"Sense of Crisis", itulah ketiadaan yang dimiliki oleh para menteri menurut Presiden Jokowi pada rapat terbatas di sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni lalu. Tidak adanya perasaan yang satu, mengakibatkan minimnya kerja para menteri dalam menangani krisis bahkan di era pandemi.
"Sense of Crisis", itulah ketiadaan yang dimiliki oleh para menteri menurut Presiden Jokowi pada rapat terbatas di sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni lalu. Tidak adanya perasaan yang satu, mengakibatkan minimnya kerja para menteri dalam menangani krisis bahkan di era pandemi. Hal ini pun berbuah pada pernyataan kemungkinan diperlukannya sebuah langkah extraordinary oleh pemerintah. Termasuk yang paling mengguncang jagat perpolitikan, yaitu langkah 'reshuffle kabinet'.
Mengundang pro-kontra di kalangan politisi, intelektual, dan masyarakat. Pernyataan ini berhasil memikat perhatian akan adanya suatu kebijakan dan langkah baru yang seolah menggugah. Alhasil, banyak masyarakat terfokus hanya kepada siapa yang harus diganti dan siapa yang layak mendaki. Namun juga cukup mengkhawatirkan dengan realita mengguritanya cegkraman oligarki yang tak mudah lepas dari negeri ini.
Sejarah tak lupa bahwa kursi kosong adalah kue yang diperebutkan mati-matian oleh banyak kalangan, terutama para kapital. Berebut panggung kekuasaan adalah jalan utama dalam politik berbasis kepentingan. Alih-alih di masa pandemi seperti ini, kalang kabut ekonomi tak hanya bersumber dari minimnya kerja menteri saja. Melainkan munculnya 'musuh baru' yang berasal dari level operasional dan administrasi, menurut Sri Mulyani. Begitu pula bidang pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Sehingga, langkah pragmatis ini hanya akan berbuah distraksi temporer yang ber-repetisi.
Dalam Diskusi Publik Bravos Radio Indonesia pada Senin (29/6) lalu, seorang Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan bahwa yang dibutuhkan Indonesia saat ini bukan sekedar reshuffle kabinet atau usulan-usulan reformis saja, melainkan perlunya restarting semua struktur ekonomi negara. Hal ini pun juga didukung dengan fakta tak adanya negara yang ekonominya mampu mempertahankan diri dari pendarahan besar-besaran baik dari sektor rill maupun non-riil.
Tak hanya mampu membuka mata, pandemi ini dinilai adalah pukulan telak terhadap Sistem Ekonomi Dunia. Sebagaimana Syekh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nidzhamul Islam menjabarkan bahwa Kapitalisme adalah sebuah ideologi yang fasad/cacat proses kelahirannya. Ide yang dianggap sebagai kompromi (jalan tengah) ini adalah bukti lemahnya manusia dalam menentukan keputusan, apalagi peraturan yang mengikat mereka.
أَمْ لَهُمْ إِلَٰهٌ غَيْرُ ٱللَّهِۚ
"Ataukah mereka mempunyai Tuhan (sesembahan) lain selain Allah?..." (Q.s. at-Thur [52]: 43)Ilah, secara harfiah atau syar'i tidak memiliki arti lain kecuali "dzat yang disembah". Dan setiap muslim yang bersyahadat, maka mereka mengakui Allah sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengatur kehidupan mereka, tanpa menyekutukan yang lain.
Sayangnya banyak masyarakat muslim yang belum menyadari kedaulatan syariat dan penerapannya. Terkungkung dalam penjajahan ala sekuler yang mengkotakkan mereka pada dua ruang, yaitu spiritual dan profesional-rasional. Termasuk dalam mengambil kebijakan politik, Allah telah di-nomor duakan.
Kesempurnaan islam bagaikan matahari yang tersamar rembulan. Cahayanya minim, rupanya tak kelihatan. Muhasabah diri adalah langkah awal seseorang muslim, apalagi seorang pemimpin negeri muslim yang bersumpah di bawah kitab suci al-Qur'an. Layakkah masih berpegang teguh pada solusi pragmatis manusia, sedangkan solusi tuntas telah diturunkan oleh Allah melalui RasulNya.
Tak ada khilafiyah pendapat di antara para ulama dan juga Imam Madzhab, bahwa Imamah/Khilafah adalah wajib dalam penerapannya. Selain kewajiban yang didasari akidah, sistem khilafah adalah satu-satunya sistem yang tak berdasar 'kepentingan' manusia. Ia menyajikan pengaturan sempurna yang dapat diterapkan secara praktis dalam kehidupan.
Dalam struktur pemerintahan, Khalifah dan para pejabat negara tidak mendapatkan gaji layaknya para pemimpin di negeri ini. Namun, mendapatkan kompensasi atas waktu dan usaha mereka dalam mengatur urusan negara, sementara kewajiban penafkahan kepada keluarga mereka tetaplah berjalan. Dan nilai kompensasi ini disesuaikan dengan 'tercukupinya' kebutuhan mereka saja, bukan melebih-lebihkan. Hal inilah yang menjadikan kursi jabatan bukan menjadi kue rebutan, namun menjadi wujud ketaqwaan berupa amanah yang memiliki resiko tanggung jawab besar baik di dunia maupun di akhirat.
Lalu, ada Majelis Ummat, yang menjadi penghubung komunikasi antara rakyat dengan pemerintahan. Berbeda dengan DPR, Majelis Ummat dalam sistem khilafah adalah tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewajiban untuk menyuarakan pendapat, mengkritisi kebijakan dan sikap pejabat pemerintah, tanpa andil mengubah dan membuat hukum seperti DPR. Sehingga kedaulatan syariat tidak akan terganggu oleh oknum-oknum yang mencari celah demi meraih keuntungan pribadi atau sepihak.
Hal ini juga didukung oleh sektor pendidikan yang menghasilkan pemimpin-pemimpin hebat yang tinggi kualitas dan kuantitasnya. Berbeda dengan sekarang, dimana degradasi moral telah membabi buta di kalangan para pemuda. Pencarian sosok pemimpin bak mutiara yang tersembunyi di luasnya samudera. Pendidikan tak merata, kurikulum yang buta arah, juga sektor ekonomi yang tidak menunjang fasilitas dan kapasitas telah berbuah asa. Di samping sumber daya yang terjajah, sementara rakyat dipalak tak henti-hentinya.
Maka sudah selayaknya kita mengembalikan fitrah manusia yang mulia. Seharusnya seluruh lapisan masyarakat, pemuda, intelektual, politisi dan para pejabat membuka mata terhadap realita, bahwa tak ada solusi yang mampu menyelamatkan manusia dari cobaan dunia ini selain Islam Kaffah.
Penulis : Ainur Robiatul Adawiyah | mahasiswi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
COMMENTS