Seperti yang dialami Syahganda Nainggolan dan Anton Permana, Penulis dijemput paksa dini hari. Dengan cara, yang tak beretika
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H. | Advokat, Sastrawan PolitikPada Rabu (14/10) Penulis berkesempatan memenuhi undangan Gus Nur berdiskusi dalam acara Podcast yang dikelola Munjiyat Channel. Dalam acara tersebut, Gus Nur mempertanyakan arah kebijakan hukum di negeri ini. Sebagai bahan acuan, yang teranyar adalah adanya kasus penangkapan aktivis KAMI berdalih menyebar hoaks, dijadikan bahan refleksi.Gus Nur adalah klien Penulis, saat berhadapan dengan hukum di PN Surabaya. Sementara, Penulis sendiri pernah dipersoalkan oleh Mabes Polri juga dengan dalih menyebar hoaks.Seperti yang dialami Syahganda Nainggolan dan Anton Permana, Penulis dijemput paksa dini hari. Dengan cara, yang tak beretika. Sampai ada salah satu penyidik meneriaki penulis dengan sebutan 'Bajingan'. Padahal, penulis juga berkedudukan sebagai penegak hukum. Advokat, adalah penegak hukum sebagaimana polisi, jaksa dan hakim.Penulis sampaikan pada Gus Nur bahwa proses penegakan hukum yang dipertontonkan saat ini tidak menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), dan tidak mengikuti mekanisme due proces of law. Dalam kasus yang penulis hadapi, penulis dituding menyebar hoaks tapi konten pembanding dan sumber berita tidak diperiksa terlebih dahulu.Penulis dianggap menyebar hoaks karena mengedarkan artikel yang membahas tentang bantuan kepada NU sebesar Rp 1,5 Triliun yang belum cair, sebagaimana dikeluhkan KH Said Aqil Siradj ketika itu. Juga soal Klarifikasi Sri Mulyani yang menyebut sudah menyalurkan 211 miliar via koperasi yang terafiliasi NU.Kemudian, tentang analisa SBY melakukan perlawanan akibat audit kasus kerugian Jiwasraya yang ditarik hingga tahun 2009, saat periode SBY menjabat Presiden. Hal mana, diungkap oleh Juru Bicara SBY, ossy Dermawan.Lalu soal khilafah ala TV One, yang mengunggah artikel seputar Khilafah yang bersumber dari laporan TV One. Dalam laporan, TV one membuat info grafis yang menjelaskan tentang definisi Khilafah. Juga artikel, soal Pancasila tidak Islami, dan kritik terhadap Presiden Jokowi.Saat itu, penulis komplain kepada penyidik. Jika penulis dianggap menyebar hoaks, sudahkah penyidik memeriksa dan melakukan BAP terhadap Said Aqil Siradj ? Sri Mulyani ? Ossy Dermawan atau SBY ? Redaktur TV One ? Atau Presiden Jokowi ?Sebab, jika mereka belum diperiksa, apa dasarnya penulis ditetapkan tersangka dan ditangkap ? Kalau dalam BAP KH Said Aqil mengakui pernah bicara bantuan untuk NU Rp 1,5 triliun, Sri Mulyani menjelaskan ihwal dana 211 miliar, Ossy dermawan mengakui SBY tak nyaman dengan audit Jiwasraya yang ditarik ke periode 2009, Redaktur TV one mengaku pernah mengunggah laporan tentang wacana penghapusan materi khilafah di Kemenag, termasuk Ihwal kritik ke Presiden Jokowi, lalu dimana letak berita bohongnya ?Kalau ada analisis dan simpulan terhadap berita, itu opini atau pendapat yang ditarik dari serangkaian penalaran bersumber fakta berita. Tulisan yang penulis edarkan adalah artikel, bukan konten hoaks. Dalam perspektif apapun, terlepas isinya benar atau salah, artikel itu masuk kategori pendapat. Lantas, apakah orang berpendapat dilarang di republik ini ?Yang jelas, penulis merasa aneh atas tindakan penyidik mabes Polri yang telah melakukan penangkapan atas dasar menyebar hoaks, tapi tidak atau belum memeriksa sumber berita. Hal itu pula, yang penulis curigai diterapkan penyidik Ditsiber Polri terhadap kasus Syahganda Nainggolan, Anton Permana, dkk. Ini yang penulis jelaskan dalam acara podcast Gus Nur sebagai tidak menjunjung asas praduga tak bersalah dan abai terhadap kaidah due proces of law.Sama seperti penangkapan pemilik akun sosmed dengan dalih menyebar hoaks UU Cipta Kerja. Rujukannya apa ? Lha wong draft final nya masih berubah-ubah. Darimana penyidik menyimpulkan seseorang menyebar hoaks UU Cipta Kerja, jika belum ada rujukan data Sahih ?Penulis menduga, narasi hoaks, menyebar kebencian dan SARA, adalah sarana untuk mengkriminalisasi aktivis kontra rezim. Selama ini, pasal ini hanya diberlakukan kepada pengritik rezim Jokowi. Sementara, sederet janji Jokowi yang terkategori hoaks, hingga hari ini tak pernah disidik sebagai perkara pidana.Republik ini milik bersama, janganlah menganggap negara ini milik sendiri sehingga dapat berlaku suka-suka. Kepolisian, semestinya tetap bertindak sebagai alat negara yang menegakkan hukum bukan bermigrasi menjadi alat kekuasaan untuk merealisir tujuan politik kelompok tertentu. Penulis sangat prihatin dengan kondisi Polri saat ini. Padahal, saat Pak Idham Azis baru awal dilantik menjadi Kapolri, penulis berharap ada penyegaran dan perubahan kebijakan ketimbang era kepemimpinan Pak Tito Karnavian. Ini menjadi PR besar bagi segenap bangsa Indonesia, untuk menjadikan Polri benar-benar Promoter : Profesional, Modern dan Terpercaya. [].
COMMENTS