Buah pikiran ulama Sulaiman Rasjid tersebut mengingatkanku pada pelajaran di SD dulu, tentang Khulafaur Rasyidin
Empat hari yang lalu, aku pergi ke toko buku. Lubis Bros nama toko itu. Kata ibuku, toko yang berada di Jalan Jenderal Sudirman Tanjung Pura itu sudah ada sejak zaman enggak enak dulu. Muncul pertanyaan "apa sekarang sudah zaman enak?" dalam batinku.
Niat hati cuma ingin membeli buku cerita untuk keponakan, tapi tak sengaja terlihat sebuah peci yang motifnya lumayan. Setelah kucoba di kepala dan menawar harganya, aku keluarkan uang 100 ribuan.
“Enggak ada uang pas, Dek?” tanya ibu-ibu penjaga toko yang biasa dipanggil “kakak” itu.
Aku membuka dompet, lalu menggeleng. “Enggak ada, Kak.”
Sementara menunggu uang kembalian, kulirik-lirik puluhan buku yang berbaris rapi di masing-masing raknya. Oh my God. Tampak buku yang sudah lama kucari!
“O, Kak, boleh nengok buku fiqih itu?” tanyaku sambil mengarahkan tulunjuk kanan ke posisi buku.
Tanpa menjawab, penjaga toko tadi langsung beringsut mengambilkan benda yang dimaksud.
“Boleh dibuka plastiknya, Kak, mau nengok isinya?” tanpa menjawab pula, ia langsung membukakan plastik (pembungkus) buku, lalu menyerahkannya padaku.
Begitu buku kupengang, langsung kubuka daftar isinya. Allahu akbar, ternyata benar adanya. Terdapat sebuah bab yang isinya seolah telah menjadi musuh besar negara. Kubuka lembaran demi lembaran bab itu, membacanya dengan saksama.
Wow. Kudapatkan apa yang sering menjadi sitasi dalam banyak tulisan. Di halaman 495 tertulis, “Al-khilafah ialah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. semasa beliau hidup, dan kemudian dijalankan oleh Kahulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Kepala negaranya dinamakan khalifah.”*
Masyaallahu. Buah pikiran ulama Sulaiman Rasjid tersebut mengingatkanku pada pelajaran di SD dulu, tentang Khulafaur Rasyidin yang disampaikan oleh guru Agama kami, Bu Faridah. Saat mengetahui kemuliaan akhak para khalifah tersebut, aku menganggap bahwa ayahku mirip dengan Khalifah Abu Bakar karena Ayah sangat penyabar. Ditambah lagi, Ayah pun biasa dipanggil “khalifah” oleh teman-temannya sesama jamaah tarekat Naqsabandiyah. Belakangan baru aku tahu bahwa istilah khalifah untuk Abu Bakar jauh berbeda konteksnya dengan yang disematkan untuk Ayah.
Kemudian, kubaca yang termaktub di halaman 450, “Kaum muslimin (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan khilafah itu adalah fardhu kifayah atas semua kaum muslim.” Sepontan aku teringat HTI. Ormas itu sudah tak punya BHP (Badan Hukum Perkumpulan) lagi karena telah dicabut oleh pemerintah pada tahun 2017. Saat kuliah, sering kubaca buletin HTI di masjid kampus yang di antaranya berisi tentang kewajiban penegakan khilafah.
“Cuman tinggal satu itu, Dek. Buku lama.” sang kakak penjaga toko mengomentariku, mungkin karena terlalu lama membuka-buka buku. “Sekarang orang banyak ngambil fiqih yang satu lagi. Yang di atas itu.” imbuhnya seraya menunjuk ke arah rak buku.
“O, itu penulisnya lain, Kak. Awak udah lama nyari yang Sulaiman Rasjid. Karena ada bab khilafah ini, Kak. Kan pada heboh-heboh khilafah ini, Kak.” Jawabku, sembari menunjukkan halaman yang kubaca.
“Hmm… iya. Sekarang ini entah kayak mana mau kakak bilang, Dek. Ustadz bagus-bagus ditangkapi. Pengajian dibubarkan. Aneh-aneh lah udah.” tiba-tiba wanita berkerudung hitam itu berkeluh-kesah.
“Iya, Kak. Memang, harus hati-hati la kita sekarang. Kita ini difitnah, diadu-adu, ditakut-takuti. Kayak inilah, khilafah rupanya udah dari dulu ada diajarkan ya?” Tanyaku retoris, lalu menunjukkan tahun terbit buku. Ternyata buku itu terbit 10 tahun sebelum Pak Jokowi lahir. Tahun 1951.
“Ya udah, ini sekalian sama yang tadi berapa semuanya, Kak?”
Beliau memberikan harga, lalu terus saja menumpahkan unek-uneknya. Aku tanggapi sebisanya. Setelah kubayar semua, aku pun langsung undur diri dari hadapannya.
Di rumah kutanyakan buku fiqih itu pada ibu dan abangku. Mereka yang sama-sama lulusan tsanawiyah itu rupanya mengatakan bahwa buku fiqih legend tersebut mereka baca ketika di tsanawaiyah. Amazing, dua generasi! Sudah berapa juta orang yang mempelajari?
Wajar saja tercantum dalam lembar Riwayat Hidup Penulis di halaman 510, “Karya ilmiah almarhum berupa buku Fiqih Islam ini merupakan pegangan wajib pada Perguruan Menengah dan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia dan Malaysia." Luar bisa, negeri jiran juga mempelajarinya.
Alhamdulillah, sebab aku kebagian buku yang pada cetakan ke-87 ini masih belum direvisi dan terdapat kata pengatar dari penulis Tafsir Al-Azhar, Buya HAMKA.
“…Persamaan pandangan hidup terhadap agama, di dalam menegakkan Sunnah Rasulullah Saw. menyebabkan segala usaha teman-teman saya ini sangat mendapat penghargaan saya. Terutama buku Al-Fiqhul Islami karangan Sulaiman Rasjid ini, telah saya baca. Demikian asyiknya, sehingga kadang-kadang ada yang saya kritik, tetapi sekali-kali bukan isinya. Cuma bahasanya….”
Aih, mungkinkah kita merevisi isi buku fiqih ini, sementara Buya HAMKA yang ahli tafsir saja tidak memberikan kritik, apalagi merevisi isinya? Wallahu a'lam bishshawab.
ﺍﻟﻠﻬُﻢَّ ﺃَﺭِﻧَﺎ ﺍﻟﺤَﻖَّ ﺣَﻘّﺎً ﻭَﺍﺭْﺯُﻗْﻨَﺎ ﺍﻟﺘِﺒَﺎﻋَﺔَ ﻭَﺃَﺭِﻧَﺎ ﺍﻟﺒَﺎﻃِﻞَ ﺑَﺎﻃِﻼً
ﻭَﺍﺭْﺯُﻗْﻨَﺎ ﺍﺟْﺘِﻨَﺎﺑَﻪُ، ﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻚَ ﻳَﺎ ﺃَﺭْﺣَﻢَ ﺍﻟﺮَّﺍﺣِﻤِﻴﻦَ
"Ya Allah Tunjukilah kami kebenaran dan berikan kami jalan untuk mengikutinya, dan tunjukanlah kami kebatilan dan berikan kami jalan untuk menjauhinya. Dengan rahmat-Mu Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang" []
di kisahkan oleh Amin Syahputra dalam postingan facebooknya.
Gebang, 05 Juli 2020
* Rasjid, Sulaiman. 2019. Fiqih Islam (Cetakan ke-87). Sinar Baru Algesindo: Bandung
COMMENTS