[Catatan Hukum Bahaya Perppu Nomor 1 Tahun 2020] Oleh : Ahmad Khozinudin, SH | Ketua LBH Pelita Umat Filosofi kegentingan adalah mem...
[Catatan Hukum Bahaya Perppu Nomor 1 Tahun 2020]
Oleh : Ahmad Khozinudin, SH | Ketua LBH Pelita Umat
Filosofi kegentingan adalah memberikan keleluasaan kepada Presiden untuk membuat terobosan hukum ditingkat undang undang untuk mengatasi kekosongan hukum dan/atau keadaan hukum yang kurang memadai. Kegentingan tidak boleh dijadikan justifikasi sekaligus legitimasi bagi Presiden untuk mengangkangi hukum apalagi memberi stempel "halal" bagi perilaku korupsi.
Sayangnya, substansi filosofis Perppu Nomor 1 tahun 2020, maknanya justru meliputi keduanya. Yakni, selain mengatasi kekosongan hukum atau melengkapi kebutuhan hukum yang belum memadai, namun sekaligus melegitimasi perilaku Korupsi.
Dalam pasal 27 Perppu No. 1 tahun 2020, semua tindakan pejabat negara berbasis Covid-19 di klasifikasi sebagai biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Pasal ini sangat berbahaya, sebab sejumlah tindakan pejabat pusat sampai ditingkat Desa yang didalihkan untuk mengatasi musim pandemi Covid-19 tidak bisa diaudit keuangannya, dan tidak dapat dipidana setiap penyimpangannya.
Fasilitas ini bukan hanya diberikan kepada pejabat pusat, namun hingga ke pejabat daerah. Semua tindakan pejabat mendapat imunitas hukum dari Perppu no 1 tahun 2020.
Contohnya Realokasi dana desa yang dilakukan berdasarkan Permendes Nomor 6 tahun 2020 tentang perubahan Permendes Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2020.
Melalui Permendes ini, Pemerintah Pusat memaksa Pemerintah Desa untuk melakukan Realokasi Dana Desa yang peruntukannya hanya diarahkan pada program desa yang telah ditetapkan, kemudian dialihkan menjadi dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), untuk warga desa sebagai bantuan pemerintah atas dampak pandemi Covid-19.
Padahal, Putusan Mahkamah Agung RI. No.1340 K / Pid / 1992 tanggal 17 Februari 1992 (“Putusan MA”), Mahkamah Agung RI yang mengambil alih pengertian "menyalahgunakan kewenangan" yang ada pada Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menyalahgunakan wewenang adalah telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan istilah "Detournement de pouvoir".
Memang benar UU peradilan Tata Usaha Negara telah diubah, namun substansi menyalahgunakan wewenang yakni menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain, adalah bentuk menyalahgunakan wewenang tetap relevan.
Ditinjau dari tindakan, Realokasi Anggaran Desa untuk BLT Covid-19 berdasarkan Permendes nomor 6 tahun 2020, terkategori "Detournement de pouvoir".
Meskipun tindakan ini dilegalisasi melalui perintah Permendes agar
Pemerintah Desa melakukan Realokasi dana desa dengan menetapkan peraturan desa Tentang Perubahan APBDes.
Namun, bagaimana dengan eksekusi Kebijakan realokasi ini ? Bukankah tidak menutup adanya potensi "penyelewengan" anggaran desa saat pelaksanaannya ?
Penyelewengan atau korupsi ini bisa terjadi dengan cara distribusi BLT secara fiktif, distribusi BLT tak tepat sasaran, distribusi BLT hanya beredar di beberapa kalangan, distribusi BLT secara manipulatif (jumlah yang diterima tak sesuai dengan tanda terima yang diberikan, atau BLT disunat), dll.
Pihak-pihak yang berpotensi korupsi bukan hanya pihak Pemerintah Desa, tetapi juga organ pendamping dana desa, termasuk pasukan relawan dibawah asuhan Ormas Projo yang ketuanya mendapat posisi Wakil Mendes yang ikut menggerakkan relawannya mendampingi dana Desa.
Jika aparat desa bermoral bejat, atau bahkan pihak pendamping dana desa justru yang mengkonsolidasikan korupsi dana Desa, maka aparat penegak hukum tidak akan bisa menyidiknya.
Sebab, pasal 27 Perppu Nomor 1 tahun 2020, akan menjadi benteng paling kokoh bagi para koruptor dana desa untuk lepas dari tuntutan hukum berdalih pandemik Covid-19.
Ini baru ditingkat dana desa yang anggarannya mencapai 72 Triliun Rupiah. Bagaimana dengan alokasi dana yang lain ?
Bagaimana dengan anggaran sebesar Rp 110 triliun untuk jaring pengamanan sosial ? Rp 150 T untuk pemulihan ekonomi nasional ? Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR ? Atau Rp 75 Triliun di bidang kesehatan terkait Covid-19 ?
Penulis benar-benar tak sanggup membayangkan betapa besarnya rencana jahat dibalik musibah pandemik Covid-19 ini. Ada potensi korupsi besar-besaran, bisa melebihi kasus BLBI maupun Century, namun pada kasus Covid-19 ini korupsinya spesial, karena tak bisa dituntut secara hukum, karena telah dipagari dengan norma pasal 27 Perppu. [].
COMMENTS