Wabah Virus Corona
Oleh: Ashaima Va
Sakit adalah sesuatu yang datang dari Allah SWT. Saat terkena penyakit kita dipaksa menerima. Tubuh menjadi lemah dan tak berdaya. Lalu saat penyakit menular pada yang lain dengan tidak terkendali, kala itulah penyakit telah menjadi wabah. Khusus bagi penyakit-penyakit yang mematikan, wabah akan menjadi momok yang menakutkan.
Kasus teranyar adalah wabah virus Corona. Penyakit yang ditandai dengan demam tinggi ini sama mematikannya seperti SARS, namun efek mematikannya dinilai melebihi SARS. Awal penyebaran penyakit ini berasal dari Kota Wuhan, Cina. Belum ditemukan obat yang mampu menangkal penyakit ini. Sekali seseorang terpapar virus ini bisa dipastikan dia akan berakhir dengan kejang-kejang sampai meregang nyawa.
Sekalipun wabah merupakan qadha-Nya tapi sebagai muslim bagaimana kita menyikapinya? Benarkah kita diharuskan pasrah menerima ketetapan-Nya? Bagaimana Islam memanej saat umat tertimpa wabah. Tulisan ini akan mengupasnya.
Secara teknis, tidak ada beda penanganan wabah di sistem kapitalis dan Islam. Namun ada beberapa hal mendasar yang membedakan manajemen wabah dalam sistem Islam dengan sistem kapitalisme. Berikut beberapa hal prinsip dalam manajemen wabah dalam Islam;
Wabah adalah Ketetapan Allah SWT
Dalam Islam penting untuk meyakini bahwa penyakit atau wabah adalah datang dari Allah dan merupakan qadha-Nya. Dengan keyakinan ini maka penguasa akan dapat mengajak warganya untuk lebih meningkatkan ketakwaannya. Mengajak untuk ikhlas dan sabar selama mengalami sakit. Penguasa juga mengajak umat untuk muhasabah diri terhadap bencana wabah yang menimpa. Pasalnya tidak ada bala' yang menimpa selain karena Allah ingin memberi peringatan akan kemaksiatan yang boleh jadi banyak dilakukan oleh masyarakat.
Dengan meyakini wabah sebagai ketetapan Allah pulalah nantinya umat harus taat mengikuti apa yang akan menjadi kebijakan penguasa dalam mengatasi wabah yang ada. Keyakinan bahwa wabah adalah ketetapan Allah tidak akan menjadikan umat dan penguasa pasrah dan tak melakukan ikhtiar apa pun. Justru keyakinan ini akan mendorong semuanya berikhtiar maksimal menjalani sebab akibat yang akan menghantarkan pada teratasinya wabah dan tidak semakin meluas. Berbaik sangka terhadap pertolongan dari Allah akan senantiasa menghiasi perilaku warga terjangkit.
Ri'ayah sebagai Prinsip Penguasa
Dalam Islam Ri'ayatusy syu'unil ummah atau pelayanan terhadap urusan umat adalah prinsip yang dimiliki para pengampu kebijakan. Tidak ada lagi perhitungan untung rugi jika berkaitan dengan pelayanan masyarakat. Maka dalam mengatasi wabah yang menimpa, prinsip utama yang diterapkan adalah penetapan kebijakan yang berorientasi pada keselamatan dan kemaslahatan umat.
Maka sikap membiarkan turis yang berasal dari negeri asal wabah demi alasan HAM dan ekonomi adalah suatu sikap gegabah dari penguasa. Berisiko terhadap tersebarnya virus bagi masyarakat. Hal yang semestinya dikedepankan oleh penguasa sebagai pelayan umat adalah menunda masuknya para turis tersebut dan memastikan di antara mereka tidak terjangkit virus, bila perlu mengkarantina mereka jika ada indikasi mereka terpapar virus.
Karantina sebagai Upaya Pencegahan Meluasnya Wabah Berbekal keyakinan bahwa wabah adalah ketetapan Allah dan juga berbekal prinsip ri'ayah maka penguasa akan menetapkan kebijakan upaya pengendalian wabah. Setiap pasien yang terinfeksi akan dipantau. Wilayah yang terjangkit wabah akan dikarantina. Tidak boleh ada yang sembarang keluar dan masuk wilayah tersebut.
Untuk virus Corona, pengetahuan tentang awal terinfeksi dari masa inkubasi 2-10 hari menjadi penting sebagai upaya pengendalian. Sehingga tiap warga akan diberi pengetahuan tentang hal ihwal penyakit yang sedang mewabah. Imbauan untuk menjaga kebersihan dan pemakaian masker mutlak diberikan terlebih bagi masyarakat yang berada pada radius yang dekat dari daerah yang terjangkit wabah.
Karantina bukan berarti mengisolasi dengan membiarkan warga yang terjangkit menghadapi sendiri penyakit mereka. Pemenu
han hak-hak dasar tetap diberikan disertai perhatian lebih agar wabah tidak menyebar keluar. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Dalam hadist sahih Rasulullah ﷺ bersabda, "Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dijelaskan pula Rasulullah sampai membangun tembok pembatas untuk menjaga tidak ada yang keluar masuk dari daerah yang terkena wabah. Rasulullah menjanjikan pahala setara syahid untuk mereka yang terjangkit dan tetap tinggal di dalam, sedangkan bagi mereka yang kabur Rasulullah mengancam dengan petaka dan kebinasaan.
Seharusnya karantina dilakuksn tanpa mempertimbangksn faktor untung rugi bagi perekonomian. Karantina justru diberlakukan demi alasan kemanusiaan, karena keselamatan umat manusia menjadi taruhannya.
Penelitian untuk Mencari Obat
Sesungguhnya tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Saat Allah menurunkan suatu penyakit maka Allah pula akan menurunkan penawarnya. Dalam hadist, Rasulullah menjelaskan, "Setiap kali Allah menurunkan penyakit, pasti Allah menurunkan penyembuhnya. Namun, ada orang yang mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Berangkat dari prinsip ini negara seharusnya mengembangkan penelitian bagi ditemukannya obat dari penyakit yang menjadi wabah. Sekalipun wabah telah usai. Penelitian juga mencakup karakteristik penyebaran penyakit sehingga di masa depan wabah serupa tidak terjadi lagi.
Demikianlah Islam menjelaskan dan menuntun saat wabah terjadi. Penguasa akan cepat dan tanggap saat wabah merebak. Hal yang hanya bisa dilakukan oleh penguasa yang amanah. Penguasa yang hanya takut pada Allah, takut pula meninggalkan syari'ah-Nya. Jiwa melayani rakyat tertanam dalam diri mereka. Penguasa-penguasa yang hanya akan lahir dari sistem yang Rasulullah contohkan, yaitu kekhilafahan di atas jalan kenabian.
Sumber: https://t.me/WadahAspirasiMuslimah
COMMENTS