Sudah hampir tiga pekan sejak pandemi “resmi” menerpa Indonesia, yang ditandai dengan diumumkannya dua pasien pertama yang terkonfirmasi...
Sudah hampir tiga pekan sejak pandemi “resmi” menerpa Indonesia, yang ditandai dengan diumumkannya dua pasien pertama yang terkonfirmasi positif corona oleh Presiden Jokowi (2/3/2020), sejak itu pula grafik kasus penularan Covid-19 ini terus naik secara signifikan.
Dalam data pada Kamis (19/3/2020), tercatat bahwa pada 2-8 Maret 2020, jumlah kasus penularan Covid-19 masih berada di bawah 50 kasus. Kemudian, pada 9-13 Maret 2020, jumlah kasus meningkat hingga maksimal 50 kasus.
Pada 14-19 Maret 2020, jumlah kasus penularan Covid-19 mengalami kenaikan drastis dari hari ke hari, yakni 100 kasus hingga lebih dari 300 kasus. Hingga total pasien positif Covid-19 tercatat sebanyak 308 orang. Dari jumlah tersebut ada 25 pasien meninggal dunia dan 15 pasien sembuh.
Adapun seluruh data tercatat dari sebaran di 16 provinsi. Data juga mencatat Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian akibat penyakit sebesar 8,09 persen.
Dan per hari ini (21/3/2020), dari situs kawalcovid19.id, tercatat 450 kasus terkonfirmasi, 392 dalam perawatan, 20 sembuh, dan 38 meninggal dunia, yang membuat death rate-nya mencapai 8,44 persen! Menjadikan angka kematian Indonesia tertinggi di Asia Tenggara.
Sumber: kawalcovid.id
Merespons hal ini, pengamat kebijakan publik, Dr. Rini Syafri menilai World Health Organization (WHO) yang selama ini memiliki otoritas terhadap persoalan kesehatan dunia, malah lambat bersikap.
Kelambatan itu antara lain tampak dari keterlibatan WHO setelah tawaran bantuan Amerika Serikat ditolak oleh pemerintah Cina. Menurutnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa WHO bekerja lebih untuk industri dan korporasi farmasi besar daripada memprioritaskan kesehatan dan keselamatan nyawa umat manusia.
“Jelas sangat mengkhawatirkan, sekaligus disesalkan,” ujarnya kepada MNews, 20/3/2020.
Dikhawatirkan karena sangat mungkin korban akan terus berjatuhan, sebab buruknya upaya pencegahan maupun pengobatan. Disesalkan karena dari aspek mana pun, baik preventif (pencegah) maupun kuratif (pengobatan), banyak upaya yang harusnya bisa dilakukan pemerintah.
Upaya tersebut, lanjut Dr. Rini, bisa dimulai dari revisi paradigma tentang kesehatan, fungsi negara, hingga pelaksanaan langkah praktis seperti kebijakan lock down, isolasi, dan karantina. Sehingga dengan sendirinya wabah dapat dicegah sedini mungkin dan angka kesakitan serta korban jiwa dapat ditekan seminim mungkin.
“Namun apa yang bisa kita saksikan? Pemerintah begitu lambat merespons meski persoalan sudah di depan mata. Bahkan terkesan meremehkan, padahal ini berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan jiwa jutaan orang,” jelasnya.
Hal ini sungguh disayangkan. Padahal, menurut Dr. Rini, tak kurang-kurang para ahli berbagai bidang keilmuan khususnya kesehatan telah mengingatkan Pemerintah. Mulai dari tawaran konsep dan paradigma tentang kesehatan dan fungsi negara berikut sistem kehidupan alternatif, hingga usulan teknis praktis seperti keharusan melakukan screening, memperbanyak lab untuk pemeriksan sample, dan memastikan handling.
Namun semua itu dianggap angin lalu. Akibatnya sungguh fatal, bermula dari imported case yang diikuti dengan transmisi lokal. Ironisnya, meskipun begitu Pemerintah masih belum menetapkan kebijakan lock down, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Sementara berbagai langkah cepat terhambat oleh model kekuasaan yang terdesentralisasi (otonomi daerah) di tengah buruknya kemandirian Pemerintah dalam menyikapi wabah.
“Pelayanan kesehatan sesuai standar tidak merata di seluruh daerah dan itu pun jumlahnya sangat terbatas, ini di satu sisi. Di sisi lain, para dokter harus berjuang menyelamatkan pasien di tengah segala keterbatasan, bahkan banyak yang tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang standar,” papar Dr. Rini.
Beliau menambahkan, semua ini tidak saja membahayakan para dokter, namun turut memfasilitasi penularan. Social distancing pun tidak dipatuhi dengan baik karena buruknya edukasi dari Pemerintah, maupun tekanan dan kondisi ekonomi masyarakat.
“Apa yang harus dilakukan Pemerintah supaya keadaan tidak lebih buruk dan wabah berakhir dengan cepat tanpa banyak lagi yang harus jadi korban? Hanya satu: Pemerintah harus melakukan koreksi total dari visi hingga keberadaannya, yakni (harus) sebagai pelaksana syariat kafah,” pungkasnya. [MNews]
Dalam data pada Kamis (19/3/2020), tercatat bahwa pada 2-8 Maret 2020, jumlah kasus penularan Covid-19 masih berada di bawah 50 kasus. Kemudian, pada 9-13 Maret 2020, jumlah kasus meningkat hingga maksimal 50 kasus.
Pada 14-19 Maret 2020, jumlah kasus penularan Covid-19 mengalami kenaikan drastis dari hari ke hari, yakni 100 kasus hingga lebih dari 300 kasus. Hingga total pasien positif Covid-19 tercatat sebanyak 308 orang. Dari jumlah tersebut ada 25 pasien meninggal dunia dan 15 pasien sembuh.
Adapun seluruh data tercatat dari sebaran di 16 provinsi. Data juga mencatat Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian akibat penyakit sebesar 8,09 persen.
Dan per hari ini (21/3/2020), dari situs kawalcovid19.id, tercatat 450 kasus terkonfirmasi, 392 dalam perawatan, 20 sembuh, dan 38 meninggal dunia, yang membuat death rate-nya mencapai 8,44 persen! Menjadikan angka kematian Indonesia tertinggi di Asia Tenggara.
Sumber: kawalcovid.id
Merespons hal ini, pengamat kebijakan publik, Dr. Rini Syafri menilai World Health Organization (WHO) yang selama ini memiliki otoritas terhadap persoalan kesehatan dunia, malah lambat bersikap.
Kelambatan itu antara lain tampak dari keterlibatan WHO setelah tawaran bantuan Amerika Serikat ditolak oleh pemerintah Cina. Menurutnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa WHO bekerja lebih untuk industri dan korporasi farmasi besar daripada memprioritaskan kesehatan dan keselamatan nyawa umat manusia.
“Jelas sangat mengkhawatirkan, sekaligus disesalkan,” ujarnya kepada MNews, 20/3/2020.
Dikhawatirkan karena sangat mungkin korban akan terus berjatuhan, sebab buruknya upaya pencegahan maupun pengobatan. Disesalkan karena dari aspek mana pun, baik preventif (pencegah) maupun kuratif (pengobatan), banyak upaya yang harusnya bisa dilakukan pemerintah.
Upaya tersebut, lanjut Dr. Rini, bisa dimulai dari revisi paradigma tentang kesehatan, fungsi negara, hingga pelaksanaan langkah praktis seperti kebijakan lock down, isolasi, dan karantina. Sehingga dengan sendirinya wabah dapat dicegah sedini mungkin dan angka kesakitan serta korban jiwa dapat ditekan seminim mungkin.
“Namun apa yang bisa kita saksikan? Pemerintah begitu lambat merespons meski persoalan sudah di depan mata. Bahkan terkesan meremehkan, padahal ini berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan jiwa jutaan orang,” jelasnya.
Hal ini sungguh disayangkan. Padahal, menurut Dr. Rini, tak kurang-kurang para ahli berbagai bidang keilmuan khususnya kesehatan telah mengingatkan Pemerintah. Mulai dari tawaran konsep dan paradigma tentang kesehatan dan fungsi negara berikut sistem kehidupan alternatif, hingga usulan teknis praktis seperti keharusan melakukan screening, memperbanyak lab untuk pemeriksan sample, dan memastikan handling.
Namun semua itu dianggap angin lalu. Akibatnya sungguh fatal, bermula dari imported case yang diikuti dengan transmisi lokal. Ironisnya, meskipun begitu Pemerintah masih belum menetapkan kebijakan lock down, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Sementara berbagai langkah cepat terhambat oleh model kekuasaan yang terdesentralisasi (otonomi daerah) di tengah buruknya kemandirian Pemerintah dalam menyikapi wabah.
“Pelayanan kesehatan sesuai standar tidak merata di seluruh daerah dan itu pun jumlahnya sangat terbatas, ini di satu sisi. Di sisi lain, para dokter harus berjuang menyelamatkan pasien di tengah segala keterbatasan, bahkan banyak yang tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang standar,” papar Dr. Rini.
Beliau menambahkan, semua ini tidak saja membahayakan para dokter, namun turut memfasilitasi penularan. Social distancing pun tidak dipatuhi dengan baik karena buruknya edukasi dari Pemerintah, maupun tekanan dan kondisi ekonomi masyarakat.
“Apa yang harus dilakukan Pemerintah supaya keadaan tidak lebih buruk dan wabah berakhir dengan cepat tanpa banyak lagi yang harus jadi korban? Hanya satu: Pemerintah harus melakukan koreksi total dari visi hingga keberadaannya, yakni (harus) sebagai pelaksana syariat kafah,” pungkasnya. [MNews]
COMMENTS