Obsesi itu tertuang dalam kebijakannya yang sangat proinvestor asing. Mulai dari gratiskan sewa lahan hingga gratiskan tanah untuk relokasi pabrik-pabrik Cina.
Oleh: Chusnatul Jannah
Di era pemerintahan Jokowi, tampak jelas wajah perekonomian berpijak pada infrastruktur dan investasi. Obsesi itu tertuang dalam kebijakannya yang sangat proinvestor asing. Mulai dari gratiskan sewa lahan hingga gratiskan tanah untuk relokasi pabrik-pabrik Cina.
Di tahun 2018-2019 Indonesia memang mengalami pasang surut investasi. Hal ini bermula dari para investor yang lebih memilih merelokasi pabrik mereka ke Vietnam. Sejumlah keuntungan didapat tatkala para investor merelokasi pabrik mereka ke Vietnam dibanding Indonesia.
Dikutip dari cncbcindonesia.com, 5/9/2020, Vietnam mencatatkan pertumbuhan Foreign Direct Investment (FDI) sebesar 74,16% sejak 2014-2018. Jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 16,79%.
Setidaknya ada empat alasan utama mengapa Vietnam menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru.
Pertama, Vietnam mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih kinclong dibandingkan Indonesia.
Kedua, Vietnam menawarkan ongkos investasi yang lebih murah daripada Indonesia. Berdasarkan laporan Foreign Investment Agency (FIA) dan Ministry of Planning & Investement (MPI) Vietnam 2018, biaya investasi di kota Ho Chi Minh lebih murah dibandingkan Jakarta.
Sebagai contoh, untuk menyewa Grade A Office hanya membutuhkan biaya US$17/m2/bulan. Sedangkan untuk menyewa tempat yang sama di Jakarta membutuhkan biaya US$50/m2/bulan.
Ketiga adalah Vietnam memberikan beban pajak yang relatif lebih murah dibandingkan Indonesia. Untuk pajak korporasi (CIT) atau Pajak Penghasilan (PPh) Badan, Indonesia mematok flat di angka 25% sedangkan di Vietnam hanya 20% kecuali untuk sektor migas.
Faktor terakhir adalah, ditinjau dari lokasi geografisnya, Vietnam terletak di tengah Asia Tenggara dan di bagian utara berbatasan langsung dengan Cina.
Beberapa alasan itulah yang melatarbelakangi mengapa Jokowi begitu ngotot menggenjot investasi. Ia tidak ingin Indonesia kalah peminat dari negara lain. Peminat yang dimaksud adalah mengundang para investor agar menanamkan modalnya di Indonesia.
Pemerintahan Jokowi percaya bahwa investasi dan pembangunan infrastruktur akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berdampak positif pada kesejahteraan rakyat. Dalam beberapa kesempatan, ia pun berkali-kali menekankan agar tidak mempersulit perizinan.
Hal yang menghambat investasi harus dihilangkan hingga menghapus persyaratan Amdal bila itu diperlukan.
Tak ayal, regulasi menjadi “jalan tol” pemerintah untuk mewujudkan obsesi mereka. Regulasi itu terwujud dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, menjadi ambisi yang harus gol, bertujuan mendorong iklim investasi yang nyaman bagi para investor.
Tak heran bila RUU ini sangat dinantikan kaum kapitalis. Sebaliknya, RUU ini mendapat penolakan keras dari kalangan buruh, pekerja, dan aktivis lingkungan.
Tanah Gratis, Jalan Instan untuk Investor
Setelah Kadin menggratiskan sewa lahan Batam, kini Kawasan Industri Batang, Jawa Tengah menjadi incaran relokasi pabrik Cina. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut, saat ini Indonesia sudah menjadi tujuan relokasi pabrik-pabrik perusahaan besar asal Cina. Padahal sebelumnya, perusahaan-perusahaan besar lebih memilih merelokasi pabriknya ke Vietnam.
Memberi tanah gratis demi membuka investasi seluasnya seperti mencemari rasa keadilan. Bagaimana bisa asing diberi tanah gratis sementara masih banyak rakyat yang harus berjibaku membeli tanah untuk memenuhi kebutuhan papannya? Bahkan mereka harus merogoh kantong lebih dalam demi mendapat rumah impian.
PP Tapera menjadi bukti konkretnya. Rakyat diperah dengan kedok tabungan perumahan. Padahal sejatinya PP Tapera hanya menguras harta rakyat demi menambah pemasukan negara.
Tanah gratis harusnya diberikan pada mereka yang butuh modal usaha. Tanah gratis semestinya diberikan pada mereka yang belum mampu membuat rumah.
Namun faktanya, rezim ini justru memberikan penggratisan tanah itu pada investor asing. Semua itu dilakukan demi mengemis investasi dari negara besar.
Hal ini mencerminkan betapa kerasnya itikad pemerintah mendahulukan kepentingan kapitalis dibandingkan lainnya. Padahal sejatinya, ketergantungan terhadap investasi adalah rumus menuju malapetaka sosial dan lingkungan.
Bagi rezim ini, investasi lebih berarti menghidupkan perekonomian. Namun, apa gunanya ekonomi tumbuh tapi berdiri di atas lingkungan rusak dan derita rakyat?
Sebagai sesama negara berkembang, wajar saja bila Vietnam dan Indonesia berlomba menawarkan hal murah kepada investor. Sebab, keduanya adalah negara yang berkiblat pada pandangan ideologi kapitalisme.
Dalam kapitalisme, roda perekonomian bisa berjalan manakala sektor perekonomian banyak melibatkan swasta. Dalam hal ini adalah para investor. Tak heran bila kebijakan ekonomi negara di kawasan Asia Tenggara menawarkan berbagai macam kemudahan berinvestasi.
Pandangan inilah yang membuat Indonesia dan negara berkembang lainnya terjerat dengan rayuan bernama investasi dan infrastruktur.
Benarkah investasi mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi bagi rakyat? Faktanya tidaklah demikian. Bersamaan memperluas kemudahan investasi, tenaga kerja asing juga tak kalah deras.
Artinya, tujuan investasi yang semula untuk menyejahterakan rakyat justru berimbas pada kerusakan lingkungan dan ketersediaan lapangan kerja.
Investasi tak berpengaruh signifikan terhadap lapangan kerja. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatatkan selama tiga tahun terakhir penyerapan tenaga kerja dari investasi asing rasionya kian menurun.
Pada 2016, nilai investasi USD28,96 miliar menyerap 951.939 tenaga kerja. Pada 2017 investasi dengan nilai USD32,24 miliar malah hanya menyerap 767.352 tenaga kerja. Pada Triwulan I – 2019 juga tidak lebih baik, karena dengan investasi USD 29,31 miliar, hanya 490.368 tenaga kerja yang terserap.
Lantas, di mana korelasinya investasi membuka lapangan kerja? Yang ada angka pengangguran meningkat.
Inilah konsekuensi mengadopsi sistem kapitalisme global. Peran serta Indonesia dalam WTO dan GATS mengharuskannya mengikuti aturan main perdagangan dunia. Yakni kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi di segala bidang.
Jika dulu di masa Orba sudah liberal, maka hari ini di bawah pemerintahan Jokowi, liberalisasi itu makin kental. Watak neoliberal menjadi paradigma kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi.
Sudah lebih dari 15 paket kebijakan deregulasi ekonomi yang intinya meliberalisasi perizinan investasi. Bahkan membolehkan investor asing bermain pada aset-aset strategis.
Dalam kapitalisme liberal, negara tak ubahnya regulator dan fasilitator bagi asing. Tak ada beda antara kepemilikan umum, negara, dan individu. Semua diprivitisasi atas nama liberalisasi. Tak ayal, swasta banyak mengambil peran. Sementara, peran negara makin berkurang sebagai pengurus dan pelayan kepentingan rakyat.
Investasi dalam Pandangan Islam
Pada dasarnya Islam tidaklah antiinvestasi. Kegiatan investasi merupakan kegiatan yang dianjurkan dalam Islam. Sebagian ulama menganggapnya wajib dan sebagian lainnya menganggapnya sunah. Investasi merupakan aktivitas perekonomian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan. Tanpa investasi, mustahil ekonomi bisa berkembang.
Hanya saja model investasi dalam suatu masyarakat atau negara dipengaruhi ideologi yang mereka anut. Negara kapitalis, misalnya, akan berinvestasi menurut pandangan kapitalis. Prinsip kebebasan menjadi dasar mereka berinvestasi.
Dalam Islam kegiatan investasi haruslah berdasarkan prinsip syariat Islam. Salah satu konsep investasi dalam ekonomi kapitalisme yang sangat kontradiktif dengan Islam adalah kaburnya batasan sektor-sektor yang boleh dan tidak boleh dimasuki oleh investor swasta.
Aturannya bisa berubah-ubah sesuai kebutuhan, baik dengan alasan nasionalisme yang membatasi investasi ataupun yang membukanya secara luas mengikuti prinsip pasar bebas.
Hal tersebut berbeda dengan Islam yang telah memberikan pengelompokan secara tegas termasuk siapa yang berhak mengelolanya. (Al Waie, Investasi dalam Islam).
Investasi asing dalam Islam harus berpegang pada prinsip berikut:
Pertama, investasi asing tidak boleh pada barang yang menjadi milik umum. Seperti barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya. Lalu fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat secara luas seperti jalan raya, bandara, pelabuhan, tanah-tanah yang diperuntukkan untuk manfaat umum, dan sebagainya. Berikutnya objek alamiah yang menghalangi pihak swasta memilikinya, seperti sungai, laut, danau, pantai, dan lainnya.
Kedua, investasi asing tidak boleh dalam bidang yang membahayakan. Seperti pembalakan hutan, produksi ganja, khamr, dan sebagainya.
Ketiga, investasi hanya boleh di bidang yang dihalalkan.
Keempat, investasi tidak boleh dalam sektor nonriil, seperti pasar modal, jual beli saham, termasuk bisnis ribawi.
Kelima, investasi bukan investor terkategori negara kafir harbi fi’lan, yaitu negara yang memerangi Islam dan kaum muslim. Tidak boleh ada kerja sama dalam hal apa pun terhadap negara jenis ini.
Oleh karenanya, negara dalam sistem Islam bertanggung jawab agar investasi berjalan sesuai syariat Islam. Barang-barang yang termasuk kepemilikan umum harus dikelola negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Negara juga mengontrol dan mengawasi pelaksanaan investasi. Dengan begitu, kepentingan rakyat tak akan terabaikan. Hal ini hanya bisa terwujud dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh. [MNews]
COMMENTS