Oleh : Nasrudin Joha Mendadak, bermunculan pahlawan kesiangan dari gedung parlemen di Senayan sonoh. Mereka, merasa wakil rakyat, yang...
Oleh : Nasrudin Joha
Mendadak, bermunculan pahlawan kesiangan dari gedung parlemen di Senayan sonoh. Mereka, merasa wakil rakyat, yang mendengar jeritan hati dan luka penderitaan rakyat atas kenaikan iuran BPJS.
Anggota dewan yang tak terhormat, mirip jaksa penuntut umum saja mengadili sekaligus mendakwa Menkes dan jajaran direksi BPJS. DPR mengeluhkan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid yang diteken Presiden Joko Widodo ini mengesahkan rencana pemerintah menaikkan premi iuran BPJS Kesehatan di seluruh segmen peserta.
Bahkan, ada anggota DPR yang mengaku bangga menjadi anak PKI ikut berdeklamasi. Berbusa membela rakyat soal BPJS. Padahal, Presiden yang Teken Perpres berasal dari PDIP, partai tempat dirinya bernaung.
DPR berlagak mengancam tak bakal menggelar rapat lagi dengan BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan semisal pemerintah tidak mencabut Perpres. Luar biasa anggota dewan kita ini.
Sekarang mari berfikir waras.
Pertama, Perpres kenaikan premi BPJS (baca Premi ya, bukan iuran. Faktanya BPJS itu asuransi berkedok program sosial) itu diteken Presiden bukan menteri apalagi dirut BPJS. Lalu, apa gunanya mengeluarkan amarah kepada menteri ?
Harusnya DPR marah langsung ke Presiden, gunakan hak angket atau interpelasi. Bahkan, ancam dengan pasal pema'zulan kepada Jokowi agar tidak menaikan premi BPJS. Marahnya juga dulu, sebelum premi naik bukan setelah naik baru mau jadi pahlawan di siang bolong.
Kedua, anggota DPR dari PKB dan PDIP itu seharusnya tahu diri. Mereka itu partai koalisi Jokowi, tidak boleh melawan kebijakan Jokowi. Apa karena jatah menteri kurang banyak ?
Seharusnya, kontrol DPR itu sejak saat rencana kenaikan ini naik. Saat semua rakyat marah ihwal rencana kenaikan BPJS, kenapa dewan saat itu di Senayan bungkam ?
Jadi, publik bisa menilai ini hanyalah manuver untuk mempertahankan citra dewan yang sudah rusak dimata rakyat karena tidak lagi memikirkan rakyat. Ini cuma politik pencitraan dewan, bukan murni membela rakyat.
Kalau iya membela rakyat, kenapa anggota dewan yang terhormat ini bungkam saat 700 lebih anggota KPPS meninggal misterius ? Kenapa tidak dorong menteri kesehatan lakukan autopsi ketika itu ? Kenapa nalar rakyat justru dipaksa percaya pada mitos bahwa kematian 700 anggota KPPS semuanya karena kelelahan ?
Kemana, suara anggota dewan yang terhormat saat diketahui ada 20 juta rakyat negeri ini masih dalam keadaan lapar ? Mana suara dewan yang katanya suara rakyat ? Jangan cuma main sinetron dalam isu BPJS.
Ketiga, kalau dewan menolak rapat dengan menteri toh tarif premi BPJS tetap naik. Tidak ngaruh dengan nasib rakyat.
Kalau ini bukan cari citra (baca: cari muka), bukan dalam rangka mempertahankan citra dewan yang sudah tidak karuan, maka panggil Presiden Jokowi. Minta Presiden anulir pepresnya, kalau tidak ancam pema'zulan kepada Presiden karena melanggar konstitusi, membebani dan menyengsarakan rakyat.
Berani taruhan, pasti tidak berani DPR. Mereka seperti pemain sinetron saja, sedang akting dalam episode 'Pura Pura Membela Rakyat Dalam Isu BPJS'. Setelah isu BPJS ini menguap, mereka tidur lagi di ruang rapat.
COMMENTS