jejak khilafah di nusantara
Oleh: Abu Mush'ab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT) Seorang editor yang katanya pemerhati sejarah pernah mengatakan bahwa film JKDN (Jejak Khilafah di Nusantara) adalah film propaganda. Dia menganggap bahwa ada lubang sejarah yang tidak terungkap secara gamblang oleh film tersebut. Nusantara dianggap sebagai wilayah yang tidak tunduk terhadap Khilafah. Seolah-olah Khilafah tak punya peran krusial terhadap perkembangan dan kemajuan Nusantara. Meminta bantuan bukan berarti tunduk terhadap Kekhilafahan Islam. Lagipula Khilafah bani Umayyah, bani Abbasiyyah dan Ustmaniyyah bukan Khilafah tetapi Monarki. Majapahit dikatakan sebagai rezim dengan konotasi negatif dalam film JKDN. Dan masih banyak konklusi lainnya. Padahal, kalau mau jujur melihat film JKDN dari sisi sejarah, ilmiah maupun keimanan, tentu publik akan meyakini bahwa film ini sangat spektakuler dan akurat (bukan propaganda). Nusantara merupakan bagian dari Kekhilafahan. Banyak bukti tentang ini. Semisal, Sultan Hamengkubuwono ke X dalam pidatonya di KUII di Jogja, mengatakan bahwa Kesultanan Demak mendapatkan mandat dari Khilafah Ustmaniyah dan resmi menjadi Kesultanan Islam di Jawa. Dan memang benar Kesultanan Demak itu Kesultanan Islam pertama di Jawa. Buku SKI terbitan Kemenag untuk kelas 9 MTS juga menyatakan bahwa Kesultanan Demak adalah Kesultanan Islam pertama di tanah Jawa. Selain itu, banyak Sultan yang dilantik setelah mendapatkan mandat dari Khalifah. Misalnya, Sultan Buton dan Sultan Muna, menurut pakar Sejarah di Sultra, LaFariki, memeluk Islam melalui perantara Syeikh Abdul Wahid utusan dari Makkah. Makkah kala itu di bawah kekuasaan Khalifatul Ruum (Penakluk Romawi, yang dimaksud adalah Khilafah Ustmani). Sebelum menjadi Sultan, Syeikh Abdul Wahid mengatakan bahwa para raja di semenanjung Asia (Asia Tenggara) telah menjadi Sultan. Dan kemudian raja-raja di Sultra menjadi Sultan setelah mendapatkan mandat dari Khalifah. Jika belum, status mereka tetap menjadi raja, bukan Sultan. Ini fakta bahwa hubungan Nusantara dengan Khilafah adalah hubungan vertikal bukan horizontal. Khalifah adalah Ultimate Leader (Pemimpin Tertinggi Kaum Muslimin) yang menguasai semua kerajaan dan kesultanan Islam. Jika Khilafah bukan kepemimpinan Islam tentu para Raja tak akan mau menjadi Sultan dan menunggu mandat dari Khalifah. Raja cukup masuk Islam tanpa harus mengakui Khalifah di Istanbul. Ini menunjukkan bahwa Nusantara (sebagian Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, Champa, Pattani, Suluk) telah menjadi Kesultanan dan menunggu mandat dari Khalifah. Makkah adalah wilayah Provinsi Khilafah yang ditugaskan untuk mengIslamkan wilayah Asia Tenggara. Islam pun berkembang sejak abad ke-7 hingga zaman modern. Ada temuan baru setelah masuk Islamnya, Raja Sriwijaya Jambi. Dalam youtubenya Helmi Yahya, Bung Fadli Zon mengatakan bahwa ada koin Bani Umayyah dan Abbasiyah di Tapanuli pada abad ke-7 Masehi. Ini menunjukkan bahwa pengaruh Khilafah sebagai negara adidaya telah ada di Nusantara. Jadi tidak ada lubang sejarah. Ada kesinambungan antara jejak Dakwah Khilafah dengan Nusantara. Dan memang perkampungan Islam telah lama ditemukan di daerah Sumatera (Syumatirah). Dan jika banyak Adipati Majapahit kemudian memeluk Islam itu hal yang wajar, dengan ditemukannya Koin Khilafah bisa jadi Majapahit pun diduga punya hubungan politis dengan Khilafah. Wali Songo adalah utusan Khalifah adalah hal yang sangat wajar. Bahkan di zaman perjuangan melawan Belanda pun Sultan Aceh terus berhubungan dengan Khilafah Islam. Surat yang meminta bantuan dari Khalifah sayangnya jatuh ke agen Belanda, Snouck Hurjongje. Seorang yang teori Masuk Islam ke Nusantara karena perdagangan dan bukan hubungan politis dipakai oleh banyak pakar Sejarah di Indonesia. Semoga jejak-jejak Khilafah ini semakin menyadarkan Kaum Muslimin tentang jasa-jasa Khilafah terhadap Nusantara. Dan mengingatkan Umat tentang pentingnya menegakkan Khilafah. [] Bumi Allah SWT, 3 September 2020 #DenganPenaMembelahDunia
#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan
COMMENTS