aksi 1812
Ribuan massa demo 1812 dipukul mundur oleh petugas gabungan TNI-Polri didepan Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat 18 Desember 2020.*/ /Tangkapan layar livestreamingTVOne |
By Asyari Usman
Berunjuk rasa itu adalah hak asasi rakyat sebagaimana tertera di UUD 1945 Pasal 28 E. Kemudian, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi lewat Undang-Undang No. 12 tahun 2005. Lalu ada Pasal 25 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Dalam siaran pers tertanggal 19 Oktober 2020, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan bahwa unjuk rasa (demonstrasi) tidak memerlukan izin. Cukup pemberitahuan tempat dan taksiran jumlah massa. Kata Mahfud, petugas keamanan harus memperlakukan pengunjuk rasa dengan humanis.
Jadi, cukup jelas hak untuk menyampaikan pendapat di depan umum. Untuk tidak memberikan izin, Kepolisian harus memiliki alasan yang diatur juga di dalam UU. Tidak bisa hanya dengan mengeluarkan pernyataan “tidak diizinkan”.
Ribuan orang ikut dalam aksi 1812 di Jakarta. Tetapi, banyak warga yang datang dari luar Jakarta tidak bisa masuk karena dicegat oleh petugas. Aksi ini sendiri dibubarkan oleh aparat keamanan.. Rakyat juga menuntut pembebasan tanpa syarat H125.
Mengapa rakyat harus turun lagi? Simpel saja. Rakyat hanya ingin merespon kezaliman yang semakin menjadi-jadi. Dalam suasana seperti sekarang ini, pastilah publik merasa berat turun ke jalan. Tetapi, peristiwa pembunuhan 6 laskar dan penahanan H125 yang dirasakan sangat tidak adil itu membuat masyarakat tidak punya pilihan lain. Mereka merasa perlu menyatakan kegundahan.
Negara ini kelihatan dikelola seperti milik pribadi. Bahkan, mengelola milik pribadi pun tidak bisa semena-mena. Tidak bisa main tembak dan kemudian keluarkan stetmen bahwa penembakan harus dilakukan karena mengancam keselamatan petugas.
Indonesia selalu dikatakan negara hukum. Semua harus taat hukum. Semua penguasa mengatakan itu. Nah, sekarang hukumlah yang harus menjadi acuan untuk memastikan apakah pembunuhan 6 laskar itu “lawful” (sesuai hukum) atau “unlawful” (melanggar hukum).
Siapakah yang berhak menentukan “lawful” atau “unlawful”? Jawabannya: hanya pengadilan. Dalam hal ini pengadilan HAM. Mengapa pengadilan HAM? Karena ada indikasi kuat tentang adanya pelanggaran HAM berat terhadap keenam laskar yang dibunuh itu. Hak hidup mereka telah dihilangkan dalam situasi yang penuh kejanggalan.
Itu pula sebabnya publik menuntut keras agar penyelidikan atas pembunuhan itu dilakukan oleh TPFI. Yang melibatkan banyak pihak dari berbagai latarbelakang. Hanya temuan dan kesimpulan TPFI-lah yang bisa dijadikan rujukan. Sebab, TPFI hampir mustahil akan membuat kesimpulan yang memihak ke siapa pun.
Jadi, sangat sederhana. Begitu pemerintah membentuk TPFI, publik pasti akan tenang. Tidak akan ada lagi yang curiga. Sangat baik bagi pemerintah, baik untuk Kepolisian dan sangat pas untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.[]
18 Desember 2020
(Penulis wartawan senior)
COMMENTS