Diskusi Luhut bukan untuk mencari menang atau kalah
Oleh : Ahmad Khozinudin | Aktivis, Anggota Hizbut Tahrir
Kontroversi tantangan debat Ekonomi khususnya tentang Utang Negara yang diunggah Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan menemukan babak baru. Yakni, babak dimana penantang selain menyanggupi tantangan juga mengajukan syarat debat.
Meskipun jubir Menko Marves telah meralat tantangan debat, melainkan hanya ajakan diskusi, adalah Ekonom Rizal Ramli ternyata juga turut menyanggupi tantangan Luhut dengan syarat ada komitmen reward dan punisment. Jika Rizal kalah, dia siap berhenti mengkritik pemerintah. Namun jika Rizal menang, tim Ekonomi pemerintah, termasuk Luhut Binsar Pandjaitan dan Sri Mulyani, wajib mundur. Begitu syaratnya.
Saya sendiri, terlibat dalam tantangan Diskusi Luhut bukan untuk mencari menang atau kalah. Saya juga tidak akan berhenti mengkritik Kekuasaan, meskipun itu Kekuasaan Islam (Khilafah), karena kritik adalah bagian dari dakwah, muhasabah lil hukam, yang hukumnya wajib, baik terhadap penguasa sekuler maupun terhadap khalifah.
Bahkan, jika khalifah menyimpang, dan penyimpangannya sampai pada menerapkan hukum kufur, yang hal itu dapat saya buktikan dengan bukti yang nyata bahwa khalifah telah menampakkan kekufuran yang nyata, baik dihadapan Qadli Madzalim di dunia maupun dihadapan Mahkamah Akhirat yang diadili langsung oleh Allah SWT, SAYA AKAN MELURUSKANNYA DENGAN PEDANG.
Jadi, debat yang saya ajukan dan tantang balik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan, tidak akan pernah berkonsekuensi pada penghentian kritik, atau aktivitas dakwah yang saya lakoni. Karena dakwah tidak pernah gugur karena kebaikan Penguasa, juga tidak ada udzur karena kezaliman Penguasa.
Kritik bisa dalam rangka meluruskan sesuatu yang keliru, atau menyampaikan jalan lain yang lebih benar ketimbang jalan yang selama ini telah ditempuh.
Adapun konteks debat yang saya ajukan kepada Luhut Binsar Pandjaitan, bisa dalam dua konteks :
Pertama, debat dalam perspektif ideologi, dalam hal ini saya ingin mengkriktik kebijakan rezim Jokowi yang menumpuk utang berdasarkan pandangan ideologi (ad Dien) Islam.
Kedua, kritik dalam aspek teknis dimana kritik ingin membongkar dua kesalahan pengelolaan utang pemerintah :
Pertama, dari sisi sumber utang, dimana imbal hasil yang ditawarkan pemerintah terlalu besar sehingga membebani APBN untuk membayarnya. Sumber pinjaman yang menyebabkan negara tergadai kedaulatannya. Konsekuensi utang, dimana syarat dan ketentuan utang justru melampangkan penjajahan atas bangsa Indonesia.
Kedua, dari sisi alokasi anggaran APBN yang diantaranya bersumber dari utang, khusunya di musim Pandemi, dimana pemerintah tidak menggunakan pendekatan efektivitas dan efisiensi anggaran, sehingga dapat memperkecil pengeluaran negara, sehingga mampu menekan defisit APBN.
Terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020 melebar ke level 6,34% atau setara Rp 1.039,2 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB).
Angka defisit yang paling baru ini akan dimasukkan dalam revisi Perpres Nomor 54 Tahun 2020. Di mana awalnya defisit anggaran dipasang pemerintah sebesar 5,07% atau setara 852,9 triliun terhadap PDB.
Target penerimaan Negara berkurang menjadi Rp 1.699,1 triliun dari yang sebelumnya Rp 1.760,9 triliun. Sedangkan belanja negara naik menjadi Rp 2.738, 4 triliun dari yang sebelumnya Rp 2.613,8 triliun.
Ini adalah APBN yang tidak mengunakan prinsip efektivitas dan efisiensi. Ditengah patokan pendapat APBN menurun, pengeluaran APBN justru naik. Semestinya, jika tidak dapat meningkatkan pendapatan atau minimal mempertahankan pendapatan, Pemerintah tak boleh boros dengan menambah pengeluaran Negara.
Terbukti, Pemerintah menambah anggaran untuk penanganan virus corona atau Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Penambahan anggaran itu mencapai Rp 35,5 triliun menjadi Rp 677,2 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 641,7 triliun. (Ini jauh membengkak dari alokasi awal yang hanya Rp 405,1 Triliun).
Padahal, mayoritas alokasi bukan ada sektor kesehatan akibat Covid-19. Namun, justru lebih banyak di injeksi pada program pemulihan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan, yang benefitnya hanya dinikmati golongan tertentu.
Ketiga, bagaimana meningkatkan pendapatan sebagai solusi tuntas untuk mengindari utang. Ini juga dalam dua persepektif,
Pertama, persepektif teknis yakni dengan cara meningkatkan pendapatan baik melalui pajak atau non Pajak. Pendapatan yang paling utama bisa digenjot sebenarnya dari sektor minerba.
Sayangnya, Pemerintah justru mengesahkan perubahan UU minerba, sehingga sejumlah sektor tambang yang semestinya kontraknya habis dan demi hukum dikelola Negara melalui BUMN dan penghasilan tambang bisa menjadi pemasukan negara yang besar, justru dibiarkan terus dikelola swasta, domestik maupun asing, bahkan bisa diperpanjang hingga 20 tahun kedepan.
Kedua, dalam perspektif Islam saya ingin menjelaskan bahwa sumber utama penerima Negara bukan dari pajak, bahkan Islam mengharamkan pemungutan pajak.
Sumber harta yang dikelola Negara adalah dari harta yang terkategori Milkiyatul Ammah (milik Umum) seperti aneka tambang yang depositnya melimpah, harta zakat (pos tertentu), Ghanimah, Usyur, Fa'i, Jizyah, dll.
Jika penjelasan saya tidak diterima, atau ditolak, bukan berarti saya kalah. Dan apapun hasil diskusi, baik Luhut Binsar Pandjaitan menyetujui pemikiran yang saya ajukan atau menolaknya, saya tidak akan berhenti mengkriktik, tidak akan berhenti berdakwah. Bahkan, hingga khilafah telah ditegakkan di muka bumi ini, saya akan tetap mengkriktik kekuasaan yang menyimpang. [].
COMMENTS