Namanya Zudan Arif Fakrulloh, nama yang tak akan pernah penulis lupakan sampai mati, bahkan di kehidupan kedua setelah kematian. Nama dari sosok yang pernah menjadi Ahli Administrasi, yang membenarkan dalih mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Ketentuan UU Baru, melanjutkan Norma Lama berdasarkan UU lama dan digunakan untuk mengadili kejadian lampau.
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H. | Aktivis, Advokat Pejuang Khilafah
Namanya Zudan Arif Fakrulloh, nama yang tak akan pernah penulis lupakan sampai mati, bahkan di kehidupan kedua setelah kematian. Nama dari sosok yang pernah menjadi Ahli Administrasi, yang membenarkan dalih mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Ketentuan UU Baru, melanjutkan Norma Lama berdasarkan UU lama dan digunakan untuk mengadili kejadian lampau.
Tepatnya, nama ahli dalam sidang sengketa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang dihadirkan Pemerintah untuk membuktikan kezalimannya kepada Ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia. Ahli yang pendapatnya dijadikan sandaran Kemenkumham mengeluarkan KTUN berupa pencabutan BHP HTI, berdalih Perppu Ormas tahun 2017, yang diterapkan untuk mengadili perbuatan berupa kegiatan Muktamar khilafah HTI ditahun 2013, berdalih norma larangan yang diatur Perppu Ormas telah ada didalam UU Ormas sebelumnya (UU No 17/2013).
Zudan adalah Profesor di bidang Hukum Administrasi Negara dan Sosiologi Hukum. Namun kali ini, dia tetiba seolah telah menjadi Ulama, menjadi ahli Fiqh. Zudan mengeluarkan Fatwa Haram bagi ASN mengkriktik Pemerintah melalui Sosmed.
Ketua Umum (Ketum) Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) ini, menyebut Posisi ASN adalah bagian dari pemerintah. Loyalitas ASN bukan kepada person, tapi kepada negara. (10/7).
Zudan lupa, atau pura pura lupa bahwa setiap manusia dengan status apapun, termasuk sebagai ASN adalah hamba Allah SWT. Kewajiban mentaati manusia, hanya diperkenankan selama dalam perkara Ma'ruf.
Sementara sebagai abdi Allah SWT, manusia diberi beban (taklif) untuk berdakwah, melakukan amar Ma'ruf nahi Munkar kepada sesama, terutama kepada penguasa.
Rasulullah SAW bersabda :
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيْرٍ جَائِرٍ
“Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawub, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Didalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga bersabda :
«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath).
Dalam Islam, dakwah hukumnya wajib. Bahkan, dakwah kepada penguasa lebih utama lagi.
ASN mengkriktik penguasa itu maknanya ASN melakukan dakwah pada penguasa, dakwah pada pemerintah. Kritik itu meluruskan kesalahan. Objek kritik itu adalah kesalahan, bukan ketidaksukaan.
Sementara kebencian itu menampakan ketidaksukaan disertai ungkapan yang merendahkan. Dasarnya bukan karena melihat kesalahan, tetapi subjektivitas pembenci pada yang dibencinya.
Dakwah pasti membenci perilaku maksiat, membenci kekufuran dan kemunafikan. Titik seruannya adalah membenci tabiat atau sifat dan perilaku maksiat, kufur atau munafik. Bukan membenci kepada orangnya.
Dakwah pasti menyeru agar manusia meninggalkan maksiat, sifat kufur dan nifaq. Orang beriman diminta membenci perilaku maksiat, kufur dan nifaq.
Jadi, dakwah bukanlah seruan kebencian tetapi seruan mengajak kepada kebajikan, mengajak kepada Islam, meninggalkan maksiat, meninggalkan kekufuran dan kemunafikan serta membencinya dan berusaha menjauh darinya.
Sekarang, apa dasarnya Zudan mengharamkan ASN mengkriktik Pemerintah? Mendakwahi penguasa ? Sejak kapan, kewajiban yang agung yakni amar Ma'ruf nahi Munkar kepada penguasa berubah hukumnya menjadi haram ? Apa dasar rujukannya ?
Lantas, jika kebijakan pemerintah ngawur sementara ASN tahu itu, apakah ASN diminta diam dan menyembunyikan kebenaran ? Menjadi setan bisu dengan mendiamkan kemaksiatan ?
Kembali penulis tegaskan, ASN itu abdi Negara, bukan abdi penguasa. Kesetiaan ASN kepada negara, bukan kepada penguasa. Kesetiaan ASN juga tidak mutlak, dibatasi dengan ketaatan. Sebab, tak ada perintah taat dalam maksiat kepada Allah SWT.
ASN juga akan mati, akan bertemu Allah SWT, atasan ASN yang sesungguhnya. Di akhirat kelak, seluruh ASN akan ditanya, apakah ASN lebih setia kepada Allah SWT, dengan tetap menjalankan kewajiban dakwah, atau justru tunduk pada penguasa meskipun melakukan kemaksiatan. [].
COMMENTS