nalar sederhana yang dapat dipakai ketika ada orang gila yang baru baru ini melakukan penusukan. Sudah banyak sekali kasusnya.
©Salman FharAda ilustrasi. Seorang bapak-bapak paruh baya tinggi besar bertato tertangkap karena merampok sebuah keluarga dan membunuhnya. Setelah diinterogasi dia mengaku sakit jiwa dua tahun yang lalu. Gara gara itu ia serta merta dibebaskan dari jeratan hukum. Ada wanita residivis kembali tertangkap dengan dugaan pembunuhan bayi, lalu dileoaskan karena mengaku sakit jiwa. Tentu saja menangani kasus kriminalitas, tidak lah se simple itu. Seperti yang sekarang marak terjadi pada kasus penganiayaan ulama. Prinsip "praduga tak bersalah" nampaknya ditambah dengan "praduga tak berakal" dimana hampir semua tersangka disebut sakit jiwa dan diekspos jauh sebelum ada proses medis dan hukum. Padahal, gangguan jiwa tidak semuanya bermakna "hilang akal". Maknanya, tidak semua penderita yang dinamakan gangguan kejiwaan bebas dari taklif fiqh yang didalam nash digambarkan dengan frasa "diangkat pena" darinya, yakni tidak dicatat amalnya. Tidak pula semuanya bisa langsung bebas dari jeratan hukum. Sederhananya, gangguan kejiwaan bisa ringan, seperti gangguan cemas, gangguan penyesuaian, depresi ringan dan sebagainya. Ada juga gangguan jiwa unik seperti merasa selalu sakit hingga melakukan doctor shopping (pindah pindah dokter dengan keluhan penyakit yang sama) atau merasa dirinya gemuk sehingga tidak mau makan padahal tubuhnya sudah demikian kurus, dan baanyak gangguan lainnya. Jelas tidak semua gangguan jiwa berarti hilang akal. Sakit jiwa yang diduga kuat sepadan dengan istilah hilang akal adalah sakit jiwa yang sudah ada tanda psikotik. Yakni keadaan di mana dia memiliki gangguan yang parah dalam hal membedakan yang fakta dan yang bukan fakta. Biasanya ditandai dengan gangguan isi pikiran berupa "waham" dan sejenisnya dan gangguan persepsi seperti "ilusi dan halusinasi". Waham itu seperti merasa dirinya malaikat, tuhan, orang hebat orang sakti dan sebagainya yang kuat dan sulit dipatahkan yang tentu saja tidak sesuai fakta. Sedangkan ilusi adalah mendengar, melihat, meraba, membaui dll sesuatu yang berbeda dengan faktanya, arau persepsinya salah. Seperti sosok teman terlihat seperti hewan buas, bau parfum dipersepsikan menjadi bau kemenyan dll. Dan halusinasi adalah jika sumber dari penginderaan itu tidak ada misalnya melihat mobil besar padahal tidak ada, mendengar suara bayi padahal tidak ada suara, dll. Keseluruhan dari gejala tersebut harus memenuhi kriteria diagnostik dari sisi waktu, menggangu fungsi sosial, kekuatan dan keparahan gangguan barulah dinamkan gangguan jiwa. Secara ringkas ada yang diaebut Gangguan psikotik akut, ada depresi dengan psikotik, ada manik dengan psikotik, ada bipolar dengan episode kini manik/depresi dengan psikotik. Dan ada yang masuk skizofrenia dengan segala variannya. Baru lah si penderita bisa diduga hilang akal. Sebagai tambahan, orang dengan gangguan jiwa pun bisa jadi kognitifnya baik, seperti daya ingat, orientasi waktu, orang tempat dan lain sebagainya. So, Jika ada seseorang mengaku sakit jiwa dan melakukan sebuah kejahatan, belum tentu juga dia serta-merta dibebaskan. Harus dilihat minimal hal berikut. Pertama, apakah sakit jiwanya jenis yang "hilang akal" ataukah bukan. Jika bukan, tidak ada alasan untuk membebaskannya begitu saja. Kedua, apakah saat melakukan kejahatan dia sedang dalam fase "terganggu" atau tidak. Jika tidak, jelas dia harus dihukum. Sebab kondisi hilang akal nya tidak memenuhi syarat saat dia melakukan kejahatan. Ketiga, apakah jenis kejahatan yang dia lakukan ada hubungannya atau sesuai dengan jenis gangguan jiwa nya. Misalnya seseorang yang punya waham kejar, menganggap orang lain memusuhinya, lalu dia terlibat kasus pemukulan, maka boleh jadi ada hubungan gangguan jiwa nya dengan kasus. Tapi kalau ada orang dengan waham kejar, halusinasi mendengar orang yang menghina dia, lalu ia terlibat kasus yang "tidak nyambung" misalnya korupsi dan kasus pemerkosaan, tentu tidak nyambung antara gangguan jiwa nya dengan jenis kriminalitas yang dia lakukan. Dan tetap dihukum seperti biasa. Demikianlah kira kira nalar sederhana yang dapat dipakai ketika ada orang gila yang baru baru ini melakukan penusukan. Sudah banyak sekali kasusnya. Namun, masyarakat terlihat diajak govlog dengan menelan diagnosis instan sakit jiwa untuk memaklumi sebuah kriminalitas. Nyawa ulama dipermainkan dengan narasi jenis buzzer murah. Bahkan tanpa kejelasan alur diagnostik, media dan rezim seperti langsung mengambil alih peran sebagai humas si pelaku kejahatan. Apakah ini salah satu gejala rezim yang Justru sakit jiwa? Allahu a'lam
COMMENTS