UMR 2021
Oleh: Wahyudi al Maroky (Dir. PAMONG Institute)
Pemerintahan Jokowi menetapkan tidak menaikan Upah Minimum tahun 2021. Keputusan itu tertuang dalam surat edaran Menteri Ketenagakerjaan RI No M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Alasan pemerintah tidak menaikan Upah Minimum adalah mempertimbangkan kondisi perekonomian pada masa pandemi Covid-19. Selain itu, masih perlu pemulihan ekonomi nasional.
Namun kebijakan pemerintahan Jokowi nampaknya tak disambut gembira oleh daerah. Apalagi rakyat tengah menuntut dibatalkannya UU Omnibuslaw yang merugikan hak pekerja dan rakyat umumnya. Keinginan rakyat itu nampaknya tak lagi didengar oleh rezim Jokowi sehingga UU Cipta Kerja ditandatangani dan tetap diundangkan awal November ini.
Kebijakan untuk tidak menaikkan Upah Minimum 2021 itu jelas dianggap tak berpihak pada rakyat. Beberapa Pemerintah Daerah justru mengambil kebijakan berbeda dengan pusat, yakni menaikan Upah Minimum 2021. Setidaknya ada sejumlah daerah yang memutuskan untuk menaikkan UMP 2021 antara lain Provinsi; Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Jatim dan DKI Jakarta.
Khusus DKI jakarta, Meski menaikkan UMP 2021 menjadi Rp4.416.186,5 dari Rp 4.267.349, Namun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan kebijakan asimetris untuk UMP 2021.
“Bagi kegiatan usaha yang terdampak Covid-19, maka kami menetapkan UMP 2021 tidak mengalami kenaikan atau sama dengan UMP 2020. Sedangkan, kegiatan yang tidak terdampak Covid-19 dapat mengalami kenaikan UMP 2021 yang besarannya mengikuti rumus pada PP No. 78 Tahun 2015," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam keterangan resmi yang dikutip Minggu (1/11/2020).
Sedangkan untuk daerah lainnya juga menaikkan Upah minimum 2021. Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan UMP DIY pada 2021 naik sebesar 3,54 persen sehingga menjadi sekitar Rp1.765.000 atau naik sekitar Rp60.392. Sebagaimana Surat Keputusan Nomor 319/KEP/2020 tentang Penetapan UMP 2021.
Provinsi Jawa Tengah pun menaikkan UMP 2021 sebesar 3,27 persen menjadi Rp1.798.979,12 dari Rp1.742.015.
Provinsi Sulawesi Selatan menaikkan UMP sebesar 2 persen, naik menjadi Rp3.165.876 dari Rp3.103.800.
Sebagaimana Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 14.15/X tanggal 27 Oktober 2020.
Demikian pula Provinsi Jawa Timur menaikkan UMP sebesar Rp 100.000, atau setara dengan 5,65 persen dari sebelumnya. Sebagaimana Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/498//KPTS/013/2020 Tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Timur Tahun 2021. (republika.co.id 01/11/2020)
Fenomena daerah yang tak sejalan dengan kebijakan pusat itu sangat aneh. Apakah ini indikasi adanya pembangkangan terhadap pusat? Apakah ada kaitan dengan pilkada langsung dan komunikasi politik yang tersumbat antara daerah dan Pusat?
Terkait hal itu, dapat kita temukan tiga gejala pemerintahan yang sangat penting.
PERTAMA, Gejala rapuhnya Wibawa Kepemimpinan Pemerintah Pusat. Andai pemerintahan Jokowi tidak mengeluarkan kebijakan agar UMP 2021 tidak naik, lalu daerah menaikkan tentu itu tidak menjadi masalah. Persoalan muncul ketika ada kebijakan pusat untuk tidak menaikan UMP 2021 namun beberapa daerah justru menyelisihinya dengan menaikan UMP 2021. Tentu aneh, meski mereka punya argumentasi sendiri.
Jika saja kewibawaan pemerintah pusat begitu besar, maka sangat kecil kemungkinan ada daerah yang berani berbeda dengan kebijakan pusat. Adanya perbedaan kebijakan daerah dengan Pusatnya bisa menjadi salah satu indiskasi melemahnya wibawa pemerintah pusat. Hal ini jika diteruskan bisa saja semakin banyak kebijakan yang berbeda dengan pusat dan ini menjadi tradisi buruk praktek pemerintahan.
KEDUA, Minimnya etika Pemerintahan. Dari sudut pandang etika, jelas tidak sopan (etis) jika daerah tidak ikut kebijakan pusat. Ini bisa menjadi budaya buruk pemerintahan. Meski kita mengenal otonomi asimetris, namun dalam hal ini harus bisa dijelaskan kepada publik secara lebih transparan dan logis.
Publik perlu penjelasan logis, dimana letak otonomi yang dikhususkan maupun yang diistimewakan. Memang di negeri ini ada daerah yang di khususkan seperti DKI dan Papua serta ada daerah yang diistimewakan seperti DIY dan NAD. Hal itu telah diatur dengan UU kekhususan maupun keistimewaan daerah tersebut.
Jika kita tak mampu menjelaskan dengan baik kepada publik maka resikonya sulit diterima oleh logika publik. Tentu mereka akan terus mempertanyakan kenapa bisa terjadi kebijakan daerah berbeda dengan kebijakan pusat?
KETIGA, Pemimpin Daerah lebih ingin mendekati rakyatnya. Keberanian pemimpin daerah untuk lebih memihak kepada rakyatnya bisa jadi karena tiga hal. 1) Ingin mendapat benefit politik dari rakyatnya karena ada momen pilkada. 2) Adanya dukungan atau tekanan dari oligarki daerah untuk mengamankan agenda politiknya dan agenda bisnisnya di daerah. 3) Merasa lebih nyaman dekat dengan rakyat dan oligarki daerah ketimbang bergantung pada kebijakan pusat yang tidak populis dan kewibawaannya dirasa mulai memudar.
Gejala pemimpin yang ingin lebih dekat dengan rakyatnya saat menjelang pesta demokrasi bukanlah hal baru. Wajar saja para pemimpin daerah ingin meraih benefit politik dari rakyatnya. Apalagi menjelang pesta demokrasi pilkada langsung saat ini.
Pilkada langsung tentu mebuat hubungan kepala daerah dengan rakyatnya semakin kuat dan sebalik dengan pusat menjadi lebih lemah. Ini disebabkan terpilihnya kepala daerah sangat tergantung dari pilihan rakyat bukan ditentukan pusat.
Semestinya Pemerintahan yang baik itu mengurus rakyatnya dengan baik. Juga mau mendengarkan keinginan dan harapan rakyatnya. Bukan malah mengabaikan suara rakyatnya, bahkan membungkam suara rakyatnya.
Pemerintah daerah yang baik mestinya mendengar suara rakyatnya lalu berkomunikasi dengan pemerintah pusat atas keinginan rakyatnya itu. Tentu pemerintah pusat yang baik harus membangun komunikasi yang elegan dan penuh wibawa dengan pemerintah daerah. Sehingga tidak terjadi perbedaan kebijakan pusat dan daerah.
Jika terjadi perbedaan kebijakan pusat dan daerah maka segera dikomunikasikan dengan baik. Tidak langsung menuding daerah itu membangkang apalagi menuding sebagai radikal atau tudingan lainnya. Semua diselesaikan dengan baik sebagai sesama anak negeri ini.
Semoga Allah jaga negeri ini dari tangan-tangan jahat yang akan merusak negeri ini…
NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.
COMMENTS