Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. |
A. Pengantar
Sebagaimana diberitakan oleh DetikNews, 15 Juni 2020, PDIP angkat bicara soal Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang kini ramai dibahas. PDIP menyatakan setuju Trisila dan Ekasila dihapus dan paham komunisme dilarang di RUU HIP. Demikian halnya penambahan ketentuan menimbang guna menegaskan larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, RADIKALISME serta bentuk KHILAFAHISME, juga setuju untuk ditambahkan. Demikian pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangan tertulis, Senin (15/6/2020)
Terkait dengan pernyataannya tentang khilafahisme dan radikalisme sebagai ideologi yang terlarang, Hasto Kristiyanto yang notabene beragama Katolik telah mencoba menohok umat Islam baik secara samar maupun terang-terangan mengingat keduanya bukan ideologi melainkan cara, sistem dari sebuah perjuangan yang bisa ada dalam ideologi apa pun dan agama apa pun, termasuk Katolik, Hindu sekalipun. Namun mengapa radikalisme selama ini cenderung menyerang Islam saja? Definisinya masih lentur dan 'obscure' akhirnya terjun bebas memukul dakwah Islam khususnya terkait dengan dakwah khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam.
Seperti yang kita ketahui, bahwa ISIS mengklaim sebagai Khilafah, padahal ISIS tidak memenuhi syarat disebut sebagai Khilafah yang sesuai metode kenabian. Banyak kejadian teror yang mengklaim pelaku adalah dari ISIS, hal ini juga membuktikan bahwa dakwah mereka tidak ahsan bil ma'ruf dan mengikuti tuntunan Nabi Saw. Namun sayangnya, tuduhan terorisme dan radikalisme dipukul rata kepada umat Islam, lebih-lebih umat Islam yang mendakwahkan Islam kaffah dan Khilafah.
Jadi jika ada peraturan hukum yang melarang radikalisme bisa menjadi alat pukul dakwah Islam yang bisa mengenai siapa saja, karena definisi radikalisme masih tidak jelas. Sebaiknya jangan terlalu dini menggagas UU anti radikalisme, karena memungkinkan akan merugikan umat Islam dan ajaran Islam yang selama ini mendapatkan tudingan radikalisme.
B. Jenis Kelamin Radikalisme
Lagi-lagi masalah radikalisme kembali menjadi sorotan tajam berbagai pihak, termasuk para punggawa pemerintah yang memang sejak kabinet Jokowi Periode 2 ini memiliki core program tentang war on radikalisme. Di beberapa kesempatan saya telah menyampaikan bahwa radikalisme ini lebih condong pada isu politik dibandingkan isu hukum. Oleh karena cenderung pada isu politik maka unsur kepentingan politik sehingga nomenklatur itu tetap obscure dan lentur meskipun kita sudah punya PP 77 Tahun 2019 yang bicara tentang deradikalisasi dan kontra deradikalisasi.
Persoalannya makin tidak menentu ketika rincian tentang apa saja yang termasuk perbuatan atau sikap atau "faham" yang termasuk terpapar radikalisme tidak juga ditentukan secara pasti. Ide khilafah termasuk dikelompokkan oleh pemerintah sebagai "faham" radikalisme yang harus diperangi. Padahal kita ketahui bahwa khilafah sebagai siyasah Islam itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari materi fikih. Ironi dan merupakan sebuah keprihatinan bagi umat muslim apalagi para pengusungnya yang meyakini bahwa khilafah adalah idenya Alloh. Jika itu idenya Alloh, bagaimana mungkin berpotensi memiliki daya rusak dan merusak. Tampaknya, diskursus tentang khilafah dan "daya rusaknya" perlu dilakukan secara open mind di negara demokrasi ini.
Pada akhir 2019 di Jakarta saya mengatakan: “Prediksi saya, dengan pengalaman tahun 2018-2019 itu, kayaknya kok 2020 itu masih suram,”. Di bidang politik, rezim akan tetap mengangkat isu radikalisme. “Serangannya akan semakin gencar!”. Hal itu saya tegaskan di hadapan sekitar 200 peserta diskusi akhir tahun yang memenuhi ruangan. Isu radikalisme ini akan terus ‘digoreng’ karena ketentuan tentang radikalisme itu hingga kini belum jelas. Sehingga isu ini bisa disebut obscure (kabur) dan lentur.
Secara tegas saya katakan; “Jadi saya katakan tadi obscure dan juga lentur akhirnya nanti akan dipakai secara legal dan konstitusional untuk menggiring bahkan sampai menggebuk orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah,” tegasnya. Saya katakan bahwa ASN dan juga ‘kampus’ dapat menjadi sasaran tembak isu radikalisme yang lebih empuk. Saya berkata begitu, bukan hanya karena saya korban persekusi rezim tetapi juga sesuai dengan pernyataan Peneliti Institut Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV), Ward Berenschot.
Berenschot mempertanyakan definisi radikalisme yang digunakan oleh pemerintah (Indonesia, red) karena definisi radikalisme yang digunakan pemerintah itu identik dengan orang-orang yang berseberangan atau berbeda pendapat dengan pemerintah atau kepentingan pemerintah. Kemudian dilabeli dengan apa? Anti Pancasila. Karena itu, ketika orang itu dikatakan anti Pancasila, ini sudah sulit sekali untuk berkelit. “Karena prinsipnya ‘Aku Pancasila’ jadi siapa saja yang menentang ‘Aku’, maka dia itu melawan atau anti Pancasila,”
C. Kriminalisasi Radikalisme, urgenkah?
Kembali pada persolaan utama artikel ini, apakah urgen memformulasikan delik radikalisme? Untuk ini saya mencoba juga mengajukan formula apabila ada upaya pemerintah mengajukan Radikalisme sebagai larangan atau tindak pidana. Hingga saat ini belum ditemukan secara khusus delik yang mengatur tentang dilarangnya radikalisme dengan segala seluk beluknya. Bahkan, penyematan radikal dan radikalisme lebih bertendensi politik dibandingkan dengan narasi dan formulasi hukumnya, sementara negara kita adalah negara RULE OF LAW (negara hukum) sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945.
Bila memang RADIKALISME sebagai paham yang harus dikriminalisasikan, saran saya, Negara (Pemerintah dan DPR) segera merumuskan DELIK RADIKALISME. Saya mengajukan resep yang terdiri dari 9 ramuan sebagai rambu-rambu kriminalisasi radikalisme sebagai berikut.
1. Naskah akademisnya harus komprehensif (filosofis, yuridis dan sosiologis terpenuhi). Kajian ini menjadi sangat urgen mengingat masih terdapat pro dan kontra persepsi kita tentang apa itu radikal dan radikalisme. Kajian oleh insan kampus yg netral, lembaga survey yg kredibel serta legislasi yang berintegritas diperlukan. Mereka harus benar-benar memasang telinga, mata dan hati mereka di tengah masyarakatnya
2. Formulasi Radikalisme harus jelas dan mudah dipahami.
Merumuskan delik radikalisme harus hati-hati dan memenuhi kaidah tata bahasa Indonesia dan bahasa hukum agar terang dan mudah untuk pahami baik oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya.
3. Unsur-unsur rumusan pasal radikalisme harus tegas dan rinci.
Rumusan yang kabur akan cenderung dimanfaatkan bahkan dimanipulasi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab sebagai alat penggebuk lawan politiknya. Unsur-unsur pasal harus rigid, apakah sifat unsur-unsurnya fakultatif ataukah kumulatif.
4.Jenis paham radikalisme harus jelas disebutkan, tidak boleh wayuh arti, ambigu.
Untuk menghindari penyalahgunaan pasal delik harus disebutkan isme mana yang dilarang dan alasannya apa dilarang. Yang secara tegas dilarang di Indonesia adalah: ateisme, komunisme, marxisme--leninisme. Harus dihindari penyebutan: "...dan paham lain yang bermaksud...dst..." Rumusan ini akan menimbulkan penafsiran SSK (Suka Suka Kami).
5. Harus dihindari penggunaan analogi dalam menetapkan kejahatan radikalisme. Sebagaimana prinsip yg dipegang dalam hukum pidana, maka penalaran hukum dalam rangka penemuan hukum dengan cara analogi harus dihindarkan. Berbahaya karena berpotensi penyalahgunaan wewenang bahkan mendorong perbuatan pejabat yang sewenang-wenang dan represif.
6. Sanksinya harus jelas dan tegas, sehingga aparat hukum dan masyarakat mengenali betul ancaman yang akan diberikan ketika tindak pidana ini dilakukan. Unsur penjeraan serta pembinaan terhadap pelaku dapat dilakukan seiring.
7. SOP penanganan kasus harus jelas, dan tidak perlu menetapkannya sebagai extra ordinary crime karena akan mendorong aparat penegak hukum bertindak represif dan di luar kewajaran dari KUHAP.
8. Khusus untuk dunia kampus harus ada pengecualian karena bila insan kampus tidak boleh berpikir radikal amelioratif (benar), maka ilmu pengetahuan akan mandeg dan kampus hanya menjadi tempat pelatihan kerja seperti BLK (Balai Latihan Kerja), tetapi sebagai media meruhanikan ilmu pengetahuan.
9. Sebagai negara demokrasi, perbedaan pendapat dalam ideologi tetap harus dijamin, bila tidak negara ini akan terjatuh menjadi negara diktatur otoritarian, bahkan menjadi negara KOMUNIS baru.
Jika 9 formula yang seharusnya dipenuhi dalam merumuskan delik radikalisme, sangat dikhawatirkan akan terjadi kriminalisasi terhadap orang atau kelompok orang yang secara asali memang memiliki karakter radikal dalam arti memperjuangkan ideologi dan ajarannya. Larangan itu akan menyasar masjid, kampus dan pesantren yang selama ini dinyatakan oleh rezim sebagai tempat-tempat yang terpapar radikalisme dalam versi rezim penguasa.
D. Penutup
Melalui pernyataan Presiden dan para punggawa tinggi negeri ini yang bertekad memerangi radikalisme dapat kita tarik kesimpulan bahwa radikalisme yang jenis kelamin nomenklaturnya belum jelas ini seolah telah ditetapkan sebagai common enemy layaknya tindak pidana terorisme. Benarkah demikian?
Saya berharap banyaknya ahli hukum di negeri ini dapat memberikan andil dalam pembentukan dan penegakan hukum yang baik dan berintegritas sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Tunjukkan kepada dunia bahwa banyaknya ahli hukum itu linier dengan peningkatan kualitas penegakan hukum kita yang baik bukan sebaliknya menjadi sekolah-sekolah hukum yang gagal (Failing Law Schools: Brian Z. Tamanaha). Tunjukkan bahwa kita juga konsisten dengan kelima nilai-nilai dasar itu dan bukan hanya LAMIS (lips service).
Tabik...!!!
Semarang, 24 Juni 2020
Penulis : Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
adalah seorang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Ia dikenal sebagai pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila. Suteki dikukuhkan sebagai Guru Besar Undip pada 4 Agustus 2010. Ia adalah Guru Besar ke-13 di Fakultas Hukum dan Guru Besar ke-86 di lingkungan UNDIP. Wikipedia
COMMENTS