55).
Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Ahmad, menyampaikan bisyarah kembalinya kekhilafahan yang mengikuti metode kenabian setelah masa kekuasaan yang diktator dan menyengsarakan. Bukankah ini zaman penguasa diktator dan menyengsarakan itu?
Hanya Allah dan Rasul-Nya yang tak pernah menyelisihi janji. Khilafah pasti akan kembali. Demokrasi akan segera menemui ajalnya. Mari bersiap menyambut abad khilafah. Wallahu a'lam []
COMMENTS