Sebuah survei menunjukkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan di seluruh dunia, setelah lebih dari setengah tahun masa pandemi global Covid-19
Dilansir dari CNNindonesia.com (27/7/2020), masyarakat di Prancis, Jerman, Inggris, Jepang, Swedia, dan AS percaya angka kematian dan infeksi sesungguhnya lebih tinggi dari yang dicatat. Hal ini disebutkan sebuah penelitian yang menyurvei 1.000 orang di setiap negara.
“Bulan ini, di sebagian besar negara, dukungan untuk pemerintah nasional menurun,” kata laporan konsultasi komunikasi Kekst CNC.
Terlepas dari akurasi survei tersebut, menurut analis politik Pratma Julia Sunjandari, paling tidak hasil survei memperlihatkan kegagalan penanganan pandemi Covid-19 secara global.
“Semua negara G7 yang disebut paling maju dalam sistem kesehatannya yakni AS, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Kanada, dan Italia, nyatanya gagal membendung serangan virus, bahkan mereka mengalami kasus yang amat tinggi,” ujarnya.
Kanada, yang mengklaim penanganannya lebih baik dari AS, berdasar data Johns Hopkins University telah menempati urutan ke-18 daftar negara dengan kasus Covid-19 terbesar di dunia.
Akibatnya, mayoritas warga dunia hilang percaya pada kredibilitas pemerintahnya, termasuk welfare state semacam Swedia.
“Apalagi negara seperti Indonesia yang pemerintahnya sejak awal tampak gagap dan akhirnya gagal membendung peningkatan kasus,” jelas Pratma kepada MNews, Senin (27/7/2020)
Sesungguhnya realitas itu sudah bisa diprediksi. Hampir tidak ada negara yang sungguh-sungguh menerapkan lockdown sebagaimana tuntunan Rasulullah Saw. –dalam hadis riwayat Bukhari– bagi setiap negara yang menghadapi wabah mematikan.
Bagi negara sekuler kapitalis, lockdown adalah “bunuh diri”. Sebab parameter kemajuan dan kemakmuran itu hanya tergantung pada pertumbuhan ekonomi. Bila tak ada transaksi, resesi pasti mereka hadapi.
Sebagaimana telah dialami Singapura, Korea Selatan dan Australia menyusul Jepang, Jerman, Prancis, dan Italia di kuartal I tahun 2020. Indonesia pun diramalkan tertular resesi di kuartal III September nanti.
Pratma melanjutkan, itulah karakter negara plutokrasi, menggantungkan hajat penting negara hanya pada korporasi besar. Stakeholder kapitalisme ini menjadikan pemerintah mandul, tak cukup memiliki wibawa, kepedulian, apalagi sumber daya untuk menjamin kehidupan, keamanan, dan kesehatan rakyatnya.
“Wajar jika semua rakyat kecewa. Lebih setengah tahun melawan pandemi global infeksi virus corona, ternyata tak membuat semua pemerintahan tersebut belajar menjadi pe-ri’ayah, yang sungguh-sungguh mementingkan keselamatan rakyat daripada kepentingan investor, korporasi, dan konglomerat,” jelasnya.
Realitas di atas kembali membuktikan, menggantungkan nasib rakyat pada penguasa kapitalis sekuler, di belahan dunia mana pun, disebut Pratma bagaikan menggantang asap mengukir langit.
Para penguasa itu dipilih melalui proses demokrasi yang meniscayakan “imbal beli” atas kekuasaannya dengan konsesi bisnis dan kepemilikan hajat umum rakyat bagi para donaturnya.
“Bagaimana mungkin mereka akan berpikir untuk menuntaskan pandemi ini?” sindirnya.
Meski demikian, Pratma meminta masyarakat untuk tidak khawatir. Sebab, masyarakat dunia masih bisa menaruh harapan pada satu-satunya alternatif pengganti sistem demokrasi kapitalis sekuler, yakni Khilafah Islamiyah.
Sistem ini, jelas Pratma, mendasarkan pemerintahannya pada ri’ayatusy syu’unil ummah ‘kemaslahatan utama rakyat’. Tanpa membedakan ras, golongan, dan agamanya. Juga berdasarkan konsepsi unggul Allah Sang Maha Pengatur.
“Dijamin, rakyat di seluruh dunia tak bakal kecewa dengan kinerja pemerintahannya, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah,” tegas Pratma. [MNews]
COMMENTS