Utang Indonesia
Oleh: Indah Ratna*
Kata hutang sudah tidak asing lagi bagi rakyat negeri ini. Dimana saat ini negeri kita tercinta Indonesia terus melakukan penambahan hutang yang berkelanjutan.
Jika bicara tentang utang, "Ratu utang" julukan Rizal Ramli pada Menkeu Sri Mulyani memang jagonya. Utang Pemerintah dalam setahun naik Rp. 347 triliun, nyaris Rp. 1 triliun perhari. Namun bangga dipuja-puja kreditor karena berikan bunga tertinggi di ASEAN. Lalu pantaskah jika ini disebut prestasi?
Bayangkan saja dalam dua minggu, pemerintah Indonesai menambah utang baru. Bahkan jumlahnya cukup besar. Hutang baru tersebut merupakan kategori pinjaman bilateral. Dan lagi-lagu berdalih demi menanggulangi Pandemi Covid-19, menjadi alasan terbaik Pemerintah untuk berutang kembali. Tentunya mereka akan mengatakan semua demi rakyat dan negara.
Benarkah rakyat menginginkan utang terus bertambah?
Akankah negara ini aman-aman saja dan tidak akan mendapat masalah apabila kembali berutang?
Sri Muyani mengatakan bahwa pinjaman utang tidak hanya membantu rakyat selama pandemi, tetapi juga membantu pelaku usaha, UMKM dan yang terpenting adalah menjaga keamanan. Apakah kemudian pernyataan tersebut perlu diapresiasi?
Lantas kemana kekayaan SDA yang melimpah? Memang layak jika kita menyatakan Pemerintah telah gagal mengelolanya. Bahkan sebagian besar dinikmati para kapitalis.
Perkara utang dianggap bukan masalah, justru menjadi solusi jitu bagi rezim. Malah bangga karena dianggap utang Indonesia relatif cukup baik dibanding dengan negara-negara di dunia. Meski tingkat hutang Indonesia naik di kisaran 36-37 persen dari sebelumnya hanya 30 persen.
Selanjutnya Bank dunia telah merilis daftar dengan utang terbesar. Sungguh mengejutkan indonesia masuk dalam jajaran 10 negara berpendapatan kecil dan menengah yang memiliki utang terbesar di dunia.
Padahal berutang justru membuat hidup terasa sempit, karena terus dihantui dengan pembayaran selangit, belum lagi disertai bunga riba. Menjadikan Rakyat sengsara negara bisa "ambyar". Bahkan yang mengerikan akan mengundang murka azab Sang Pemilik Jagat Raya. Lalu dimanakah letak amannya?
Dalam konsep kapitalisme, utang berperan dalam penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Padahal tanpa terasa di dalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha maupun di perusahaan bursa hingga pemerintah.
Sementara dalam Islam utang tidak menjadi pilihan untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi negara. Karena baiknya pengelolaan pemasukan negara yang berasal dari kepemilikan negara (milkiyah ad-daulah) seperti, usyur, fa'i, ghanimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya.
Selain itu juga diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya.
Dapat dipastikan ledakan utang takkan mungkin terjadi dalam kepemimpinan Islam. Karena negara bertanggungjawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan negara tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak).
Harta baitul maal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan demikian kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari.
Jika negeri ini merindukan hidup tenang, aman, dan penuh keberkahan, hendaknya segera mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Inshaa Allah, bebas dari segala jerat utang dan terbebas dari laknat Allah SWT. Wallahu'alam bi ash-shawab.
*Penulis: Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Sosial
COMMENTS