korupsi di sistem demokrasi
Oleh: Anita Ummu Taqillah (Anggota Komunitas Setajam Pena)
Bak jamur di musim hujan, kasus korupsi masih saja bermunculan. Dari pejabat daerah hingga pusat pun tak luput terjerat masalah ini. Tergiur materi dan pundi-pundi rupiah, tanpa pikir panjang resiko dan akibat setelahnya.
Beberapa waktu lalu pejabat negeri tersandung korupsi. Seperti dikutip cnnindonesia (23/11/2020), Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi ekspor benih lobster.
KPK menduga bahwa Edhy menjadi salah satu pihak penyelenggara negara yang menerima uang terkait ekspor benih lobster tersebut. Atas dugaan itu, KPK juga menetapkan enam orang lain sebagai tersangka. Yang mana masing-masing sebagai penerima, EP, SAF, APM, SWD, AF, dan AM dan sebagai pemberi SJD.
Tak hanya itu, akhir-akhir ini bantuan sosial (bansos) pun dikorupsi. Seperti dilansir bbc.com (6/12/2020), Menteri Sosial, Juliari Batubara, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19. Penetapan tersangka Juliari merupakan perkembangan operasi tangkap tangan pada Sabtu (05/12) lalu terkait dugaan korupsi bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 di Kementerian Sosial.
Jelas, hal ini semakin menambah panjang daftar kasus korupsi pada tahun 2020. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan, terdapat 169 kasus korupsi selama periode semester satu tahun 2020. Dari 169 kasus tersebut, 139 adalah kasus korupsi baru (kompas.com, 29/09/2020).
Dalam demokrasi, korupsi bagaikan perangkap yang menggiurkan. Dimana dari awal proses pemilu, para kontestan politik membutuhkan biaya yang mahal untuk membiayai kampanye dan keperluannya. Tak ayal, ketika mereka berhasil menjabat sebagai penguasa, materilah yang diburu, untuk memulihkan pundi-pundi yang telah mereka keluarkan dulu. Tanpa peduli ancaman penjara mengintai di depan mata.
Belum lagi, sistem kapitalisme membentuk pribadi-pribadi hedonis. Menghamba pada gaya hidup barat yang identik dengan kewemahan. Hal itu menjadikan manusia-manusia rakus, serba kekurangan dengan rejeki yang sudah Allah tetapkan. Kebutuhan sekunder seakan kurang, sehingga harus memenuhi kebutuhan tersier atau lebih dengan standart tinggi.
Aturan dalam sistem inipun tak membuat jera, sehingga pelaku korupsi terus bermunculan. Bagaimana bisa jera, sedangkan penjara bagi para koruptor bak kamar pribadi, bahkan fasilitas seperti hotel berbintang. Hal ini wajar, karena sistem ini dibuat oleh manusia cenderung mengikuti hawa nafsunya, serta serba terbatas dan lemah.
Dalam pandangan Islam, korupsi tidak termasuk pencurian, tetapi perbuatan khianat. Sanksi baginya ditentukan oleh hakim. Bisa berupa hukuman ringan yaitu permintaan maaf, hingga dihukum mati, tergantung seberapa besar perbuatan khianatnya. Rasulullah bersabda,
"Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR. Abu Dawud)
Jika hukuman mati pun harus diterapkan dalam sistem Islam, maka sesungguhnya adalah untuk memberikan efek jera, juga peringatan bagi masyarakat agar tidak menirunya. Selain itu, hukuman dalam Islam juga bersifat sebagai penghapus dosa, sehingga ringanlah pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Begitulah aturan Islam yang besumber dari Sang Pencipta, Mahamengetahui segala yang terbaik untuk hambanya.
Wallahua'lam bishowab.
COMMENTS