pilkada 2020
Oleh : Ahmad Khozinudin | Sastrawan PolitikKetua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman terkonfirmasi positif Covid-19. Hal itu diketahui usai Arief menjalani tes PCR atau swab test pada Kamis (17/9/2020).Saat ini Arief Budiman menjalani isolasi mandiri. Sebelumnya, komisioner KPU Evi Novida Ginting juga dinyatakan positif Corona. Hal itu diketahui pada 10 September 2020.Sebelum kasus ini terjadi, publik banyak mengajukan tuntutan agar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 ditunda. Pelaksanaan Pilkada serentak, sedianya akan dilaksanakan pada bulan Desember mendatang. Tuntutan penundaan Pilkada diantaranya disuarakan oleh Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia Bersatu (PEKAT IB) bersama 17 Ormas/ Lembaga. Mereka melayangkan surat Somasi kepada Presiden RI Joko Widodo untuk segera mengeluarkan PERPPU agar Pilkada Serentak di 261 Kab/Kota dan 9 Provinsi 9 Desember 2020 mendatang Ditunda dan diundurkan mengingat Pandemi Covid 19 di sejumlah Daerah se Indonesia korbannya semakin meningkat. Sementara itu, Presiden Joko Widodo, partai politik pemilik kursi di DPR hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah satu suara terkait penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 di saat pandemi Covid-19. Jokowi mengatakan pilkada tetap digelar sesuai jadwal yang telah ditentukan, 9 Desember 2020. (8/9).Entahlah, apa motif dibalik pemaksaan Pilkada ditengah Pandemi yang makin akut. Bukan hanya akut, tetapi juga tidak jelas bagaimana penanganannya.Sejauh pengamatan penulis, pemaksaan Pilkada ditengah Pandemi hanyalah karena motif kekuasaan. Para pemburu Kekuasaan, sudah tak sabar ingin segera menduduki jabatan politik di daerah, tak terkecuali Gibran Rakabuming anak Jokowi.Tak ada pertimbangan demi kemaslahatan rakyat, sebab jika Rakyat yang dijadikan alasan dan pertimbangan, tentulah Pilkada akan segera ditunda, mengingat :Pertama, memaksakan Pilkada ditengah Pandemi berarti menjerumuskan rakyat secara beramai-ramai dalam 'Kolam Besar' kluster penularan Covid-19. Yakni cluster Pilkada.Kedua, menghamburkan anggaran untuk Pilkada sementara penanganan pandemi Covid-19 justru lebih prioritas membutuhkan anggaran, sama saja orang sakit parah tetapi memaksakan diri pesta ngunduh mantu. Boleh jadi, pasca pesta bukannya sembuh malah makin parah sakitnya, bisa karena faktor 'kelelahan' atau faktor 'banyak utang'.Ketiga, tak ada yang bisa diharapkan dari gawe Pilkada selain janji kosong. Pilkada adalah bagian dari Demokrasi, sementara demokrasi tak pernah menjanjikan apapun selain hanya mimpi.Keempat, pasca Pilkada rakyat akan mengalami kepiluan yang lebih dalam. Pandemi makin gawat seiring penularan virus yang lebih masif melalui kluster pilkada, ditambah sengketa dan potensi pembelahan ditengah masyarakat akibat hasil Pilkada.Kelima, dampak ikutannya adalah tambahnya penderitaan rakyat. Derita karena Pandemi, derita karena ekonomi, dan derita karena politik. Apalagi, Pilkada dampak membelahnya lebih parah, karena terkait kepala daerah yang jelas memiliki hubungan emosional lebih pekat dengan daerahnya ketimbang dalam Pemilu atau Pilpres.Lalu bagaimana sikap pemerintah ? DPR ? Segenap pembesar di negeri ini ? Masih mau maksa Pilkada ? Mau maksa tertular Covid-19 ? Maksa rakyat makin menderita ?Kalau saya ogah, lebih baik dirumah membaca Al Qur'an sambil mendalami siroh Nabi. Memperdalam kajian perjuangan Rasulullah SAW ketika pertama kali menegakkan Daulah Islam di Madinah. [].
COMMENTS