watak demokrasi
Penulis : Dian fitriani (penggiat opini media literasi)
Prioritas akan menentukan efisiensi dan efektivitas sebuah tindakan, maka perkara prioritas tentu patut dan harus menjadi dasar dalam pemerintahan untuk mengambil langkah juga memutuskan kebijakan, terlebih kebijakan pemerintah adalah faktor utama yang bergantung padanya nasib rakyat, menentukan sejahtera tidaknya masyarakat.
Namun lain cerita dengan pemerintahan Indonesia, bukan hanya tidak mengerti perkara prioritas, bahkan definisi rakyat kini hanya dijadikan bahan bisnis, menjadikan lembaga pemerintahan hanya sebatas regulator, bahkan pedagang investasi yang menjualbelikan nasib manusia. Maka tak heran bukanlah nyawa rakyatnya yang dijadikan perhatian utama dimasa pandemi ini melainkan citra yang tak lain dapat menaikkan daya pikat Indonesia dalam era globalisasi.
Terlihat jelas dimasa pandemi, pemerintah tampak hilang arah dalam mengambil langkah, dari dilema ekonomi yang kini masuk era resesi, sementara krisis kesehatan belum juga teratasi, ditambah tugas wajib pemerintah saat ini yakni mengejar eksistensi belaka, sehingga tak heran lagi, melihat tingkah menteri hingga pak presiden sibuk mengganti padanan kata, data, hingga informasi demi menutupi kegagalan pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah yang melanda.
Sayangnya, sudahlah ekonomi tak membaik, korban covid tak kunjung menurun, ditambah, upaya manipulasi citra bak ilusi. Masyarakat hanya disuapi opini yang bukan hanya membohongi bahkan mengkhianati fakta.
Dalam pidato presiden Joko widodo yang diunggah oleh akun Youtube sekretariat presiden pada 3 oktober 2020 silam dalam sebuah video berlatar hitam. video berdurasi 7 menit 55 detik tersebut membahas mulai dari soal ekonomi hingga angka kesembuhan Covid-19 dan peringkat Indonesia di dunia dalam hal total kasus per 2 Oktober 2020. Dikutip dari bisnis.com “Dalam jumlah kasus dan kematian, Indonesia jauh lebih baik dibandingkan negara lain dengan jumlah penduduk yang besar. Sebaiknya kalau membandingkan ya seperti itu,” kata Presiden.
Terlihat jelas dalam pidato tersebut masyarakat hendak digiring persepsi, penilaian yang datang dari satu pihak tentu mengundang kecurigaan publik terkait fakta, kalimat presiden yang seolah menggambarkan penanganan pandemi di Indonesia cukup baik dibandingkan dengan negara lain, alih-alih ingin menaikkan citra namun upaya tersebut justru semakin meyakinkan publik akan ketidakseriusan pemerintah dalam menghadapi pandemi, jika memang pemerintah serius dalam mengatasi masalah ini seharusnya tak perlu ada pernyataan yang keluar dari pemerintah, seolah haus pujian, biarlah saja publik menilai, yang lucunya penilaian ini datang dari pemerintah yang berkesan memberikan legitimasi secara subjektif terkait berhasil tidaknya upaya penanganan pandemi selama ini.
Selain pernyataan jokowi, lagi-lagi publik di kagetkan dengan undangan Badan Kesehatan Dunia (WHO) kepada Menkes Terawan Agus Putranto yang dikabarkan karena keberhasilan penanganan Covid-19 di Indonesia.
Epidemiolog dari Griffith University di Australia Dicky Budiman tak yakin akan kebenaran faktor undangan tersebut adalah keberhasilan terawan dalam mengatasi covid 19 di Indonesia. Menurutnya dari isi surat undangan yang didapatnya, tidak ada pernyataan keberhasilan Indonesia dalam pengendalian pandemi. Undangan tersebut hanya mengakui keberhasilan indonesia dalam menerapkan kegiatan intra-aksi (intra action review/IAR) Covid-19. IAR merupakan kegiatan perencanaan Indonesia dalam menganggulangi Pandemi Covid-19. Tujuannya agar setiap negara bisa mawas diri terhadap capaian dan kekurangan dalam pengendalian pandeminya.
"Jadi undangan konferensi pers itu bukan dalam arti mengakui keberhasilan Indonesia dalam pengendalian pandeminya, tapi apresiasi karena telah melaksanakan kegiatan review IAR yang dianggap 'sukses'," ujar Dicky, Jumat (6/11/2020). Dikutip dari Kompas.com.
Seolah belum cukup membuat masyarakat ragu dan curiga, berita datang dari KawalCovid19 yang menemukan selisih angka data pelaporan kasus virus corona dari pemerintah daerah dan Kementerian Kesehatan yang cukup signifikan pada Senin (12/10/2020) silam. Selisih yang ditemukan tim KawalCovid19 adalah 2.184 untuk kasus positif, 5.384 untuk pasien sembuh, dan 1.153 untuk pasien meninggal. Apabila dihitung dengan selisih itu, maka kasus infeksi di Indonesia versi KawalCovid19 adalah 338.900 kasus dengan 13.088 kematian dan 263.903 pasien dinyatakan sembuh. Sementara laporan kasus Covid-19 di Indonesia berdasarkan data Kemenkes adalah 336.716 kasus dengan 11.935 kematian dan 258.519 pasien telah sembuh. Koordinator Relawan KawalCovid19 Elina Ciptadi mengatakan, pihaknya menghitung kasus virus corona itu berdasarkan data harian dari data pusat dan laman di level daerah. "Tiap hari kami mencatat data harian dari covid19.go.id, ini yang kami namai "data pusat", lalu membandingkannya dengan web corona yang ada di level propinsi, kabupaten dan kota yang kami catat secara manual," kata Elina kepada Kompas.com, pada Senin (12/10/2020) silam.
Maka cepat atau lambat pemerintah itu sendiri yang membuat kepercayaan publik sedikit demi sedikit menguap, pernyataan terkait ini datang dari epidemiolog Universitas Gadjah Mada Bayu Satria Wiratama. Dilansir dari kompas.com "Seharusnya ini segera diatasi dengan cara dicari masalahnya dimana, agar tidak terjadi lagi selisih yang semakin membesar," kata Bayu. "Masih positive thinking bahwa ada miss yang tidak disengaja karena memang berhubungan dengan data besar itu susah-susah gampang," tambahnya.
Pemerintah haruslah sadar bahwa masyarakat tidaklah bodoh, dewasa ini masyarakat semakin menyadari bahwa produsen terbesar hoax adalah pemerintah itu sendiri, data yang dikemas sedemikian rupa bukan justru menaikkan kepercayaan rakyat, malah hanya menjadikan bumerang terkait relevansi antara data dan fakta, rakyat akan semakin tanggap dalam membandingkan kedua aspek tersebut, maka seharusnya pemerintah sadar mulai sekarang mau dibawa ke mana arah langkah selanjutnya? apa yang sebenarnya selama ini menjadi prioritas pemerintah?
Maka terkait ketidakseriusan pemerintah, masyarakat pun harus mulai membuka mata, haruslah mulai mempertanyakan apakah faktor utama yang menyebabkan pergeseran nilai ini terus berlangsung? Apakah oknum dari penyelenggara negara yang memang tidak becus dalam menjalankan tugas dan amanat, ataukah memang sistem pemerintahannyalah yang menjadi cerminan dari perawakan para wakil rakyat, jika memang oknum yang menjadikan kemunduran dan ketidakseriusan pemerintah ini terus berlangsung, lantas mengapa? siklus ini terus saja berulang ulang terjadi layaknya rantai setan yang melingkari leher rakyat. Seolah dunia kehabisan orang jujur dan adil untuk dijadikan pemimpin, bahkan setelah pemilu, pilkada, serta ajang pemilihan demokrasi lainnya tidak kunjung menjadi solusi, seiring bergantinya pemimpin negara, wakil rakyat, serta staf-staf lainnya selama 75 tahun berlangsungnya kemerdekaan toh tidak kunjung membawa perubahan.
Maka apakah kesimpulan saya salah bahwa sistem demokrasilah yang mengizinkan kecurangan berpolitik dan kezaliman terhadap rakyat.
Jika tidak maka inilah perawakan sistem demokrasi, yang hanya sebatas manipulasi citra guna membangun ilusi dan fatamorgana semata.
COMMENTS