Gelagat mantan Capres Prabowo Subianto kian mesra dengan Istana. Bahkan, santer kabar bahwa selangkah Partai Gerindra akan bergabung k...
Gelagat mantan Capres Prabowo Subianto kian mesra dengan Istana. Bahkan, santer kabar bahwa selangkah Partai Gerindra akan bergabung ke pemerintahan Jokowi-Ma"ruf Amin.
Namun, langkah ini diyakini bakal mengecewakan mayoritas pemilihnya pada Pilpres 2019 lalu. Kini, mereka dibuat gigit jari melihat realitas politik yang dalam waktu sekejap berubah sama sakali.
Tak hanya itu, manuver Gerindra itu juga membuat masyarakat kecewa bahwa partai politik ternyata tidak lebih hanya mengincar kekuasaan. Gerindra dan Prabowo tidak konsisten memperjuangkan janji politiknya kepada rakyat.
Pengamat politik Ujang Komaruddin mengatakan, Prabowo harusnya menyadari realitas politik di Pilpres 2019 lalu, dimana ada 68 juta pemilih yang berharap mantan Danjen Kopassus itu menjadi presiden.
Angka itu, menurut Ujang, sekurang-kurangnya tidak menyukai arah kebijakan pemerintahan Jokowi selama periode pertama 2014-2019.
"Harusnya Gerindra jadi oposisi saja. Karena pendukungnya banyak yang menginginkan Gerindra berada di luar kekuasaan. Menjadi oposisi sama sama terhormatnya dengan berkuasa. Bahkan menjadi oposisi lebih terhormat. Karena bisa mengingatkan pemerintah ketika pemerintah salah jalan dan salah arah," ujar Ujang kepada wartawan, Minggu (13/10/2019).
Oleh karena itu, Ujang menganggap ketua umum Partai Gerindra kurang etis bergabung bersama Jokowi di pemerintahan. Namun, Ujang menganggap dalam politik, manuver Prabowo itu hanya bagian dari mendapatkan kekuasaan.
"Jadi masuknya Gerindra ke koalisi Jokowi sebagai bagian dari ingin merapat atau mendapat bagian kekuasaan. Itulah politik, sifatnya cair, dinamis dan kompromistis. Dulu lawan, sekarang kawan. Begitu juga sebaliknya. Karena koalisi yang dibangun bukan berbasis dan berdasar ideologi, maka koalisi akan mudah pecah," jelasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini menambahkan, idealnya negara membutuhkan oposisi yang kuat dan tangguh dalam mengawasi pemerintah.
Yang mengkhawatirkan apabila Gerindra dan Demokrat masuk dalam koalisi pemerintah, maka kontrol terhadap Jokowi-Ma"ruf berkurang sehingga kewenangan cenderung disalahgunakan.
"Kata Lord Acton, power tends to corrupt. Kekuasaan itu akan cenderung korup atau disalahgunakan. But absolute power, corrupt absolutely. Dan kekuasaan yang absolut kecenderungan penyalahgunaannya pun akan mutlak," pungkasnya. [ts]
Namun, langkah ini diyakini bakal mengecewakan mayoritas pemilihnya pada Pilpres 2019 lalu. Kini, mereka dibuat gigit jari melihat realitas politik yang dalam waktu sekejap berubah sama sakali.
Tak hanya itu, manuver Gerindra itu juga membuat masyarakat kecewa bahwa partai politik ternyata tidak lebih hanya mengincar kekuasaan. Gerindra dan Prabowo tidak konsisten memperjuangkan janji politiknya kepada rakyat.
Pengamat politik Ujang Komaruddin mengatakan, Prabowo harusnya menyadari realitas politik di Pilpres 2019 lalu, dimana ada 68 juta pemilih yang berharap mantan Danjen Kopassus itu menjadi presiden.
Angka itu, menurut Ujang, sekurang-kurangnya tidak menyukai arah kebijakan pemerintahan Jokowi selama periode pertama 2014-2019.
"Harusnya Gerindra jadi oposisi saja. Karena pendukungnya banyak yang menginginkan Gerindra berada di luar kekuasaan. Menjadi oposisi sama sama terhormatnya dengan berkuasa. Bahkan menjadi oposisi lebih terhormat. Karena bisa mengingatkan pemerintah ketika pemerintah salah jalan dan salah arah," ujar Ujang kepada wartawan, Minggu (13/10/2019).
Oleh karena itu, Ujang menganggap ketua umum Partai Gerindra kurang etis bergabung bersama Jokowi di pemerintahan. Namun, Ujang menganggap dalam politik, manuver Prabowo itu hanya bagian dari mendapatkan kekuasaan.
"Jadi masuknya Gerindra ke koalisi Jokowi sebagai bagian dari ingin merapat atau mendapat bagian kekuasaan. Itulah politik, sifatnya cair, dinamis dan kompromistis. Dulu lawan, sekarang kawan. Begitu juga sebaliknya. Karena koalisi yang dibangun bukan berbasis dan berdasar ideologi, maka koalisi akan mudah pecah," jelasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini menambahkan, idealnya negara membutuhkan oposisi yang kuat dan tangguh dalam mengawasi pemerintah.
Yang mengkhawatirkan apabila Gerindra dan Demokrat masuk dalam koalisi pemerintah, maka kontrol terhadap Jokowi-Ma"ruf berkurang sehingga kewenangan cenderung disalahgunakan.
"Kata Lord Acton, power tends to corrupt. Kekuasaan itu akan cenderung korup atau disalahgunakan. But absolute power, corrupt absolutely. Dan kekuasaan yang absolut kecenderungan penyalahgunaannya pun akan mutlak," pungkasnya. [ts]
COMMENTS