Ruslan Buton, Syamhudi Suyuti, Ali Baharsyah, dan ada 3 tahanan lainnya di Rutan Bareskrim
Oleh : Ahmad Khozinudin | Advokat | Aktivis Hizbut Tahrir
Pada tanggal 30 Mei 2020, akun Facebook Jigo (Nelly Ringgo), istri dari Aktivis Yudi Syamhudi Suyuti mengunggah status Ruslan Buton ditahan di Rutan Bareskrim, bersama dengan Suaminya, Yudi Syamhudi Suyuti Suyuti dan Mas Ali Baharsyah (youtuber), dan ada 3 (tiga) orang lainnya yang kasusnya sama, masalah politik, karena mengkritisi rezim.
Saya pertama kali bertemu Yudi Syamhudi Suyuti, sekira 2 atau 3 tahun yang lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, saat saya mendampingi Rini Sulistiawati, seorang aktivis emak-emak yang dikriminalisasi rezim karena mengunggah kritik terhadap MK yang menolak Yudisial Review atas permohonan tafsir zina, agar meliputi kaum L9BT.
Yudi, dengan ramah mendekati saya, mengajak ngobrol dan saling bertukar informasi. Dia mengaku, sedang mendampingi istrinya yang sedang berhadapan dengan hukum, karena dituduh mencemarkan nama baik akibat kritikan yang diunggah istrinya.
Saat itu, istri Yudi tidak ditahan karena pasalnya memang tidak memenuhi syarat untuk dilakukan Penahanan. Yudi sendiri (juga istrinya), termasuk yang paling aktif mengkritik kebijakan Rezim.
Terakhir, Yudi ditahan di Bareskrim, juga atas sebab yang sama. Karena kritik yang kemudian oleh rezim ditafsirkan menjadi pelanggaran hukum.
Menarik info yang diunggah istri Yudi, yang menyebut Ruslan Buton, Yudi, Ali Baharsyah, dan ada 3 tahanan lainnya di Rutan Bareskrim. Paling tidak, kita dapat ketahui model kriminalisasi terhadap aktivis ini bukan kebijakan insidental, tetapi patut diduga kebijakan yang disusun secara sistematis dan terencana.
Ruslan Buton sendiri saat penjemputan begitu istimewa, selain dijemput oleh beberapa perwira, anggota densus, beredar pula video saat Ruslan Buton di bandara, telah ditunggu Pesawat Khusus dari Polri. Artinya, Polri mengalokasikan pesawat khusus untuk menerbangkan Ruslan ke Jakarta, bukan menumpang pesawat umum.
Ruslan sendiri dijerat pasal berlapis, diduga karena unggahan surat terbukanya yang meminta Presiden Jokowi mundur dari jabatannya. Surat terbuka yang dibacakan dengan gaya pidato dengan intonasi yang memukau ini, viral ke seantero negeri.
Ruslan dijerat pasal 207 KUHP, pasal 14 ayat (1) dan (2), pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan ancaman 10 tahun penjara.
Pasal yang dikenakan kepada Ruslan Buton ini adalah pasal karet, pasal yang juga diterapkan pada Ali Baharsyah. Bahkan, Ali Baharsyah selain dikenakan pasal 207 KUHP, pasal 14 ayat (1) dan (2), pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, juga dijerat pasal 45A ayat (2) Jo. Pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 Tentang Perubahan UU No 11 tahun 2008 tentang ITE dan/atau pasal 16 Jo pasal 4 huruf b angka 1 UU No 40 tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau pasal 14 ayat (2) dan/atau pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan hukum Pidana dan/atau pasal 207 KUHP dan/atau pasal 107 KUHP.
Ali Baharsyah ditangkap hanya karena mengunggah video seruan kepada mahasiswa sumatera untuk menegakkan Khilafah. Ali juga ditangkap karena mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi, terkait penanganan pandemi Covid-19.
Tetapi ada yang menarik terhadap apa yang terjadi pada Ruslan Buton. Meskipun dituding menyebar Hoax dan ditahan berdasarkan pasal menebar hoax, dukungan publik kepada Ruslan justru begitu massif. Boleh jadi, dukungan muncul karena publik merasa tindakan Ruslan yang menyampaikan aspirasi meminta Presiden Jokowi mengundurkan diri, mewakili aspirasi yang menggelayuti benak publik.
Sejumlah tagar pembelaan dan dukungan kepada Ruslan muncul dan menjadi tranding Topic. Sejumlah tokoh menyampaikan kritik atas penangkapan Ruslan. Muncul berbagai tulisan dan Video yang memberikan dukungan dan pembelaan. Bahkan, banyak beredar video seruan tokoh yang beredar viral, meminta agar Ruslan Buton dibebaskan.
Tindakan penangkapan terhadap Ruslan Buton disimpulkan Publik sebagai kriminalisasi dan represifme rezim. Sementara, keberanian Ruslan Buton menyuarakan aspirasi agar Presiden mundur, dielu-elukan, Ruslan dijadikan simbol perlawanan, Ruslan Buton dijadikan Pahlawan.
Sampai disini, nampaknya target kriminalisasi agar aktivis yang ditangkapi dibenci dan dialienasi publik, agar rakyat secara umum ketakutan dan mengambil sikap diam, sepertinya gagal total. Ruslan justru muncul sebagai sosok pahlawan, sementara rakyat semakin kehilangan urat takut bahkan justru memendam kemarahan kolektif.
Ali Baharsyah yang diframing kolektor video porno juga semakin digandrungi aktivis muda, para mahasiswa. Tudingan itu tak mampu merusak reputasi Ali Baharsyah, bahkan Ali muncul sebagai sosok "martir" baru dikalangan anak muda.
Tidak dipungkiri, ditengah masifnya kritik publik terhadap rezim, ditengah pembungkaman kebebasan berbicara (terakhir kasus teror diskusi di UGM), ditengah kegagalan rezim mengatasi Pandemi, kegagalan mengelola ekonomi, seluruh kriminalisasi dan represifme terhadap aktivis, tidak menjadikan aktivis dialienasi, dibenci rakyat, bahkan sebaliknya menjadikan sosok aktivis yang dikriminalisasi rezim muncul dan hadir sebagai pahlawan.
Karena itu, sudah sepatutnya Rezim mengevaluasi pendekatan kriminalisasi terhadap aktivis ini, jika tujuannya untuk membungkam hak berbicara rakyat. Sebab, kriminalisasi dan pembungkaman bukan membuat rakyat tutup mulut, sebaliknya justru berteriak makin lantang.
Rezim semestinya mendengar keluhan dan kritik aktivis. Sebab, kritik adalah bentuk kecintaan warga negara pada negeri ini. Kritik adalah bentuk perhatian, bukan kebencian. [].
COMMENTS