Oleh: Iliyyun Novifana, Ibu Rumah Tangga Telah lebih dari sebulan wabah corona menyelimuti bumi pertiwi. Sampai detik ini ia masih berk...
Oleh: Iliyyun Novifana, Ibu Rumah Tangga
Telah lebih dari sebulan wabah corona menyelimuti bumi pertiwi. Sampai detik ini ia masih berkeliaran mencari orang-orang untuk menginfeksi. Korban positif semakin hari semakin bertambah. Terbukti yang terdata mencapai di angka ribuan, sedangkan yang tak terdata lebih dari ribuan. Tenaga medis pun tampak kian kewalahan bahkan perlahan diantara mereka mulai tumbang. Tak sedikit dari mereka yang harus meregang nyawa demi mengemban tugas yang mulia.
Dari sini sebagian masyarakat mulai waspada mengambil sikap. Diantara mereka menerapkan sosial distancing dan di rumah saja. Jika terpaksa harus keluar hanyalah untuk kepentingan mendesak. Tak lupa menerapkan pola hidup bersih dan sehat, kemana-mana masker nempel di muka, sedikit-sedikit cuci tangan pakai sabun atau pun handsanitizer. Ada pula wilayah tertentu yang memberlakukan Lockdown, semisal di Tegal. Komando yang tidak terpusat ini entah akan bertahan berapa lama.
Di sisi lain, sebagian masyarakat yang lain tetap keluar. Mayoritas untuk mencari penghidupan. Mereka beraktivitas seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa. Padahal sejatinya di dalam jiwa tersimpan perasaan was-was, tak nyaman, dan gelisah kalau-kalau dirinya terinfeksi juga. Namun semangat menghidupi keluarga lebih diutamakan melebihi ketakutannya terhadap wabah.
Nekat? Ya, bisa dikatakan demikian. Bagaimana tidak? Masyarakat tersebut harus menanggung semua beban kehidupannya sendiri. Maka wajar mereka tak peduli jika tindakannya mengancam nyawa sendiri dan orang-orang di sekitar. Bagi mereka yang terpenting anak istri tetap bertahan hidup ditengah krisis ekonomi karena pandemi.
Dalam kondisi yang genting seperti ini, tampaknya penguasa negeri tidak begitu peduli dengan keselamatan rakyat. Terbukti dari kebijakan yang dikeluarkan tak sigap menangani wabah. Misalnya saja mengenai kebutuhan APD (Alat Pelindung Diri). Pihak tenaga kesehatan sangat membutuhkan dalam jumlah banyak. Apa yang dilakukan penguasa? Mereka mengimpor APD dari China namun disitu tertulis Made in Indonesia. Artinya, APD yang diproduksi di dalam negeri diekspor terlebih dahulu ke luar negeri lalu diimpor kembali.
Ketersediaannya pun dibatasi karena perhitungan untung rugi. Ini masih tentang kebutuhan APD, belum yang lain. Betapa abainya penguasa terhadap urusan rakyatnya. Beginilah buah dari demokrasi kapitalis yang melahirkan penguasa-penguasa bermental pengusaha yang mendahulukan kepentingan sendiri daripada rakyatnya. Saatnya beralih kepada aturan Pencipta, yaitu Islam Kaffah dalam naungan Khilafah.
Telah lebih dari sebulan wabah corona menyelimuti bumi pertiwi. Sampai detik ini ia masih berkeliaran mencari orang-orang untuk menginfeksi. Korban positif semakin hari semakin bertambah. Terbukti yang terdata mencapai di angka ribuan, sedangkan yang tak terdata lebih dari ribuan. Tenaga medis pun tampak kian kewalahan bahkan perlahan diantara mereka mulai tumbang. Tak sedikit dari mereka yang harus meregang nyawa demi mengemban tugas yang mulia.
Dari sini sebagian masyarakat mulai waspada mengambil sikap. Diantara mereka menerapkan sosial distancing dan di rumah saja. Jika terpaksa harus keluar hanyalah untuk kepentingan mendesak. Tak lupa menerapkan pola hidup bersih dan sehat, kemana-mana masker nempel di muka, sedikit-sedikit cuci tangan pakai sabun atau pun handsanitizer. Ada pula wilayah tertentu yang memberlakukan Lockdown, semisal di Tegal. Komando yang tidak terpusat ini entah akan bertahan berapa lama.
Di sisi lain, sebagian masyarakat yang lain tetap keluar. Mayoritas untuk mencari penghidupan. Mereka beraktivitas seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa. Padahal sejatinya di dalam jiwa tersimpan perasaan was-was, tak nyaman, dan gelisah kalau-kalau dirinya terinfeksi juga. Namun semangat menghidupi keluarga lebih diutamakan melebihi ketakutannya terhadap wabah.
Nekat? Ya, bisa dikatakan demikian. Bagaimana tidak? Masyarakat tersebut harus menanggung semua beban kehidupannya sendiri. Maka wajar mereka tak peduli jika tindakannya mengancam nyawa sendiri dan orang-orang di sekitar. Bagi mereka yang terpenting anak istri tetap bertahan hidup ditengah krisis ekonomi karena pandemi.
Dalam kondisi yang genting seperti ini, tampaknya penguasa negeri tidak begitu peduli dengan keselamatan rakyat. Terbukti dari kebijakan yang dikeluarkan tak sigap menangani wabah. Misalnya saja mengenai kebutuhan APD (Alat Pelindung Diri). Pihak tenaga kesehatan sangat membutuhkan dalam jumlah banyak. Apa yang dilakukan penguasa? Mereka mengimpor APD dari China namun disitu tertulis Made in Indonesia. Artinya, APD yang diproduksi di dalam negeri diekspor terlebih dahulu ke luar negeri lalu diimpor kembali.
Ketersediaannya pun dibatasi karena perhitungan untung rugi. Ini masih tentang kebutuhan APD, belum yang lain. Betapa abainya penguasa terhadap urusan rakyatnya. Beginilah buah dari demokrasi kapitalis yang melahirkan penguasa-penguasa bermental pengusaha yang mendahulukan kepentingan sendiri daripada rakyatnya. Saatnya beralih kepada aturan Pencipta, yaitu Islam Kaffah dalam naungan Khilafah.
COMMENTS