Khilafah ala minhajinnubuwah
Oleh : Ahmad Khozinudin | Aktivis, Anggota Hizbut Tahrir
Ada dua kelompok yang sama-sama kecewa dan dikecewakan. Pertama, kelompok yang memilih Jokowi dan kedua, kelompok yang memilih Prabowo.
Yang memilih Jokowi, akhirnya kecewa dan dikecewakan. Karena ternyata janji politik Jokowi tak ditunaikan.
Yang memilih Prabowo kecewa dan dikecewakan, karena setelah Pilpres berakhir ternyata berada sekubu bersama Rezim Jokowi dan Prabowo meninggalkan rakyat. Padahal, saat kampanye berjanji akan timbul dan tenggelam bersama Rakyat.
Ada juga dua kelompok yang sangat kecewa dan dikecewakan. Yakni, orang yang telah memilih bahkan berkorban banyak untuk Jokowi, dan orang yang telah memilih bahkan berkorban banyak untuk Prabowo.
Orang-orang ini, terlalu berharap banyak pada Jokowi dan Prabowo, rela berjuang bahkan berkorban untuk keduanya, baik waktu, tenaga, pikiran, di penjara bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa dan anggota keluarga.
Akhirnya, mereka sangat kecewa, karena keduanya baik Jokowi maupun Prabowo, ternyata tidak menepati apa yang mereka janjikan. Tidak berada pada posisi dan garis penderitaan yang mereka alami.
Sementara orang-orang yang berjuang hanya untuk Islam, berjuang untuk Khilafah, tidak memilih Prabowo maupun Jokowi, hatinya tentram dan tak pernah merasa dikecewakan. Mereka hanya berjuang dan berkorban untuk Islam, bukan untuk sosok atau tokoh tertentu.
Mereka, tidak berjuang untuk caleg, Cakada atau Capres. Mereka, berjuang, berdakwah, hanya demi izzul Islam wal muslimin. Mereka inilah orang-orang yang beruntung.
Mereka tidak larut dalam lumpur demokrasi, bahkan mengkritik keras rusaknya demokrasi yang meletakkan kedaulatan hukum ditangan rakyat, bukan di tangan Syara'.
Ada satu pertanyaan tersisa, bagaimana jika seluruh umat Islam meninggalkan demokrasi ? Bagaimana jika seluruh umat Islam fokus berdakwah, menegakan khilafah, dan tidak ikut hirup pikuk Pemilu, Pilpres atau Pilkada demokrasi ?
Pertama, yang jelas umat Islam akan berlepas dari dosa yang dihasilkan dari sistem demokrasi karena tidak ikut melegitimasi. Dengan tidak ikut memilih, tetap konsisten berdakwah, mengoreksi penguasa, umat Islam tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihan kepemimpinan yang melanggengkan sistem demokrasi sekuler.
Kedua, sistem demokrasi akan cepat roboh. Sistem apapun tanpa ditopang rakyat, tanpa didukung rakyat, tanpa legitimasi rakyat pasti akan roboh.
Tindakan umat Islam, yang tidak larut dalam kubangan lumpur demokrasi, menyebabkan demokrasi kehilangan penopang, dan perkara kejatuhannya tinggal menunggu waktu saja.
Ketiga, dengan meninggalkan demokrasi umat Islam bisa lebih berkonsentrasi untuk mengintensifkan dakwah Islam, dakwah memperjuangkan Khilafah, sebab khilafah hanya tegak dengan dakwah bukan dengan demokrasi.
Rasulullah SAW dahulu berhasil menegakan Daulah Islam di Madinah dengan jalan dakwah. Khilafah ala Minhajin Nubuwah juga hanya akan tegak dengan dakwah pula, bukan dengan demokrasi.
Dan jika semua kaum muslimin melakukan hal yang sama, yakni bersama-sama meninggalkan demokrasi, maka potensi tegaknya khilafah bisa wujud dari wilayah manapun termasuk bermula dari negeri ini.
Jika khilafah tegak di negeri ini, tentu saja rezim dan sistemnya pasti berganti. Sistemnya berganti dari demokrasi sekuler menjadi khilafah.
Sementara rezim pemimpinnya jelas berasal dari kalangan orang-orang yang beriman, sholeh, paham Syariah Islam (alim), taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya.
Jika khilafah tegak di negeri ini, maka umat Islam tak perlu lagi khawatir Ahok akan menjadi pemimpin, baik menjadi presiden maupun gubernur atau jabatan lainnya.
Sebab, dalam sistem Khilafah jabatan Kekuasaan baik Khalifah, Muawin Tafwidz, Wali (Gubernur), Amil (Bupati/Walikota), hanya boleh dijabat oleh orang yang beragama Islam, laki-laki, Berakal, Baligh, Adil, Merdeka, dan memiliki kemampuan mengemban amanah Kekuasaan untuk menjalankan hukum Allah SWT. [].
COMMENTS