Psbb mahfud md
/ Penulis : Ummu Nuha /
PSBB adalah salah satu upaya pemerintah dalam memutus rantai penyebaran COVID-19. Aturan PSBB tercantum dalam Permenkes nomor 9 tahun 2020. Permenkes merupakan turunan PP atau Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2020. Ada enam kegiatan inti dalam aturan PSBB ini, yaitu peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan ditempat atau fasiitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan (detik.com 20/4/2020).
Beberapa wilayah sudah mengajukan dan menerapkan PSBB. DKI Jakata yang mengawali penerapannya, setelah disetujui dengan ketetapan oleh Menkes pada 7 April lalu. Menyusul beberapa wilayah di Jabar, Sumbar, Kalsel, Kaltara, terakhir Jatim (Liputan6.co 20/4/2020).
Saat beberapa wilayah sedang bersemangat memberlakukan peraturan ini, Menteri Polhukam Mahfud MD, justru mewacanakan melakukan relaksasi (pelonggaran) PSBB. Selain alasan untuk mengantisipasi stresnya masyarakat, ia menyebutkan pelonggaran PSBB untuk kepentingan roda ekonomi agar tetap berjalan (pojoksatu.id 6/5/2020).
Kontan saja wacana ini dikritik oleh beberapa pihak, lantaran dianggap minim kajian. Menampakkan inkonsistensi dan gagapnya pemerintah dalam kebijakan penanganan corona. Miftahul Adib, analis politik dan kebijakan publik Universitas Islam Syech Yusuf mengingatkan, pandemik ini bukan hanya krisis kesehatan. Tetapi imbasnya ke masalah sosial, ekonomi hingga keamanan. Maka, lanjutnya sangat wajar jika kemudian publik khawatir menanggapi relaksasi PSBB, karena justru akan membuat pemerintah kewalahan untuk menangani COVID-19.
Anggota Dewan dari PKS juga bersuara nyaring terhadap wacana ini. “Kami mempunyai kekhawatiran ada segelintir pebisnis tertentu yang resah dengan jatuhnya bidang usahanya. Dan mengakibatkan mereka di jurang kebangkrutan dan mendesak pemeritah untuk melonggarkan PSBB,” kata Syahrul lewat keterangan tertulis, Ahad, 3 Mei 2020 (Tempo.co).
Wacana relaksasi semakin menunjukkan untuk kepentingan siapa, setelah selang beberapa hari wacana pelonggaran PSBB, tepatnya kamis 7 Mei 2020 Budi Karya Sumadi (Menhub), mengizinkan semua moda transportasi beroperasi kembali. Kita mungkin belum lupa, bahwa ada 10 sektor bisnis yang paling babak belur terkena imbas COVID-19, diantaranya mall dan ritel, bioskop dan konser, hotel dan pariwisata, juga penerbangan. Ketika PSBB diberlakukan otomatis sektor di atas mati suri. Karena masyarakat memilih membatasi aktivitas ke luar rumah, ke luar daerah, bahkan ke luar negeri. Dengan diizinkannya beroperasinya kembali trasportasi umum, meski tetap ada larangan mudik, seolah senafas dengan pelonggaran PSBB. Kebebijakan tersebut dinilai bisa mengakibatkan pemerataan penularan virus corona, membuyarkan harapan memutus rantai penyebaran dengan penerapan PSBB.
Sejak awal PSBB memang kebijakan yang setengah hati. Saat diterapkan, di lapangan justru menimbulkan polemik baru. Masyarakat semakin sulit memenuhi kebutuhan ekonomi. Di sisi lain bantuan yang diharapkan dari pemerintah sebagai penyambung hidup, belum sepenuhnya bisa dirasakan masyarakat luas. Karena selain terbatasnya penerima bantuan juga birokrasi yang berbelit.
Tarik ulur antara kepentingan penanganan kesehatan dan ekonomi, mewarnai setiap kebijakan dalam penanganan wabah covid-19. Pelonggaran PSBB justru menjadi tanda tanya besar keseriusan pemerintah menangani pandemi ini. Karena jelas sekali bahwa yang mestinya menjadi fokus pertama dan utama adalah kesehatan.
Apabila benar alasan dibalik pelonggaran PSBB ini, lebih memprioritaskan untuk kepentingan bisnis, maka pemerintah sudah melanggar asas keadilan dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam UU ini, keselamatan masyarakat adalah menjadi prioritas paling utama. Saat dilakukan penerapan PSBB saja, ternyata angka penularan corona masih saja terus terjadi dan pasien terjangkit juga bertambah. Kemudian logika mana yang dipakai dengan melonggarkannya?
Begitulah kebijakan ala kapitalistik, untung rugi jadi pertimbangan, meski menyangkut nyawa. Bahkan bisa mengubah kebijakan yang dibuat sendiri demi kepentingan komersil. Kapitalisme menjadikan pengusaha sekaligus jadi “penguasa”.
Berbeda dengan sistem Islam. Ketika saat terjadi wabah, dimana kesehatan dan penyelamatan nyawa manusia menjadi fokus utama. Tentunya tanpa mengabaikan aspek lain yang tidak kalah penting, demi mendukung keberhasilan pencegahan penyebarannya. Yaitu menjamin kebutuhan pokok rakyat. Secara konsep, Islam telah memberikan metode pencegahan dan penanggulangan wabah yaitu mengharuskan pembatasan wabah di daerah asalnya (karantina).
Ditegaskan Rasulullah ﷺ yang artinya: “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu berada ditempat itu, maka janganlah kamu keluar darinya.”(HR.Imam Muslim). Yang istilahnya hari ini Lockdown, PSBB (skala daerah), meski itu secara istilah mirip, tapi secara pelaksanaan, masih jauh dari ideal.
Ketika konsep karantina sudah diambil selanjutnya adalah bagaimana kemudian kebijakan ekonomi yang merupakan bagian integral dari kebijakan politik. Dalam Islam, dipastikan betul suplai kebutuhan vital bagi wilayah yg diisolasi. Mulai dari makanan, minuman, alat kesehatan pribadi, bahan untuk memperkuat imunitas tubuh, layanan kesehatan,termasuk layanan pengurusan jenazah. Sehingga masyarakat di daerah isolasi tidak memaksakan diri bahkan melanggar protokol karantina, agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam situasi yang extra ordinary (luar biasa) seperti saat ini, kebijakan yang diambil sudah bukan dalam tataran ujicoba, bongkar pasang, apalagi masih menimbang untung rugi. Karena ini menyangkut nyawa rakyat banyak. Sistem Islam sudah sangat jelas memberikan solusi dan para pemimpin Islam sebelumnya sudah mempraktekkan dan memberi contoh dalam penanganan wabah secara simultan. Sehingga rakyat punya pelindung dan peri’ayah (pengurus) terlebih dimasa-masa adanya ujian wabah. Seorang pemimpin harus sadar bahwa rakyat adalah amanah yang kelak pemimpinnya akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Sang Pencipa, Allah Subhanahu Wata’ala. “Imam adalah pengurus dan bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad).
COMMENTS