legalisasi ganja
Oleh : Azrina Fauziah (Aktivis Dakwah dan Member Komunitas Pena Langit)
Pada Kamis, 3 Desember 2020 Komisi PBB untuk obat-obatan narkotika (CND) memutuskan mengeluarkan ganja dari Lampiran IV, Konvensi 1961 tentang Obat-obatan Narkotika. Keputusan ini diambil melalui voting negara anggota PBB, sebanyak 27 anggota setuju ganja dikeluarkan dari daftar tersebut, 25 menolak dan satu abstain (tempo.co). Hasil voting terbanyak tentulah menjadi hasil final dari kesepakatan bersama saat rapat antar negara anggota PBB. Keputusan akhir ini menjadikan CND membuka pintu legalitas ganja di beberapa negara dunia yang mengakui potensinya sebagai terapi dan medis.
Keputusan PBB dalam melegalkan ganja tentu akan memberikan efek kepada berbagai negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Meski sampai hari ini Indonesia belum memberikan komentar terkait kebijakan PBB namun bisa jadi kedepannya negara berkembang ini menjadikan legalitas ganja untuk kebutuhan medis. Padahal ganja selama 59 tahun masih digolongkan dalam jenis opioid (obat dengan efek serupa morfin) adiktif berbahaya.
Alasan terkuat CND memutuskan mengeluarkan ganja dari Lampiran IV Konvensi 1961 tentang obat-obatan narkotika ialah adanya potensi medis yang didapatkan darinya. Bahkan CND mendukung rekomendasi Badan Kesehatan Dunia, WHO yang mengklarifikasi cannabidiol (CBD) sebuah senyawa nonracun pada daun ganja, Cannabis sativa bukanlah subyek kontrol internasional. Sebaliknya, CBD justru telah berperan besar dalam terapi wellness dalam beberapa tahun terakhir dan menciptakan sebuah industri baru bernilai miliaran dollar (tempo.co).
Memang benar ganja memiliki beberapa manfaat di dunia medis yakni dapat mengurangi rasa sakit, kecemasan, depresi, meringankan gejala kanker, epilepsi dan bermanfaat bagi kesehatan jantung (cnnindonesia.com). Kendati demikian, ganja juga memiliki banyak resiko bagi penggunanya. Penggunaan ganja yang berlebihan akan mempengaruhi kesadaran, tak jarang pengguna akan berhalusinasi. Kadar bahan aditif dapat menyebabkan kecanduan yang berujung overdosis, pada tingkat yang parah dapat menjadikan pengguna mengalami gangguan jiwa. Belum lagi dari sisi lain, ganja menjadikan penggunannya bersikap kriminal demi memenuhi keinginanya untuk memiliki ganja.
Inilah bukti rusaknya sistem kapitalisme ala barat yang juga diadopsi negera-negera di dunia. Dalam negara kapitalisme, semua hal termasuk kesehatan merupakan komoditas dagang. Jika memberikan keuntungan maka akan dijual apalagi kalau permintaan pasar membeludak. Kebijkan yang dikeluarkan cenderung tak memperdulikan adanya bahaya bagi masyarakat.
Dilansir theconversation.com, Negara Bagian California, Amerika Serikat (AS) meraup US$345 juta (sekitar Rp 4,7 trilyun) dari pajak penjualan ganja pada tahun 2018. Keuntungan yang tinggi menjadikan para pemodal begitu nafsu sehingga melakukan berbagai cara untuk membuka bisnis haram dengan alasan medis. Begitu pula yang terjadi pada penguasa, mereka tidak akan melakukan riset untuk mencari obat-obatan terbaru lagi halal sebab negara membutuhkan biaya yang besar sedang kas mereka tak memenuhi.
Sistem kapitalisme yang berlandaskan sekuler meniscayakan aturan agama dalam kehidupan bernegara. Wajar saja ketika negara memutuskan kebijakan tidak akan memandang halal-haram dari sisi agama. Selain itu sistem demokrasi sebagai roda pemerintahan sistem kapitalisme meletakkan kedaulatan hukum ada di tangan manusia. Maka aturan-aturan bernegara bersumber dari akal pikiran manusia. Padahal akal manusia memiliki keterbatasan dan hawa nafsu kepentingan. Alhasil kebijakan penguasa hanya menguntungkan segelintir elit.
Jika legalitas ganja sebagai obat terjadi, kita akan dapat membayangkan betapa rusaknya masyarakat. Kondisi tersebut didukung pula dengan musim pandemi dimana masyarakat sedang mengalami kesulitan ekonomi dimana hal ini akan menjadi pembenaran mereka untuk mengkonsumsi.
Sangat berbeda dengan Islam, sistem yang berasal dari wahyu Allah Swt Rabb alam semesta. Islam menetapkan semua barang yang mengandung mudarat maka hukumnya haram. Ini berasal dari usul fiqih bahwa hukum asal benda yang berbahaya adalah haram. Para jumhur ulama telah mengharamkan berbagai jenis narkotika baik ganja hingga pil ekstasi.
Islam melarang produksi, penditribusian, penjualan barang haram ganja di tengah masyarakat. negara hanya memproduksi barang yang halal maka jelas mengambil untung dari bisnis haram tentu haram pula hukumnya.
Khalifah sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) akan mendorong riset-riset obat baru yang aman bagi masyarakat. Riset-riset ini bersifat gratis sebab didukung penuh oleh kas baitul mal milik negara. Maka dengan ini khalifah dapat menjamin kejernihan pikiran dan jiwa rakyatnya sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Al Bukhari).
Jika tindakan preventif telah diupayakan namun masih ada oknum melakukan penyimpangan dengan kekeh tetap menjual ganja, negara tidak akan tinggal diam dan langsung mengusut kasus ini ke meja hijau yakni dengan sanksi hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir diserahkan kepada ulil amri dalam menentukan hukuman. Kendati demikian hukuman akan diberikan sesuai kadar kejahatan ringan atau berat dengan hukum dera sampai hukuman mati. Inilah upaya serius Islam melindungi masyarakat dari manipulasi akal. Waallahu’alam
COMMENTS