Biaya pilkada fantastis, dan seringnya tidak realistis, masihkah tak jadi pelajaran?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih | Institut Literasi dan PeradabanAlangkah menyedihkan nasib mantan calon bupati Madiun 2013, SMRD (63). Kepolisian Resor Ngawi berhasil menggulung komplotan pengedar uang palsu. Dari ketiga pelaku itu salah satunya adalah dirinya, Polisi berhasil mengamankan lebih dari 546 juta rupiah uang palsu.Dalam pengakuannya, SMRD mengaku kepepet, harus melunasi utang Pilkada sebesar Rp 1 M. “Kepepet untuk nyaur utang Rp 1 miliar karena kalah pilkada nyalon bupati tahun 2013,” ujar Kasatreskrim Polres Ngawi AKP I Gusti Agung Ananta Pratama saat melakukan rilis pers di Mapolres Ngawi, Senin (28/9/2020).SMRD ditangkap bersama dua rekannya berinisial SMRJ (55) dan SRKM (61). Ketiga pelaku menerima uang palsu senilai Rp 1 miliar dari ANT yang diduga merupakan anggota jaringan pengedar uang palsu yang berasal dari Surabaya. Ketiganya dijanjikan keuntungan 30 persen dari uang palsu yang berhasil mereka edarkan ( kompas.com, 29/09/2020).Biaya pilkada fantastis, dan seringnya tidak realistis, masihkah tak jadi pelajaran? Ternyata dari tahun ke tahun, even pemilihan pemimpin baik dari tingkat desa hingga nasional masih menjadi profesi pilihan. Demokrasi boleh dibilang sukses membius seluruh manusia untuk punya " daya saing".Padahal ada yang lebih nyata dari sekedar urusan berganti pemimpin, yaitu bahwa pemimpin yang terpilih oleh rakyat tak juga mampu meredakan korupsi dan politik lobi-lobi. Disaat rakyat berharap penuh setiap kali diadakan pemilihan, setiap kali itu pula rakyat harus menelan rasa pahit pupusnya harapan.Dalam Islam, Syarat menjadi seorang pemimpin simple. Tak perlu biaya banyak dan prosedur yang berbelit , yang penting bisa segera memimpin umat untuk menerapkan syariat sebab hal itu yang lebih penting. Keadaannya sangat berbeda dengan Demokrasi, bayangkan, SMRD mencalonkan diri di tahun 2013 hingga kini belum juga mampu melunasi biaya pemilihannya. Kemana partai dan tim suksesnya dulu?.Dalam politik Demokrasi tak ada kawan atau lawan abadi, kecuali kepentingan. Maka saking buntutnya persoalan tak jua menemukan solusi, jalan pintas lah yang terbersit. Di sisi lain ada pihak yang ingin memanfaatkan tenaganya, meski haram tapi tetaplah menjadi solusi. Kejamnya hidup. Ironi!Dalam Islam hanya ada 7 syarat in'iqod ( syarat legalnya ia menjadi pemimpin) diantaranya: Muslim, Pria, Merdeka, Balik, mampu mengemban amanah, adil dan merdeka. Berkurang satu saja dari yang disyaratkan maka seseorang tak layak menjadi pemimpin.Sedangkan dari sisi waktu, kekosongan kepemimpinan tak boleh kosong lebih dari tiga hari, jelas ini akan memangkas biaya yang sangat besar, sebagaimana dijelaskan alam kitab Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 32, yang berbunyi: Apabila jabatan Khilafah kosong karena khalifahnya meninggal atau mengundurkan diri atau diberhentikan, maka wajib hukumnya mengangkat seorang pengganti sebagai khalifah, dalam waktu tiga hari sejak saat kosongnya jabatan Khilafah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 132).Untuk jabatan di bawah Khalifah maka itu akan terisi sesaat setelah Khalifah yang baru terpilih. Sehingga urusan rakyat tak terbengkalai. Sebab adanya pemimpin adalah untuk mengurusi umat. Maka prinsip sederhana dalam pemilihan lebih ditekankan. Dari kesederhanaan ini maka akan menutup celah bagi orang-orang yang hanya memanfaatkan momentum pemilihan ini hanya untuk urusan pribadi atau usahanya.Jual beli suarapun menjadi marak sebab, suara mayoritas lebih diutamakan meskipun dari sisi kapabilitas tak ada samasekali. Banyak contoh pemimpin yang hanya berbekal ketenaran saja ketika mencalonkan diri, orientasinya adalah penarikan suara, disinilah politik lobi-lobi dilancarkan dan uang adalah pemulusnya.Ketika keburukan terjadi akibat pemimpin yang ia pilih, yang sering terjadi adalah mengharapkan segera ada pemilihan pemimpin baru. Padahal jelas, akar persoalannya adalah aturan yang dipakai untuk mengatur masyarakat inilah yang salah. Mengapa masih saja mengambil pelajaran yang salah? Wallahu a' lam bish showab.
COMMENTS