Pemerintah Incar Wakaf
Oleh: Rindyanti Septiana S.H.I (Kontributor Muslimah News&Komunitas Muslimah Kreatif, Pemerhati SosPol)Pemerintah lewat Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Ketua Hariannya Wakil Presiden Ma’ruf Amin sedang berupaya melakukan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif ekonomi dan terus melakukan ketahanan sosial dan ekonomi. Alasan lain dari pemerintah ialah untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai pusat pertumbuhan baru ekonomi nasional. Antara lain adanya kesamaan karakteristik antara prinsip ekonomi syariah dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat Indonesia. Terlebih, Indonesia merupakan negara penduduk Muslim terbesar di dunia. Sehingga ruang pasar dalam negeri untuk ekonomi syariah diyakini masih terbuka lebar. (liputan6.com, 24/10/2020)Namun alasan pemerintah menjadikan ekonomi syariah sebagai jalan keluar ekonomi, tidak bermakna persetujuan terhadap pemberlakuan syariah secara total. Pemerintah lewat pejabat negaranya hanya mengambil manfaat atas pengelolaan keuangan syariah demi kepentingan tertentu. Hal ini dapat dilihat dari keseriusan mereka memperkuat ekosistem dan sinergi pengembangan dana wakaf di Indonesia. Berbagai cara dilakukan, seperti mempersiapkan instrumen Cash WaqfLinked Sukuk (dana abadi wakaf tunai), hingga inisiasi Gerakan Nasional Wakaf Tunai (GNWT) yang dipelopori Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Tampaknya pemerintah sudah kehabisan cara untuk menambah sumber pendapatan negara selain pajak dan utang. Maka kini menyasar dana abadi umat dalam bentuk wakaf. Hal ini dibenarkan oleh Sekretaris Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Muhammad Fuad Nasar, bahwa pengelolaan ekosistem wakaf yang kini giat dicanangkan akan berimbas positif terhadap sistem keuangan nasional. Termasuk potensi adanya partisipasi investor asing di dalamnya. (liputan6.com,30/10/2020)Rezim Ambil Untung, Wajah Asli KapitalisMenteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membidik partisipasi pengumpulan dana wakaf yang lebih besar dari masyarakat kelas menengah Indonesia, khususnya generasi muda alias milenial. Ia menyebut kesadaran kalangan ini terhadap instrumen wakaf tengah meningkat sehingga bisa dijadikan sumber keuangan baru untuk memenuhi pembiayaan dari dalam negeri. (cnnindonesia.com, 25/10/2020)Berbeda sekali sikap Menteri dalam kepemimpinan Jokowi yang menilai positif kontribusi milenail terhadap negeri. Karena sebelumnya viral, mantan presiden RI perempuan berpidato lantang mempertanyakan sumbangsih milenial untuk bangsa dan negara.
Sri Mulyani telah menghitung-hitung keuntungan yang bisa didapatkan dari realisasi pengumpulan dana instrumen wakaf kalangan menengah Indonesia pada tahun ini. Yaitu senilai Rp 217 triliun atau setara 3,4 persen total Produk Domestik Bruto (PDB). Cukup fantastis bukan nominal yang didapatkan? Inilah watak rezim kapitalis, selagi bisa dapat untung maka akan terus dikejar dana umat yang menggiurkan jumlahnya. Dana Umat Diembat, Tuntutan Penerapan Syariat DihambatWakil Presiden Ma’ruf amin mengharapkan partisipasi masyarakat yang mewakafkan dana meningkat. Apalagi Indonesia memiliki potensi tersebut karena memiliki penduduk Muslim mencapai 87 persen dari total populasi 267 juta orang. “Wakaf ini potensi besar yang selama ini belum digali, padahal kita sudah mulai merintis sukuk wakaf, tapi jumlahnya masih kecil-kecil,” tutur Ma’ruf (cnnindonesia.com, 25/10/2020) Apa yang disampaikan oleh Wapres menjadi gambaran, bahwa rezim kapitalis hanya berkepentingan mengeksploitasi dana umat. Sedangkan aspirasi umat untuk pemberlakukan syariat justru dihambat bahkan dengan tegas mengatakan Khilafah sebagai institusi penerap syariat tertolak dari negeri ini. Begitu memahami potensi pengumpulan dana yang dimilik penduduk Muslim di negeri ini, namun anti dengan penerapan syariah secara total demi kesejahteraan penduduknya. Wapres pernah menyatakan bahwa sistem Khilafah tak bisa masuk ke Indonesia, bukan karena ditolak, namun tertolak sebab sudah ada kesepakatan NKRI. (cnnindonesia.com,13/12/2019) .Publik tak perlu bingung dengan sikap yang ditunjukan petinggi negeri atas umat Islam. Bagi rezim kapitalis menilai rakyat hanya sebatas untung dan rugi. Jika masih memberi keuntungan, umat akan diangkat, syariat dijadikan alat untuk memuluskan kepentingan mereka. Sementara jika umat menuntut syariat diterapkan secara total, ini akan menghambat kinerja sistem kapitalis.Sebenarnya rezim hari ini berdiri di sisi kepentingan kapitalisme, bukan pro pada rakyatnya. Sebab, roda ekonomi yang mereka jaga keberlangsungannya ialah roda ekonomi kapitalisme. Bukan untuk kebaikan ekonomi umat dengan label ekonomi syariah.
Karena selama ini berbagai kebijakan ekonomi pemerintah yang pro kapital. Mereka dengan setia menjalankan protokol ekonomi neoliberal. Melimpahnya SDA tak sedikitpun dapat menyejahterakan rakyat, justru dikuasai korporasi asing dan aseng. Jangan ditanya, bagaimana pengurusan hajat hidup orang banyak? jika bisa dibisniskan mengapa harus digratiskan? Itulah watak asli dari rezim kapitalis neoliberal. Publik tentu dapat menilai dengan benar. Masihkah kita berharap pada penguasa yang mementingkan keuntungan ekonomi? Tidak benar-benar ingin menjadikan syariah sebagai solusi atas negeri. Sumber Pembiayaan Khilafah Tidak Membawa Mudharat Bagi UmatKebijakan Khalifah ialah maslahat bagi rakyat, tanggung jawab sebagai Khalifah mengharuskan untuk langsung turun ke tengah masyarakat dengan diam-diam demi memastikan segala kebutuhan mereka terpenuhi. Hal itu dilakukannya untuk mengetahui kondisi rakyat sesungguhnya, dan menjadi bahan kebijakannya. Karena keadilan harus tegak demi kehidupan rakyat. Hal tersebut telah dicontohkan Khalifah Umar yang terus harap-harap cemas, ia khawatir rakyat tetap hidup susah dalam kepemimpinnannya. Ia pun bertanya pada pembantunya, “bagaimana kabar, umat?”
Pembantunya berkata, “makin hari makin baik, kecuali tiga pihak”. “Yaitu aku, kuda tuanku dan keluarga tuanku”. Mendengar hal itu, meledaklah tangis Khalifah Umar, sembari berkata “ampuni aku Ya Rabb. Ampuni aku”. Begitu besar rasa takutnya pada pengadilan Allah. Keluarga Khalifah hidup dengan sederhana. Karena ia berpandangan, pemimpin tak boleh membuat rakyat susah. Saat rakyat hidup miskin, pemimpin harus tampil menjadi pembela. Inilah yang terjadi jika rakyat hidup dalam pengurusan sistem Islam. Kehidupan yang adil dan sejahtera bukan menjadi barang mewah yang sulit didapatkan. Berbeda dengan sistem kapitalis, mendapatkan keduanya butuh derita dan airmata. Itu pun tak kunjung pula dapat diwujudkan. Ironis!Dalam Khilafah tidak boleh ada sumber pembiayaan negara yang justru membawa mudharat bagi umat. Abdul qadim zalum dalam bukunya, Al-amwal fi dawlah Al-Khilafah (sistem keuangan negara Khilafah) menjelaskan secara lengkap sumber pemasukan negara yang dikumpulkan oleh lembaga negara yaitu baitul mal. Secara garis besar ada tiga sumber pendapatan Negara Khilafah, pertama; dari pengelolaan negara atas kepemilikan umum. Dalam sistem ekonomi Islam SDA seperti kekayaan hutan, minyak, gas dan barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum sebagai sumber utama pendanaan negara. Pada kepemilikian umum negara hanya sebagai pengelola, dalam hal ini syariah Islam mengharamkan pemberian hak khusus kepada orang atau kelompok swasta apalagi swasta asing . Kedua; dari harta milik negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat. Ketiga; dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat. Dari sini, tampak jelas kebijakan Khilafah yang meriayah rakyatnya dengan sepenuh hati. Khalifah berupaya menyejahterakan rakyat bukan mencari-cari kesempatan untuk mengambil keuntungan dengan mengotak-otik uang rakyat.
Sri Mulyani telah menghitung-hitung keuntungan yang bisa didapatkan dari realisasi pengumpulan dana instrumen wakaf kalangan menengah Indonesia pada tahun ini. Yaitu senilai Rp 217 triliun atau setara 3,4 persen total Produk Domestik Bruto (PDB). Cukup fantastis bukan nominal yang didapatkan? Inilah watak rezim kapitalis, selagi bisa dapat untung maka akan terus dikejar dana umat yang menggiurkan jumlahnya. Dana Umat Diembat, Tuntutan Penerapan Syariat DihambatWakil Presiden Ma’ruf amin mengharapkan partisipasi masyarakat yang mewakafkan dana meningkat. Apalagi Indonesia memiliki potensi tersebut karena memiliki penduduk Muslim mencapai 87 persen dari total populasi 267 juta orang. “Wakaf ini potensi besar yang selama ini belum digali, padahal kita sudah mulai merintis sukuk wakaf, tapi jumlahnya masih kecil-kecil,” tutur Ma’ruf (cnnindonesia.com, 25/10/2020) Apa yang disampaikan oleh Wapres menjadi gambaran, bahwa rezim kapitalis hanya berkepentingan mengeksploitasi dana umat. Sedangkan aspirasi umat untuk pemberlakukan syariat justru dihambat bahkan dengan tegas mengatakan Khilafah sebagai institusi penerap syariat tertolak dari negeri ini. Begitu memahami potensi pengumpulan dana yang dimilik penduduk Muslim di negeri ini, namun anti dengan penerapan syariah secara total demi kesejahteraan penduduknya. Wapres pernah menyatakan bahwa sistem Khilafah tak bisa masuk ke Indonesia, bukan karena ditolak, namun tertolak sebab sudah ada kesepakatan NKRI. (cnnindonesia.com,13/12/2019) .Publik tak perlu bingung dengan sikap yang ditunjukan petinggi negeri atas umat Islam. Bagi rezim kapitalis menilai rakyat hanya sebatas untung dan rugi. Jika masih memberi keuntungan, umat akan diangkat, syariat dijadikan alat untuk memuluskan kepentingan mereka. Sementara jika umat menuntut syariat diterapkan secara total, ini akan menghambat kinerja sistem kapitalis.Sebenarnya rezim hari ini berdiri di sisi kepentingan kapitalisme, bukan pro pada rakyatnya. Sebab, roda ekonomi yang mereka jaga keberlangsungannya ialah roda ekonomi kapitalisme. Bukan untuk kebaikan ekonomi umat dengan label ekonomi syariah.
Karena selama ini berbagai kebijakan ekonomi pemerintah yang pro kapital. Mereka dengan setia menjalankan protokol ekonomi neoliberal. Melimpahnya SDA tak sedikitpun dapat menyejahterakan rakyat, justru dikuasai korporasi asing dan aseng. Jangan ditanya, bagaimana pengurusan hajat hidup orang banyak? jika bisa dibisniskan mengapa harus digratiskan? Itulah watak asli dari rezim kapitalis neoliberal. Publik tentu dapat menilai dengan benar. Masihkah kita berharap pada penguasa yang mementingkan keuntungan ekonomi? Tidak benar-benar ingin menjadikan syariah sebagai solusi atas negeri. Sumber Pembiayaan Khilafah Tidak Membawa Mudharat Bagi UmatKebijakan Khalifah ialah maslahat bagi rakyat, tanggung jawab sebagai Khalifah mengharuskan untuk langsung turun ke tengah masyarakat dengan diam-diam demi memastikan segala kebutuhan mereka terpenuhi. Hal itu dilakukannya untuk mengetahui kondisi rakyat sesungguhnya, dan menjadi bahan kebijakannya. Karena keadilan harus tegak demi kehidupan rakyat. Hal tersebut telah dicontohkan Khalifah Umar yang terus harap-harap cemas, ia khawatir rakyat tetap hidup susah dalam kepemimpinnannya. Ia pun bertanya pada pembantunya, “bagaimana kabar, umat?”
Pembantunya berkata, “makin hari makin baik, kecuali tiga pihak”. “Yaitu aku, kuda tuanku dan keluarga tuanku”. Mendengar hal itu, meledaklah tangis Khalifah Umar, sembari berkata “ampuni aku Ya Rabb. Ampuni aku”. Begitu besar rasa takutnya pada pengadilan Allah. Keluarga Khalifah hidup dengan sederhana. Karena ia berpandangan, pemimpin tak boleh membuat rakyat susah. Saat rakyat hidup miskin, pemimpin harus tampil menjadi pembela. Inilah yang terjadi jika rakyat hidup dalam pengurusan sistem Islam. Kehidupan yang adil dan sejahtera bukan menjadi barang mewah yang sulit didapatkan. Berbeda dengan sistem kapitalis, mendapatkan keduanya butuh derita dan airmata. Itu pun tak kunjung pula dapat diwujudkan. Ironis!Dalam Khilafah tidak boleh ada sumber pembiayaan negara yang justru membawa mudharat bagi umat. Abdul qadim zalum dalam bukunya, Al-amwal fi dawlah Al-Khilafah (sistem keuangan negara Khilafah) menjelaskan secara lengkap sumber pemasukan negara yang dikumpulkan oleh lembaga negara yaitu baitul mal. Secara garis besar ada tiga sumber pendapatan Negara Khilafah, pertama; dari pengelolaan negara atas kepemilikan umum. Dalam sistem ekonomi Islam SDA seperti kekayaan hutan, minyak, gas dan barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum sebagai sumber utama pendanaan negara. Pada kepemilikian umum negara hanya sebagai pengelola, dalam hal ini syariah Islam mengharamkan pemberian hak khusus kepada orang atau kelompok swasta apalagi swasta asing . Kedua; dari harta milik negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat. Ketiga; dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat. Dari sini, tampak jelas kebijakan Khilafah yang meriayah rakyatnya dengan sepenuh hati. Khalifah berupaya menyejahterakan rakyat bukan mencari-cari kesempatan untuk mengambil keuntungan dengan mengotak-otik uang rakyat.
COMMENTS