Sumbar menjadi pendukung Negara Pancasila, dipahami sebuah keraguan dan mempertanyakan komitmen Sumbar
Oleh : Ahmad Khozinudin | Sastrawan PolitikPengaruh opini Politik khususnya yang bergentayangan di sosial media tak dapat dianggap remeh. PDIP telah merasakan, betapa agitasi sosmed dapat mengubah bola kecil menjadi salju yang menggelinding, membesar, dan menyapu apapun yang dilaluinya.Ketidakpiawaian seorang Puan Maharani dalam mengelola bahasa agitasi, berakibat blunder. Seruan agar Sumbar menjadi pendukung Negara Pancasila, dipahami sebuah keraguan dan mempertanyakan komitmen Sumbar.Alih-alih mendapatkan dukungan dan simpati, agitasi yang keliru ini justru menimbulkan antipati. Belakangan, tidak saja antipati, pernyataan Puan memicu perlawanan dan semangat bersama untuk melawan PDIP.Sejumlah pihak melaporkan Puan Maharani ke Bareskrim Mabes Polri. Secara hukum, laporan ditolak. Namun, secara politik penolakan laporan ini justru menggelembungkan sikap keengganan pada PDIP. Imbasnya, elektabilitas PDIP pasti tergerus.Belum lagi sampai hari H pencoblosan, Pasangan bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur Sumatera Barat, Mulyadi-Ali Mukhni, mengembalikan surat dukungan dari PDIP untuk Pilkada 2020. Keputusan tersebut diambil keduanya menyusul pernyataan kontroversial dari Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, tentang Sumbar.Mulyadi paham, posisi PDIP saat ini tidak bisa diharapkan untuk mendongkrak elektabilitasnya sebagai Cakada. Bahkan, jika tidak segera memutus hubungan dengan PDIP, narasi 'Semoga Sumbar mendukung Negara Pancasila' akan menggerus elektabilitas dirinya.Terlebih lagi, tanpa dukungan PDIP Mulyadi-Ali Mukhni tetap dapat melaju ke Pilkada Sumbar. Sebab, dukungan PAN dan Demokrat telah memadai dalam pencalonan.Apakah 'Puan Effect' ini hanya akan berdampak di Sumbar atau merembet ke Pilkada lainnya ? Jawabannya, sangat berpotensi merembet. Sebab, ujaran Puan itu didasari pada klaim PDIP sebagai partai yang paling pancasilais.Sementara publik Indonesia, juga paham siapa partai yang ingin mengganti Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Publik juga paham, siapa yang selama ini jualan Narasi 'Aku Pancasila' dan menuding siapapun yang kontra PDIP sebagai 'anti Pancasila'.Seorang netizen dari Jawa Timur, juga mengungkap keengganannya kepada PDIP. Dia, menegaskan bukan hanya Sumbar yang tak nyaman dengan PDIP. Jawa Timur juga merasakan hal yang sama.Resonansi sosial media itu cepat menyebar dan tidak bisa dihalangi. Opini kontra PDIP di Sumbar, akan mudah meluas dan diadopsi oleh elemen masyarakat di daerah lain.Secara politik, narasi ini juga akan dieksploitasi oleh kubu lawan PDIP untuk menjungkalkan Cakada PDI-P. Partai rival PDIP, akan memanfaatkan sentimen terhadap Puan Maharani sebagai sentimen terhadap PDI-P dan calon kepala daerah yang diusung PDIP.Penggumpalan elemen masyarakat non partai yang kecewa pada PDIP juga akan memasifkan seruan untuk tidak memberikan dukungan kepada Cakada dari PDI-P. Kolaborasi antara partai politik, elemen umat yang kontra PDIP, rasanya akan memperluas pengaruh Puan 'Effect' yang tidak hanya dirasakan di Sumatera Barat, tetapi diwilayah atau daerah lainnya.Imbasnya, jagoan PDIP sepertinya berada dalam masalah. Elektabilitas mereka akan tergerus bahkan hangus, dan ini berdampak pada kekalahan dalam Pilkada 2020. [].
COMMENTS