Penguasa Otoriter
[Muhasabah Imunitas dan Wibawa Advokat]
Oleh : Ahmad Khozinudin, SH
Ketua LBH Pelita Umat
Penulis teringat di medio era tahun 2012 ketika Kapolri dijabat oleh Jenderal Timur Pradopo. Saat itu, Kapolri menandatangani Nota Kesepahaman dengan organisasi advokat dalam konteks penyidikan perkara pidana terhadap advokat.
Berdasarkan nota kesepahaman itu, pemanggilan polisi terhadap advokat harus dilakukan melalui Dewan Pimpinan Nasional (DPN) atau Dewan Pimpinan Cabang organisasi Advokat terdekat. Polisi berkewajiban melampirkan surat panggilan resmi dan resume perkara.
Selanjutnya, Organisasi Advokat akan melakukan investigasi permasalahan. Dalam waktu paling lambat 14 hari, organisasi advokat menyampaikan hasilnya kepada penyidik, termasuk menghadirkan advokat yang dipanggil.
Namun diera now, diera Jokowi, menjadi advokat yang juga berkedudukan sebagai penegak hukum bukan berarti aman dari tindakan represif penguasa. Penangkapan yang dilakukan penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Mabes Polri terhadap diri penulis menjadi bukti kongkritnya.
Penangkapan dilakukan tanpa melakukan koordinasi dengan organisasi advokat, dilakukan dengan langsung berstatus tersangka (padahal belum pernah dipanggil atau diperiksa), dilakukan pada dini hari dan bahkan keluar umpatan 'bajingan' dari oknum penyidik kepada penulis.
Padahal penulis adalah advokat yang menurut undang undang advokat juga berkedudukan sebagai penegak hukum. Didalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang no. 18 tahun 2003 tentang Advokat disebutkan:
“Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan Perundang-undangan”,
Karenanya dapat dipahami bahwa kedudukan adavokat adalah setara atau sederajat dengan aparat penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa, Hakim). Disamping itu advokat juga memiliki hak imunitas, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
"Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan".
Memang benar penangkapan terhadap diri penulis bukan karena perkara hukum klien yang sedang penulis tangani. Namun penangkapan secara tidak manusiawi, dilakukan pada dini hari, langsung dengan status tersangka terus terang mengganggu kinerja profesi advokat yang penulis tekuni.
Ada kewajiban-kewajiban penulis terhadap klien menjadi terbengkalai. Terlebih lagi wibawa penulis dihadapan klien dan masyarakat umum menjadi jatuh.
Bagaimana mungkin seorang advokat diperlakukan layaknya pencuri ? Perampok ? Apa yang penulis rugikan dari negara akibat aktifitas penulis ?
Pasal 207 KUHP dan pasal 14 ayat (2) dan pasal 15 UU no. 1 tahun 1946 adalah pasal karet. Pasal ini tidak pernah diaktifkan oleh rezim sebelumnya kecuali di era Jokowi.
Perlakuan penyidik terhadap advokat era Jokowi ini jauh berbeda dengan era tahun 2012 an. Misalnya saja, penulis ketika menjadi pengurus organisasi advokat tingkat cabang, pernah ikut mengadvokasi seorang advokat yang dipanggil polisi.
Polisi ketika itu meminta izin organisasi advokat sebelum melakukan pemanggilan terhadap advokat. Polisi sangat menghargai peran dan kedudukan advokat sebagai sesama penegak hukum.
Jadi jika kita telaah lebih dalam, represifme aparat termasuk tidak dihormatinya profesi advokat bukan semata karena cidera wibawa polisi. Tetapi juga lebih terpengaruh oleh kebijakan politik hukum rezim Jokowi yang anti kritik, baik kritik oleh masyarakat umum maupun oleh advokat. [].
COMMENTS