masyumi reborn
Oleh: Misdalifah Suli (Anggota Tim Pena Ideologis Maros)
Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Partai Islam Ideologis (BPU-PPII), A Cholil Ridwan baru-baru ini mendeklarasikan berdirinya kembali Partai Masyumi. Partai Masyumi telah mendeklarasikan diri eksis lagi, yang diumumkan Sabtu 7 November 2020. Sebagaimana diketahui partai ini telah dibubarkan di era Soekarno pada 75 tahun silam. Alasan menghidupkan kembali partai ini didasarkan pada kerinduan akan sepak terjang Masyumi di masa lampau. Menurut penggerak Masyumi saat ini, sedikit politisi partai politik yang memiliki ideologis dan kebijakan yang berintegritas. (liputan6.com, 08/11/20)
Setelah mendeklarasikan diri, Partai Masyumi mengajak Partai Ummat bentukan Amien Rais untuk bergabung, namun Amien Rais masih mempertimbangkan ajakan Partai tersebut dari sisi kuantitas jika Partai Masyumi lebih besar maka Partai Ummat akan menggabungkan diri namun jika lebih sedikit maka Partai Masyumi diajak untuk bergabung ke Partai Ummat. Mengapa mempertimbangkan sisi kuantitas jika memang kedua partai tersebut memiliki visi yang sama yaitu melawan kedzaliman dan menjadikan islam rahmatan lil ‘alamin sebagai asas partai?
Sepintas, kedua partai ini memberi harapan baru kepada umat islam akan cita-cita perjuangan, yaitu menegakkan syariat islam di bumi Nusantara. Namun, jika ditelusuri kedua partai ini sama saja dengan partai-partai yang ada. Kedua partai ini tetap berburu kursi demi kekuasaan agar mampu mengubah tatanan yang ada. Tapi, apakah ini efektif dilakukan? Jawabannya tentu tidak bisa dan telah dibuktikan oleh partai-partai sebelumnya.
Salah satunya, usaha yang telah dilakukan oleh bung Hatta yang mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) yang tujuannya melanjutkan obsesi politik umat Islam akibat Masyumi dibubarkan. Hatta saat itu berkata, "Masyumi memang tidak selayaknya kalah. Ada apa dengan umat Islam?”. Namun, sayang, Partai PDII yang digagas Hatta tak mendapat izin oleh rezim Orde Baru. Kala itu sang penguasa terkena Islamofobia sehingga takut adanya partai Islam tersebut. Apalagi, sosok pendirinya tidaklah main-main, Bung Hatta. Rezim saat itu terkena sindrom curiga bahwa masih ada gerilya politik untuk kembali ke Piagam Jakarta. (Republika.co.id, 06/03/20)
Partai PPP dan PBB juga sudah menempuh jalan yang sama namun semuanya nihil. Partai-partai itu tidak bertahan lama dan terlempar jauh dari parlemen meskipun masih ada kader-kader yang tersisa sebab kader tersebut berpindah haluan. Sistem demokrasi yang syarat akan kepentingan dengan mahar politik yang sangat tinggi akan membuat usaha sia-sia jika ikut terlibat didalamnya bahkan mampu mengubah watak seseorang sebagaimana perkataan Mahfud MD di tahun 2013 "Saat biaya politik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga” (Republika.co.id, 07/10/13).
Inilah jebakan demokrasi yang menghalangi umat memfokuskan pada pembangunan kesadaran politik islam. Penerapan syariat islam melalui jalan demokrasi yang penuh dengan tipu daya
ibarat memaksakan ikan hidup di darat ujung-ujungnya akan mati sebab habitat aslinya di air, sama halnya penerapan syariat islam hanya bisa hidup atau terealisasi secara sempurna jika berada di habitat asli yaitu system islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah dibawah satu kepemimpinan yaitu khilafah.
Aktivitas Parpol Menurut Islam
Tujuan pembentukan parpol di system demokrasi berbeda jauh dengan system islam. Pada system demokrasi, tujuan pembentukan partai politik ialah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik –(biasanya) ditempuh dengan cara konstitusional- untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Kompasiana.com, 09/09/2016). Sedangkan dalam system islam, secara umum tujuan pembentukan partai politik adalah dakwah, amar mak’ruf nahi mungkar. Sedangkan dalam konteks sistem pemerintahan, fungsi dan peranan partai politik ini adalah untuk melakukan check and balance. Bisa juga disebut fungsi dan peran muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa). Inilah fungsi dan peranan yang dimainkan oleh partai politik Islam ini dalam negara khilafah.
Bahkan, bisa dikatakan, fungsi dan peranan ini sangat menentukan keberlangsungan penerapan Islam yang diterapkan oleh khilafah. Karena, para penguasa dalam negara khilafah adalah manusia, bukan malaikat. Mereka tidak maksum, sebagaimana Nabi SAW. Karena itu, mereka berpotensi melakukan kesalahan, terlebih dengan kekuasaan yang memusat di tangannya. Ketika ketakwaan yang menjadi benteng mereka melemah, maka kontrol dari rakyat, termasuk partai politik ini sangat dibutuhkan untuk meluruskan kebengkokan mereka.
Inilah partai politik ideologis yang ada di tengah-tengah umat. Berdiri kokoh di atas pondasi Islam, sebagai kepemimpinan berpikirnya. Kepemimpinan berpikir ini diemban partai di tengah-tengah umat untuk memberikan kesadaran kepada mereka tentang Islam yang sebenarnya. Maka, partai politik ini adalah partai dakwah, yang tidak melakukan aktivitas lain, selain dakwah. Karena aktivitas lain adalah aktivitas yang menjadi kewajiban negara, bukan kewajiban partai politik.
Partai ini akan memimpin umat, dan menjadi pengawas negara, karena partai ini juga bagian dari umat, atau representasi dari umat itu sendiri. Partai ini memimpin umat untuk menjalankan tugasnya, memprotes kebijakan negara, mengoreksi dan mengubahnya dengan lisan dan tindakan. Bahkan jika terjadi kekufuran yang nyata, bisa mengangkat senjata, atau melakukan people power. Inilah entitas yang hidup di tengah-tengah umat, di dalam negara khilafah, yang dijadikan oleh Islam sebagai jaminan pelaksanaan sistem Islam secara sempurna. Wallahu A’lam Bishshowab
COMMENTS