Prank Jokowi
Pada Selasa, 12 Mei 2020, Pranksiden eh Presiden membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Tentu saja itu membuat para peserta BPJS girang. Tapi, esoknya, Jokowi menaikkan kembali iuran BPJS. Wokwooow...
Seperti diberitakan _CNNIndonesia.com,_ Rabu (13/5), peserta BPJS Kesehatan Maria Ulfa (30 tahun) merasa jadi korban bercanda alias 'prank' dan Pemberi Harapan Palsu (PHP) dari Presiden Joko Widodo. Sebab, kenaikan tarif kepesertaan yang semula dibatalkan Mahkamah Agung (MA) justru malah dinaikkan Jokowi lagi pada Juli 2020 untuk Mandiri kelas I dan II serta awal 2021 untuk Mandiri kelas III.
“Awal tahun sudah cukup _shock_ naik dua kali lipat, terus dapat kabar turun, baru banget sebentar _rasain_ turun, eh naik lagi. Berasa lagi di-_prank_ seperti yang lagi heboh-heboh sekarang ini,” cerita Maria.
Padahal, sambungnya, ketika kenaikan tarif ditolak MA, tagihannya tidak langsung turun. Informasi yang ia ketahui, kelebihannya akan dialihkan ke bulan berikutnya. Namun ia tetap membayar sesuai nominal kenaikan pada April 2020.
Sedangkan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menyebutkan, keputusan tersebut berpotensi melanggar konstitusi. Menurut Feri, sebagai penyelenggara negara, seharusnya Jokowi patuh pada putusan MA.
Oleh karenanya, dengan menerbitkan perpres baru yang juga berisi kenaikan iuran BPJS, Jokowi dianggap menentang putusan peradilan. "Jika itu disengaja presiden bisa berbahaya karena itu dapat menjadi alasan sebagai pelanggaran konstitusi," ujar Feri seperti diberitakan _kompas.com,_ Rabu (13/5).
Komentar saya:
Ingat, esensi masalah kesehatan ini bukan dari _prank_ atau PHP yang dilakukan presiden. Bukan pula karena melanggar konstitusi. Karena meskipun pemerintah tidak nge-_prank,_ sehingga tidak dianggap melanggar konstitusi oleh pakar hukum tata negara, tetap saja perbuatan pemerintah ini salah besar karena jelas-jelas melanggar hukum Islam! Itu esensinya.
Karena dalam Islam dengan sistem pemerintahan khilafahnya, kesehatan itu wajib dijamin oleh negara. Biayanya bukan dari iuran warga negara. Lantas dari mana? Dari _milkiyah ammah_ (kepemilikan umum). Salah satunya dari hasil tambah mineral (seperti emas, perak, dll) dan batubara yang hasilnya melimpah.
Negara wajib mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Salah satunya dengan membangun fasilitas kesehatan, gaji tenaga kesehatan dan biaya operasional kesehatan. Sehingga rakyat berobat dengan kualitas prima dengan gratis.
Dalam negara Islam bersistem pemerintahan khilafah, haram hukumnya _milkiyah ammah_ tersebut dikelola swasta apalagi asing (Amerika, Cina, dll). Sehingga, tidak ada ceritanya, rakyat ditarik iuran untuk biaya kesehatan.
Tapi karena negeri mayoritas penduduk Muslim ini menerapkan sistem pemerintahan demokrasi, ya jadi begini deh… _maisyatan dhanka_ (penghidupannya jadi sempit).
Dalam demokrasi, _milkiyah ammah_ bisa diserahkan kepada swasta bahkan asing. Karena demokrasi melegalkan manusia membuat hukum. Ketika manusia yang mengaku sebagai wakil rakyat ini membuat hukum, sejatinya mereka membuat hukum bukan untuk menyejahterakan seluruh rakyat, tetapi sesuai dengan kepentingan para kapitalis yang telah membiayai kampanye antek-anteknya.
Salah satu inikasinya, bukannya menghapus UU Minerba yang membolehkan swasta dan asing menguasai mineral dan batubara, pada Selasa 12 Mei 2020, DPR malah mengesahkan revisi UU Minerba yang jelas-jelas semakin membuat swasta dan asing leluasa merampok mineral dan batubara milik seluruh rakyat tersebut!
Nah, karena praktik sistem kufur semacam ini berlangsung sejak lama, sejak lama pula _milkiyah ammah_ dikuasai swasta dan asing, sehingga negara tidak punya uang untuk mengurus rakyatnya termasuk di bidang kesehatan.
Maka dengan sistem demokrasi pula, rakyat disuruh membiayai kesehatannya sendiri dengan cara dipaksa mengikuti BPJS Kesehatan.
Justru dengan sistem BPJS Kesehatan yang berlaku sekarang, penarikan iuran kepada rakyat itu jatuhnya haram pula, karena diberi nama apa pun tetap saja hakikat sistem BPJS Kesehatan yang berlaku sekarang adalah hakikat sistem asuransi. Yang akadnya bathil (tidak sah menurut Islam) dan haram pula pemungutan iurannya.
Jadi, bila sekarang rezim bolak-balik menaikkan iuran BPJS Kesehatan, itu hanyalah masalah rantingnya ranting, karena kalau disebut masalah cabang terlalu besar. Masalah pokoknya ada pada jawaban-jawaban beberapa pertanyaan saya di bawah ini.
Apakah demokrasi itu bertentangan enggak dengan Pancasila? Bila bertentangan, mengapa Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi diam saja?
Bila tidak bertentangan dengan Pancasila, mengapa pula kita mempertahankan isme yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam? Apalagi orang yang paling otoritatif dalam pembinaan ideologi Pancasila tersebut, Yudian Wahyudi, mengatakan, “Agama (baca: Islam) musuh terbesar Pancasila.” Coooba itu!?
Bagi kaum Muslimin, cukup hanya Islam saja sebagai standar dalam perbuatan diri, kelompok, maupun dalam bernegara serta dalam menerapkan sistem kesehatan dan mengelola _milkiyah ammah._ Bukan yang lain. Karena Allah SWT dengan sangat halus mengecam:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah: 50).Depok, 21 Ramadhan 1441 H/ 14 Mei 2020 M
Jurnalis | Joko Prasetyo
_Info: Akun twitter saya @jokojurnalis dibajak orang sejak 14 atau 15 April 2020. Sejak beralih kendali secara paksa tersebut, saya tidak bertanggung jawab atas apa pun yang dilakukan akun tersebut. Dan sampai sekarang saya belum buat akun baru._
COMMENTS