Pada zaman demokrasi ini, beberapa orang kaya raya menghalalkan segala cara. Sebab, mereka percaya bhw seseorang dihargai dengan uangnya d...
Pada zaman demokrasi ini, beberapa orang kaya raya menghalalkan segala cara. Sebab, mereka percaya bhw seseorang dihargai dengan uangnya dan kekuasaannya. Semakin banyak uang di genggaman dan semakin tinggi kekuasaan, maka mereka merasa semakin berharga.
Tak puas dengan kekayaannya dan kekuasaannya, mereka ingin terus menumpuk kekayaannya dan memperkokoh kekuasaannya. Kalau bisa, kekayaannya dan kekuasannya itu abadi unk selama-lamanya.
Maka tak jarang mereka memainkan berbagai macam permainan kotor. Kemanusian diinjak-injak. Nilai-nilai dijungkir-balikkan. Agama diacak-acak.
Mereka keluar masuk masjid dengan membawa berkantong-kantong uang. Yang akan dipersembahkan kepada siapa saja yang mau "sujud" atau "memuja"nya.
Agama menjadi alat permainan. Agama bukan jd dasar politik, tetapi justru dipolitisi. Masjid-masjid dan pesantren-pesantren berubah jadi mimbar-mimbar politik kotor.
Meski mereka tak pernah belajar agama, bahkan hal mendasar tentang agama saja tidak dia percayai, tapi dengan uang di kantong, dia dengan gagah berdiri di mimbar memberikan siraman rohani dan taujih robbany. Lalu, setelah itu orang-orang polos menciumi tangannya unk mendapatkan "keberkahan".
Lakum dinukum wa liyadin, dijungkir-balikkan. Dengan gagah mereka mengajari umat agama lain (Islam), tentang bagaimana beragama yang "benar" dan mengajarkan prinsip-prinsip agama orang lain, menurut kepentingannya.
*****
Dalam Islam, prinsipnya sudah sgt jelas: "agamamu adalah agamamu, dan agamaku adalah agamaku".
Juga, tidak paksaan dalam memeluk agama. La ikrooha fiddiin. Beragama adalah pilihan dan akibatnya yg menanggung sendiri-sendiri. Surga atau neraka itu konsekuensi yang ditanggung masing-masing akibat pilihan bebas dr masing-masing.
Meski orang yang menunjukkan jalan yang benar (menurut orang Islam adalah Jalan Islam), dia akan mendapatkan pahala jariyah. Sebaliknya, orang yang menunjukkan jalan yg sesat, dia akan mendapat dosa jariyah. Tetapi pilihan dalam memilih jalan, itu tetap pilihan masing-masing.
Yang boleh dilakukan hanya sebatas menunjukkan (atau dalam bahasa Islam "dakwah"), bukan memaksa, apalagi sampai ancaman. Lalu bgm dg jihad? Jihad adalah aktivitas fisik, krn adanya kekuatan fisik yg menghalang-halangi jalan kenenaran. Jihad sama sekali bukan unk memaksa orang masuk Islam. Lihatlah dalam sejarah Islam, bagaimana orang-orang palestina tetap memeluk agamanya, meski negerinya telah dibebaskan dg jihad.
*****
Rumah ibadah umat Islam adalah masjid, dan umat lain juga memiliki rumah ibadah sendiri-sendiri. Alangkah lancangnya jika umat selain Islam keluar masuk masjid seenak sendiri, apalagi memanfaatkannya unk kepentingan politik praktis machiavelian. Sama lancangnya, umat Islam yg keluar masuk rumah ibadah umat agama lain (misalnya gereja), apalagi dengan tujuan-tujuan politis dan ekonomis.
Ada yg berpendapat, tapi kan mereka tak tersinggung dan tak mempermasalahkan. Harus diakui, memang ada yang tak tersinggung saat rumah ibadahnya "diacak-acak" oleh orang lain. Tetapi, di sana ada ribuan atau mungkin jutaan orang yang tersinggung.
Pengacak-acakan ibadah dan rumah ibadah umat lain, inilah yang sejatinya menjadi sumber konflik horizontal.
Ada yang mengatakan mereka yg tersinggung itu harusnya berlapang dada, toleran, sabar, jangan mudah tersinggung, dan jangan bersumbu pendek.
Nasihat ini "luar biasa" sadisnya. Setelah mengobrak abrik seluruh rumah, lalu memberikan ceramah yg penuh dg nilai-nilai moralitas.
Ibarat orang yg menganggu istri orang, saat suaminya marah, lalu menasehatinya dg menepuk dada: jangan suka marah, jadi orang yg sabar, toleran, bersumbu panjang. Tuhan bersama orang-orang yang sabar.
Dia selalu membandingkan membandingkan dg orang lain yang istrinya pernah diganggunya, tetapi tetap cool dan calm, krn dia menyogoknya dg uang yang menggiurkan.
Memang diakui, ada lelaki yang tak marah istrinya diganggu orang lain selama yg mengganggu dapat menyediakan uang melimpah. Tapi, di sana, masih ada jutaan lelaki lain yang masih waras dan punya harga diri, yang akan marah saat istrinya diganggu. Bagi mereka, istrinya tak bisa dinilai dg uang, berapapun itu.
Memang, ada sebagian umat, yang tak marah saat agamanya, rumah ibadahnya, kitab sucinya diganggu dan dijadikan kendaraan politik umat lain. Tapi, di sana masih ada umat yang waras dan punya harga diri, yang akan berkorban membela agamanya dan hal itu tidak bisa diganti dengan uang, berapapun juga.
Menganggu istri orang, juga menganggu dan mencampuri agama umat lain, merupakan sumber konflik horizontal yang sebenarnya.
Memang tampaknya tdk masalah saat tdk ketahuan, atau ada sebagian orang (elite) yang mengijinkannya. Tapi di sana ada jutaan orang lain yang merasa dirinya diinjak dan dihina.
Silahkan saja ada yang mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang sumbu pendek. Tapi yang jelas, mereka adalah orang yang masih punya harga diri, dan harga diri itu lebih bermakna dari sekarung uang.
Jadi, jangan pernah berkhayal, bahwa semua orang dapat dibeli dg segudang uang.
Wallahu a'lam.
COMMENTS