politik islam
Menurut Imam al-Ghazali: Agama dan kekuasaan itu ibarat (dua saudara) kembar…Agama itu pondasi, sedangkan kekuasaan itu adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa pondasi akan roboh dan sesuatu yang tanpa penjaga akan hilang. Jadi, kekuasaan sangat penting untuk mengatur dunia, dan mengatur dunia juga penting untuk mengurus agama. Mengurus agama juga penting untuk meraih kemenangan untuk kebahagiaan akhirat. (al-Imam Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 76)Negara, menurut Ahmad al-Qashash adalah sultah siyasiyyah /kekuasaan politik. Yaitu kekuasaan dalam sebuah masyarakat yang dibangun untuk menjaga sistem, penerapannya dan dengan sistem tersebut seluruh urusan masyarakat dapat diatur dan pelanggaran terhadapnya dapat dihindarkan. (Ahmad Qashash - Usus An-Nahdhah Ar-Rasyidah, hlm. 89)Adapun kekuatan Negara yang mampu menjaga keberlangsungan umat Islam, menurut Muhammad Musa (Adwa’ ‘ala al-Alaqah al-Duwaliyyah wa al-Nizam al-Duwali, , hlm. 14-19), bergantung kepada:1. ASPEK IDEOLOGIIdeologi adalah pemikiran paling mendasar yang menjadi dasar pemahaman, standar dan qana’ah umat. Dalam konteks Negara, ideologi Isam merupakan unsur terpenting yang menentukan kuat dan lemahnya Negara. Buktinya adalah negara Islam yang dibangun oleh Nabi SAW di Madinah. Dalam jangka waktu 6 tahun, antara tahun 2 H/624 M sampai tahun 8 H/630 M, misalnya, umat Islam waktu itu telah mampu berperang sebanyak 28 kali peperangan yang dipimpin langsung oleh Nabi, serta sebanyak 15 kali ekspedisi yang dipimpin oleh para sahabat (Syit Mahmud Khattab, al-Rasul al-Qa’id, hlm. 62-63). Artinya, umat Islam waktu itu rata-rata berperang 7 kali per tahun. Rekor yang hanya mungkin dicapai oleh umat yang mempunyai kekuatan ideologis. Ini sekaligus membuktikan kekuatan ideologi negara waktu itu.2. ASPEK EKONOMIEkonomi merupakan urat nadi kehidupan, dan ketiadaannya menyebabkan kehidupan umat ini menjadi stagnan. Akan tetapi, kekuatan ekonomi sebenarnya merupakan buah dari kekuatan ideology. Ini dapat dibuktikan pada zaman ‘Umar bin al-Khattab, yang terkenal dengan aksi-aksi penaklukannya. Pada tahun 20 H/640 M, Umar menerapkan sistem Diwan (administrasi pembukuan), dan mendistribusikan kekayaan berdasarkan stratifikasi sosial anggota masyarakatnya. ‘Ali misalnya, mendapatkan 5000 dirham (Rp 167.343.300), al-Hasan dan al-Husayn, masing-masing 3000 dirham (Rp 100.406.250) dan seterusnya. Sedangkan para pemimpin daerah, seperti Mu’awiyyah, Wali Syam, mendapatkan gaji 1000 dinar (Rp 573.750.000) per bulan. Ini menunjukkan, bahwa ekonomi negara Islam waktu itu sangat maju. Kemajuan ini dicapai sebagai konsekuensi dari aksi-aksi penaklukan, yang merupakan manifestasi kekuatan ideologi umat Islam waktu itu.3. ASPEK MILITER DAN TEKNOLOGIKekuatan militer juga ditentukan oleh kuat dan lemahnya keinginan Negara untuk mempertahankan kekuasaan dan meraih kepentingannya. Faktor ideologi sekali lagi merupakan penentu pengembangan kekuatan militer negara. Teknologi negara akan dikembangkan berdasarkan kepentingan perang. Ini dapat dilihat dari perkembangan kekuatan militer negara dalam jangka waktu 8 tahun sejak negara didirikan oleh Nabi. Dalam Perang Wadan, Bawat hingga Perang Badar Besar, militer negara Islam hanya berkekuatan antara 200-315 personel, seterusnya dalam Perang Tabuk, peperangan terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah, kekuatan militer negara meningkat menjadi 30.000 personel, dengan 10.000 diantaranya merupakan pasukan penunggang kuda (Syit Mahmud Khattab, al-Rasul al-Qa’id, hlm. 286-292). Demikian juga pengembangan teknologi senjata konvensional, seperti manjaniq dan kendaraan anti peluru konvensional, seperti dababah telah dilakukan pada waktu Perang Ta’if tahun 8 H/630M.4. ASPEK DEMOGRAFISKekuatan demografis atau kekuatan yang berkaitan dengan jumlah populasi penduduk. Kekuatan demografis mempunyai makna jika dibangun berdasarkan ideologi Islam. Bukti bahwa kekuatan demografis ini merupakan kekuatan negara jika dibangun berdasarkan kekuatan ideologi, dengan jelas nampak jika dibuat perbandingan antara wilayah negara dan jumlah tentara kaum muslimin pada zaman Nabi. Ketika wilayah negara masih terbatas di Madinah, kekuatan ketentaraan negara Islam sangat terbatas, yaitu antara 200-315 personel. Berikutnya, ketika wilayahnya hampir meliputi seluruh jazirah Arab, sekitar tahun 8 H/630 M, maka kekuatan militer negara Islam mengalami peningkatan yang luar biasa, yaitu dari 200-315 personel menjadi 30.000 personel (Syit Mahmud Khattab, al-Rasul al-Qa’id, hlm. 286-292).5. ASPEK GEOGRAFISKekuatan geografis atau kekuatan yang berkaitan dengan luas, sempit dan keadaan wilayah akan menjadi kekuatan penting jika dibangun berdasarkan ideologi Islam. Pasca penaklukan Makkah, tahun 8 H/630 M, negara Islam telah mempunyai kekuatan geografis yang meliputi: Yaman, Hadramaut, Oman, Makah, Madinah dan Dumah al-Jandal, yang waktu ini meliputi tiga negara, yaitu: Yaman, Oman dan Arab Saudi. Dengan wilayah yang begitu besar, didukung dengan kekuatan militer dan ideologinya, umat Islam berhasil menggegerkan tentara Romawi dalam Perang Tabuk, dan pasukan tentara musuh ini ditarik mundur dari medan perang, sebelum berperang menghadapi tentara Islam (Syit Mahmud Khattab, al-Rasul al-Qa’id, hlm. 273 & 276).6. ASPEK DIPLOMATISAda dua institusi dalam negara yang digunakan untuk melakukan aktivitas diplomasi, yaitu urusan luar negeri (foreign affair) dan kedutaan besar atau yang melaksanakan fungsi tersebut. Kekuatan negara Islam pada zaman Rasulullah SAW juga nampak dari fungsi diplomatik yang dimainkan oleh para duta negara, seperti ‘Abdullah bin Khudafah yang dikirim kepada raja Parsi, Kisra, al-‘Ila’ al-Hadrami yang dikirim kepada wali Bahrain al-Mundhir bin Salwa, al-Muhajir bin Ummayah al-Mahzumi yang dikirim kepada raja Yaman, al-Harits al-Humayri, Sulayt bin’Amr yang dikirim kepada raja Yamamah, Hawdhah bin ‘Ali dan ‘Amr bin al-‘As al-Salami yang dikirim kepada raja Oman (Syit Mahmud Khattab, al-Rasul al-Qa’id, hlm. 218-21).Sementara itu, perjalanan hidup umat dan Negara tidak dapat dilepaskan dari kuat dan lemahnya partai politik yang mendidik pemikiran dan benak umat. Selain itu, eksistensi negara dan partai sesungguhnya merupakan manifestasi dari pemikiran dan perasaan umat dalam bentuk aksi.
Partai politik adalah entitas pemikiran (kiyan fikri) yang mengintegrasikan individu umat dengan pemikiran-pemikirannya, yang bertujuan untuk mendidik, mengontrol pemikiran dan perasaan umat dengan pemikiran-pemikiran partai. Sebagai entitas pemikiran, ia ditentukan oleh tidak adanya satu nash pun yang membenarkan partai ini melakukan aktivitas fisik (kekerasan), sebagaimana aktivitas politik yang dijalankan oleh Nabi SAW sewaktu di Mekkah.Karena partai ini menyeru kepada Islam, kelompok ini harus berdasar Islam, yang menjaga aqidah dan sistem bagi kelompok ini Akidah dan sistem iniah yang kemudian dijadikan standar untuk menentukan kemakrufan yang ingin ditegakkan, serta kemungkaran yang ingin dihancurkan. Inilah yang dijadikan oleh kelompok ini sebagai dasar dan ikatan yang menyatukan seluruh anggotanya, yang terdiri dari individu umat (Muhammad Khayr Haykal, al-Jihad wa al-Qital fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, hlm. 372-377).#FikrulIslamCenter
#TsqqofahIslamiyyah
#TsaqofahHizbiyyah
#Aamira
#YouAreWhatYouRead
COMMENTS